Sebagaimana telah umum diketahui, kalangan Protestan menghabiskan sangat banyak waktu dengan Kitab Suci, sebab bagi mereka nampaknya Kitab Suci adalah segalanya. Bagi kita umat Orthodox, Kitab Suci juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Namun demikian, kita nampaknya kurang begitu menyadari pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan kita; ataukah kalaupun kita menyadarinya, kita tidak mendekatinya dalam spirit yang benar, sebab pendekatan Protestan dan juga buku-buku Protestan tentang Kitab Suci ada begitu banyak di luar sana, sementara pendekatan kita yang Orthodox terhadap Kitab Suci agak berbeda.
Fakta bahwa Kitab Suci adalah bagian yang esensial dalam iman Orthodox dapat dilihat dalam berbagai ibadahnya. Ada bacaan-bacaan harian dari Perjanjian Baru, baik dari Injil maupun dari Surat-surat Rasuli. Dalam setahun kita membaca hampir seluruh Perjanjian Baru. Dalam tiga hari pertama pada minggu sebelum Paskah (Perayaan Kebangkitan Kristus), keempat Injil dibacakan di gereja, dan pada Kamis malam dari Pekan Kudus, dilakukan pembacaan dua belas bagian dari Injil yang berbicara tentang sengsara Kristus diselingi dengan kidung-kidung yang menjelaskan bacaan-bacaan tersebut. Perjanjian Lama juga digunakan dalam ibadah-ibadah. Pada sembahyang senja untuk setiap pesta perayaan gereja, kisah-kisah dari Perjanjian Lama yang merupakan pralambang dari masing-masing perayaan dibacakan. Liturgi Ilahi sendiri juga dipenuhi dengan kutipan-kutipan, simbol-simbol, dan insiprasi-inspirasi yang berasal dari Kitab Suci. Umat Kristen Orthodox juga membaca Kitab Suci di luar ibadah-ibadah. Js. Serafim Sarov, dalam kehidupan monastiknya, membaca seluruh Perjanjian Baru setiap minggu.
Salah satu penafsir Kitab Suci yang utama bagi kita adalah Js. Yohanes Krisostomos, seorang Bapa Suci dari awal abad ke-5. Beliau menulis tafsiran dari nyaris seluruh isi Perjanjian Baru, termasuk semua surat-surat Rasul Paulus; dan juga tafsir dari banyak kitab dalam Perjanjian Lama. Dalam salah satu khotbahnya mengenai Kitab Suci, beliau berkata kepada umat:
“Aku menasehati kamu, dan aku tidak akan berhenti menasehati kamu untuk memperhatikan dengan sungguh bukan hanya apa yang dikatakan di sini, tetapi ketika kamu pulang kamu juga harus membaca Kitab Suci dengan penuh perhatian. Jangan ada orang yang mengatakan kepadaku alasan-alasan seperti ini: aku sibuk dengan ujian, aku punya urusan di kota, aku punya istri yang harus diurus, aku punya anak-anak yang harus diberi makan, jadi bukan kewajibanku membaca Kitab Suci, tapi kewajiban mereka yang telah meninggalkan segalanya. Apa katamu? Bukan kewajibanmu untuk membaca Kitab Suci karena engkau disibukkan dengan urusan-urusan yang begitu banyak? Sebaliknya, kewajibanmulah itu, lebih daripada mereka yang lain, yaitu para rahib. Mereka tidak butuh bantuan sebagaimana kamu membutuhkannya di dalam hidupmu yang penuh dengan berbagai urusan itu. Kamu lebih banyak memerlukan perawatan sebab kamu senantiasa berada di bawah serangan dan begitu sering terluka. Membaca Kitab Suci adalah suatu pertahanan yang kuat terhadap dosa. Mengabaikan Kitab Suci adalah suatu kemalangan yang luar biasa, suatu jurang yang dalam. Tidak mengetahui apapun dari firman Allah adalah suatu malapetaka. Inilah yang membuat orang jatuh ke dalam pelbagai bidat, ke dalam ketiadaan moral, dan telah menjungkirbalikkan segala sesuatu.”
Disini kita lihat bahwa membaca Kitab Suci memberikan kepada kita suatu senjata yang dahsyat dalam perjuangan melawan godaan-godaan dunia di sekeliling kita, dan sayangnya kita tidak cukup melakukannya. Gereja Orthodox sangat menganjurkan umat untuk membaca Kitab Suci. Yang ditentang Gereja adalah pembacaan Kitab Suci secara keliru, yang berdasarkan pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan pribadi, yang dapat membawa kepada dosa. Ketika kita melihat beberapa denominasi Protestan begitu heboh membicarakan hal-hal yang kata mereka bersumber dari Kitab Suci, semisal rapture atau kerajaan 1000 tahun, kita tidak sedang menentang mereka terkait membaca Kitab Suci, tetapi terkait salah tafsir mereka terhadap Kitab Suci. Nah, agar kita tidak terjerumus dalam hal yang sama, kita perlu memahami apa Kitab Suci itu, dan bagaimana kita harus mendekatinya.
Alkitab bukanlah sebuah buku biasa. Alkitab adalah sebuah buku yang bukan memuat kebenaran manusia, melainkan wahyu ilahi. Alkitab adalah firman Allah, sehingga kita harus mendekatinya dengan penuh penghormatan dan rasa sedih karena dosa-dosa kita, bukan sekadar dengan keingintahuan yang tidak bermakna. Banyak sarjana modern mendekati Kitab Suci dengan sebuah spirit akademik yang dingin; mereka tidak menginginkan keselamatan bagi jiwa mereka dengan membaca Kitab Suci; mereka hanya ingin membuktikan bahwa mereka adalah sarjana-sarjana yang hebat, bahwa mereka punya ide-ide baru yang cemerlang, dan mereka hanya ingin membuat nama bagi diri mereka sendiri.
Kita yang Orthodox haruslah memiliki penghormatan sepenuhnya dan juga penyesalan akan dosa-dosa kita, kita harus mendekati Kitab Suci dengan suatu hasrat untuk mengubah hati kita. Kita membaca Kitab Suci untuk memperoleh keselamatan, bukan karena kita sudah diselamatkan dan tidak mungkin jatuh lagi, melainkan sebagai orang-orang yang berusaha keras menjaga keselamatan yang telah diberikan Kristus kepada kita, dan menyadari penuh akan kepapaan rohani kita. Bagi kita, membaca Kitab Suci adalah persoalan hidup dan mati, sebagaimana Raja Daud menulis dalam Mazmur :”…hanya terhadap firman-Mu hatiku gemetar. Aku gembira atas janji-Mu, seperti orang yang mendapat banyak jarahan” (Maz 119:161-162).
Kitab Suci sepenuhnya berisi kebenaran. Oleh sebab itulah kita harus mempelajari Kitab Suci dengan percaya akan kebenaran, tanpa ragu-ragu dan kritik. Jika kita mempertahankan keraguan dan kritik maka kita tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari membaca Kitab Suci melainkan hanya menempatkan diri kita dengan mereka yang “berhikmat” yang merasa diri mereka lebih tahu daripada apa yang telah diwahyukan Allah. Faktanya, orang-orang berhikmat dari dunia ini sering gagal memahami makna KItab Suci. Kristus Tuhan kita berdoa: “Aku bersyukur kepada-Mu ya Bapa…karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Luk 10:21). Di dalam pendekatan kita, kita tidak perlu menjadi seorang yang berpemikiran cangggih dan rumit, sebaliknya kita harus berpikiran sederhana dan lurus. Dan hanya jika kita sederhana dan luruslah isi Kitab Suci itu menjadi bermakna bagi kita.
Agar pembacaan kita akan Kitab Suci menghasilkan buah dalam hidup kita dan menolong dalam hal keselamatan jiwa kita, kita sendiri harus menjalani suatu kehidupan rohani yang selaras dengan Injil. Kitab Suci memang ditujukan kepada mereka yang berusaha menjalani suatu kehidupan rohani. Itulah mengapa banyak orang lain yang membacanya dengan sia-sia, dan bahkan tidak dapat memahami banyak. Rasul Paulus mengajarkan: “Tetapi manusia duniawi [yaitu yang tidak rohani] tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena baginya hal itu adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani” (1 Kor 2:14). Semakin seseorang menjalani kehidupan rohani, semakin ia mampu memahami Kitab Suci.
Kita sendiri, sebagai orang-orang yang lemah dan yang hanya bisa bermegah atas kelemahan-kelemahan kita, harus berdoa kepada Allah agar membuka mata pengertian kita melalu rahmat-Nya. Bahkan murid-murid Kristus sendiri di jalan ke Emaus tidak dapat mengerti Kitab Suci, sampai Kristus sendiri yang membuka pikiran mereka (Luk 24:45). Jadi, sampai dengan dibukanya mata pengertian kita -yang merupakan kasih karunia dari Allah- kita bisa membaca dan mendengarkan isi Kitab Suci, tetapi tidak akan dapat memahaminya.
Mengapa kita katakan bahwa Kitab Suci itu diilhamkan oleh Allah? Di kalangan praktisi okultisme ada suatu fenomena yang dikenal dengan sebutan “penulisan otomatis”atau “psikografi”, di mana seseorang dirasuki suatu roh, dan menulis tanpa menggunakan kehendak bebasnya. Di zaman modern, praktik ini biasa dilakukan dengan duduk di depan komputer atau mesin tik dan membiarkan roh itu mengambil-alih jari-jemari seseorang untuk mengetik, sehingga memunculkan sebuah “pesan spiritual”. Ini bukanlah cara pengilhaman Kitab Suci, melainkan suatu cara kerja roh-roh jahat.
Js. Basilius Agung dalam komentarnya mengenai kitab Yesaya berkata: ”Sebagian orang mengira bahwa para Nabi bernubuat dalam suatu keadaan ekstase, di mana pikiran manusia tidak berdaya oleh Roh. Tetapi ini bertentangan dengan janji Allah untuk memberikan wahyu ilahi dalam keadaan ekstase, sehingga ketika seseorang dipenuhi dengan pengajaran-pengajaran ilahi ia benar-benar keluar dari pikiran normalnya, dan ketika ia memberi manfaat bagi orang lain ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari perkataannya… dan pada umumnya, apakah masuk di akal jika roh hikmat akan membuat seseorang seperti orang yang kehilangan akalnya, dan roh pengetahuan akan meniadakan kekuatan pikiran? Terang tidak menghasilkan kegelapan, tetapi sebaliknya membangkitkan kemampuan untuk melihat secara alamiah. Demikianlah roh tidak menghasilkan kegelapan di dalam jiwa; sebaliknya, batin yang telah dibersihkan dari kenajisan dosa dibangkitkan kepada penglihatan rohani atau kontemplasi”.
Jadi pengilhaman KItab Suci diberikan kepada orang-orang suci yang berada dalam keadaan mulia dan terilhami tetapi dalam penguasaan penuh akan kemampuan mental mereka. Barangsiapa yang ingin mengerti Kitab Suci juga harus berusaha untuk menjalankan hidup dalam kekudusan, agar menerima rahmat Allah dalam memahami apa yang telah diwahyukan oleh Roh Kudus.
Js. Basilius Agung juga menulis:
“Karunia yang pertama dan besar, yang memerlukan seseorang untuk benar-benar dibersihkan, adalah untuk menerima pengilhaman ilahi dan untuk bernubuat tentang rahasia-rahasia Allah [ini merujuk kepada orang-orang yang menulis Kitab Suci]. Dan karunia kedua, yang juga membutuhkan ketekunan yang besar adalah untuk memperhatikan dan menaati apa yang telah dinyatakan oleh Roh Kudus, dan tidak keliru dalam memahaminya, tetapi untuk dipimpin dalam pemahaman tersebut oleh Roh itu sendiri”.
Jadi karunia kedua ini adalah karunia untuk memahami apa yang telah dituliskan oleh para penulis Kitab Suci yang terilhami itu. Demikianlah kita harus berusaha untuk dapat menerima karunia dan ilham Allah agar dapat mengerti Kitab Suci. Memahami Kitab Suci bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Js. Basilius sendiri berkata:
“ada banyak bagian dalam Kitab Suci yang memang sulit untuk dipahami”. Lebih lanjut beliau menulis: “Sebagaimana Sang Pencipta tidak menghendaki kita menjadi seperti binatang, sehingga hal-hal yang memberi kemudahan hidup juga diciptakan bersama kita (misal: bulu untuk melindungi tubuh, tanduk untuk mempertahankan diri), sehingga apa yang kurang haruslah memimpin kita kepada penggunaan akal pikiran kita; demikian juga dengan Kitab Suci. Allah mengijinkan ada hal-hal yang kurang jelas di dalamnya agar kita mempergunakan pikiran kita. Apa yang diperoleh dengan usaha keras biasanya lebih lama bertahan, sama seperti apa yang cepat diperoleh juga tidak terlalu kita nikmati”.
Maksud beliau ialah, ketika kita menemukan hal-hal yang sukar dipahami dalam Kitab Suci, pikiran kita “dipaksa” untuk naik kepada suatu taraf pemahaman, sehingga kita tidak saja menerima makna-makna yang sudah jelas.
Semua hal ini menunjukkan bahwa pembacaan Kitab suci tidak boleh dianggap remeh, seperti hanya untuk mencari informasi; di mana yang diperlukan diambil dan yang tidak diperlukan dibuang. Membaca Kitab Suci membawa kepada keselamatan jiwa kita, sehingga ketika kita membacanya, kita haruslah berada dalam suatu proses berubah karena inilah sebenarnya tujuan membaca Kitab Suci. Jika kita belum bertobat, maka ini akan membawa kita kepada pertobatan. Jika kita sudah bertobat, ini akan membawa kita untuk lebih lagi berusaha hidup dalam kekudusan. Jika kita sementara berusaha hidup dalam kekudusan, ini akan membuat kita lebih rendah hati dan tidak memegahkan diri kita sendiri. Tidak ada suatu kondisi di mana kebenaran Kitab Suci tidak dapat diaplikasikan kepada kita.
Semua yang dikemukakan di atas agak berbeda dengan pengajaran kalangan Protestan (setidaknya sebagian, sebab ada juga orang-orang Protestan yang dengan tulus hati mencari kebenaran dan mau mengakui bahwa mereka memerlukan tuntunan) yang menganggap ketidakdapatsalahan Kitab Suci dapat dipahami sesuai dengan pemikiran masing-masing orang. Kita melihat denominasi Protestan yang kian hari kian banyak dan masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda terhadap Kitab Suci, sementara masing-masing mengklaim memiliki pemahaman yang paling benar. Sebagian mereka yang mempelajari bahasa Yunani mengatakan “seperti inilah maknanya dalam bahasa Yunani” sedangkan yang lain mengatakan yang berbeda dan juga memberikan klaim yang sama atas pemahamannya. Kalau demikian bagaimana kita tahu kebenarannya?
Mari kita lihat beberapa contoh pemahaman Kitab Suci yang keliru. Di dalam Kitab Suci ada cukup banyak ayat yang nampaknya bertentangan/ berkontradiksi dengan ayat-ayat yang lain. Misalnya : Setiap orang yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa lagi.(1 Yoh 3:9). Menurut ayat ini, setiap orang yang telah menjadi orang Kristen (lahir baru melalui baptisan) tidak berbuat dosa lagi. Jika demikian, mengapa ada Sakramen Pengakuan Dosa? Mengapa kalau kita lihat diri kita sendiri, kita ternyata masih berbuat dosa? Apakah ini artinya kita tidak benar-benar menjadi orang Kristen? Tapi dalam surat yang sama kita baca: “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yoh 1:8). Bagaimana penulis yang sama menuliskan dua hal yang nampaknya bertentangan? Jelaslah bahwa kita harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang kedua ayat ini.
Kita harus memahami bahwa ketika kita memiliki rahmat Allah, kita tidak berdosa; ketika kita berbuat dosa ini membuktikan kita kehilangan rahmat-Nya, dan kita harus berjuang untuk memperolehnya kembali. Kita harus mengenali bahwa ada suatu standar atau suatu model yang harus kita ikuti, yaitu tidak berbuat dosa. Kita tidak boleh menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa kita sepenuhnya berada dalam keadaan tidak berdosa setelah kita menjadi Kristen, tetapi bahwa kita harus terus berjuang ke arah hidup yang tidak berbuat dosa lagi. Kadang kita bisa mencapainya, lalu kita jatuh lagi. Inilah perjuangan “mengerjakan keselamatan” (Fil 2:12) dan “mengejar kekudusan” (Ibr 12:14) sebagai orang Kristen. Ayat-ayat ini harus kita baca dengan penuh kewaspadaan tentang makna perjuangan kehidupan sebagai seorang Kristen Orthodox.
Contoh lain, dalam Matius 23:9 dikatakan: “Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini…”. Banyak kalangan Protestan yang memahami ini secara literal sehingga mengkritik kita yang Orthodox ketika menyebut rohaniwan (Presbiter) kita dengan sebutan Romo (bahasa Jawa yang artinya Bapa). Menariknya, dalam Injil yang sama yaitu Matius 4:16, Rasul Matius menyebut Abraham sebagai “bapa kita” (Mat 3:9). Tentunya ini terkait bapa yang sudah mati. Dalam surat Ibrani, Rasul Paulus berbicara tentang pada bapa dan nabi di Perjanjian Lama, yang juga sudah mati. Tetapi ia juga berbicara tentang bapa-bapa yang masih hidup: “Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu” (1 Kor 4:15). Di sini ia berkata dengan cukup jelas bahwa “akulah bapa rohanimu”.
Memang Rasul Paulus tidak banyak berbicara tentang hal ini, sehingga mungkin orang-orang itu tidak memperhatikan ayat ini. Di sini dikatakan bahwa “kamu tidak mempunyai banyak bapa” bukan tidak mempunyai bapa sama sekali. Berarti ada beberapa yang menjadi bapa bagi orang Korintus, termasuk Paulus salah satunya sebab ia telah “memperanakkan mereka di dalam Injil”. Ini nampaknya kontradiksi dengan perkataan Tuhan Yesus “janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini”. Tetapi dalam ayat tersebut Kristus sedang berbicara Sang Bapa. Ada Satu yang disebut Bapa dalam arti yang tidak sama dengan siapapun juga yang disebut bapa. Ada juga yang lain yang disebut bapa dalam arti yang terbatas: ada bapa rohani, ada bapa jasmani, semuanya adalah bapa tapi dari jenis yang berbeda. Ini sama dengan ketika Kristus berkata: “Janganlah pula kamu disebut pemimpin , karena hanya satu pemimpinmu yaitu Mesias” (Mat 23:10).
Penafsiran tentang makna literal dan non-literal juga seringkali menjadi masalah di kalangan Protestan secara umum. Pernah dalam suatu perbincangan, beberapa orang Protestan berkata bahwa mereka memahami Kitab Suci secara literal, apa adanya. Namun ketika ditanyakan tentang Yohanes 6:53 “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu”, jawaban mereka adalah: “itu bukan makna sebenarnya/ literalnya”. Dari kontradiksi semacam ini dapat disimpulkan bahwa di kalangan mereka ada kencenderungan memilih mana yang bermakna literal dan non-leteral sesuai dengan doktrin denominasi mereka.
Banyak ayat di dalam Kitab Suci hanya bisa dipahami dalam konteks pengajaran dogmatik (yang diterima seseorang baik dari Kitab Suci atau dari sumber lain entah itu dari suatu otoritas gerejawi ataupun pendapat pribadi pengajar tertentu). Ada misalnya kelompok Protestan ala Yahudi yang mengklaim bahwa pernyataan Kristus kepada Js. Dismas, penjahat yang disalibkan di sebelah kanan-Nya “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43) disalahpahami, karena ada salah penempatan tanda baca koma, sehingga seharusnya dibaca: “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu hari ini, engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43), karena mereka mengajarkan bahwa ketika seseorang mati, jiwanya tertidur sehingga tidak mungkin pada hari itu jiwa si penjahat bisa bersama-sama Kristus dalam Firdaus. Inilah contoh pengubahan makna Kitab Suci untuk mendukung ajaran seseorang atau suatu kelompok. Dan karena pengajaran dogmatika mereka tentang hal ini keliru, maka penafsiran mereka tentang Kitab Suci juga keliru.
Banyak persoalan seperti di atas yang menjadi bahan perdebatan di kalangan denominasi-denominasi modern. Kita umat Orthodox tidak perlu larut dalam debat-debat kusir semacam ini, tetapi harus mengetahui prinsip yang benar dalam memahami Kitab Suci. Tentang hal ini Js. Yohanes Krisostomos dalam komentarnya tentang Surat Filipi berkata:
“Seseorang tidak boleh sembarangan mengambil ayat-ayat Kitab Suci dan mengeluarkannya dari hubungan dan konteksnya. Seseorang tidak boleh sekadar mengambil kata-katanya tanpa melihat apa yang mendahului dan apa yang ada setelahnya hanya demi mempermainkannya dan membuat dirinya kelihatan pintar. Sebab jika dalam pengadilan atas suatu kejahatan di mana kita menyelidiki hal-hal duniawi, kita mengajukan semua yang diperlukan demi kebenaran-waktu dan tempat, sebab-sebab, orang-orang terkait, dan lain sebagainya- adalah suatu kekonyolan jika yang ada di depan kita adalah perjuangan demi hidup yang kekal dan kita hanya mengutip Kitab Suci sekenanya saja”.
Sayangnya, inilah yang suka dilakukan oleh denominasi-denominasi Kristen modern. Tidak melihat konteksnya, tidak melihat keseluruhan dogma teologis, tetapi mengutip Kitab Suci sesuka hatinya dan mengklaim penafsirannya sebagai yang paling benar. Padahal, ayat-ayat Kitab Suci haruslah diletakkan dalam konteksnya, dalam suatu gambaran besar di kitab/ surat mana ayat itu berada, di dalam keseluruhan Alkitab, dan di dalam keseluruhan ajaran Kristus yang diterus-sampaikan di dalam Gereja-Nya.
Ada satu kesulitan yang sering ditemui ketika ada pertanyaan tentang bagian-bagian mana di dalam Kitab Suci yang harus dimaknai secara literal dan mana yang tidak. Tentunya kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini hanya dengan mengandalkan kemampuan pemikiran praktis kita saja, sebab cara semacam inilah yang pada akhirnya melahirkan begitu banyak denominasi seperti sekarang ini. Terkait hal ini, Js. Simeon Sang Teolog Baru, seorang Bapa Gereja Orthodox dari abad ke-11 menjelaskan:
“Kristus Tuhan kita mengajar kita setiap hari melalui Injil Suci, di mana beberapa hal dibicarakan-Nya dengan makna tersembunyi sehingga tidak banyak orang dapat mengerti ketika Ia berbicara dalam perumpamaan. Dan sebagian hai ini kemudian dijelaskan-Nya kepada para murid-Nya dengan berkata: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan… (Luk 8:10). Tetapi hal-hal lain disampaikannya dengan terus terang dan jelas kepada semua orang, sebagaimana yang dikatakan para murid-Nya kepada-Nya: “…Lihat, sekarang Engkau terus terang berkata-kata dan Engkau tidak memakai kiasan” (Yoh 16:29). Jadi adalah tugas kita untuk menyelidiki dan menemukan bagian mana yang diajarkan Kristus secara jelas, dan bagian mana yang diajarkan-Nya secara tersembunyi dan di dalam perumpamaan.”
Js. Simeon memberikan beberapa contoh ketika Tuhan Yesus berbicara secara jelas dan terus terang, misalnya: Kasihilah musuhmu (Mat 5:44), kita harus memaknai ini secara literal. Begitu juga dalam Sabda Bahagia; “Berbahagialah kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa” (Luk 6:21). Kita harus memaknainya sebagaimana adanya; sekarang ini adalah waktu kita untuk menangis atas dosa-dosa kita. Kemudian “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat 3:2); atau “Barangsiapa mencintai nyawanya akan kehilangan nyawanya” (Yoh 12:25); atau “Setiap orang yang mau menigkut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mat 16:24). Beberapa di antara ajaran ini sangatlah sulit untuk dilakukan, bahkan untuk sekadar dipahami pun sulit bagi pikiran kita yang duniawi ini. Tetapi, dengan pengetahuan akan Kerajaan Sorga dan kehidupan rohani, hal-hal tersebut menjadi jelas dan dimaknai secara literal, walaupun terkadang juga digunakan secara metafora.
Mengenai perumpamaan, Js. Simeon memberi contoh tentang iman yang sebesar biji sesawi (Luk 13), atau tentang Kerajaan Sorga yang seumpama mutiara yang mahal harganya (Mat 13:45), atau ragi (Mat 13:33). Beliau berkata:
“Jadi, aku mohon kepadamu, renungkanlah betapa besarnya hikmat Allah, sehingga melalui perantaraan contoh-contoh yang indrawi, yang bagi kita nampaknya biasa saja, Ia telah menggambarkan bagi kita, dan seperti seorang seniman, menggambarkan dalam pikiran kita hal-hal yang tidak dapat kita pikirkan dan tidak dapat kita jangkau. Ia melakukannya agar mereka yang tidak mau percaya tetap menjadi buta dan tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal mulia di dalam Sorga, sebab mereka membuat diri mereka sendiri tidak layak oleh karena ketidakpercayaan mereka. Tapi mereka yang percaya, dengan mendengar dan menerima dengan iman isi perumpamaan tersebut, dapat melihat kebenaran dan mengetahui secara jelas kenyataan dari hal-hal yang disampaikan dalam perumpamaan tersebut, sebab perumpamaan adalah gambaran dari hal-hal rohani” (Homili 53).
Js. Simeon juga mengajarkan bahwa surat-surat rasuli juga mengandung hal-hal yang tersembunyi selain hal-hal yang disampaikan dengan terang dan jelas.
Terkait erat dengan pemaknaan literal dan pemaknaan non-literal (mistika) dari ayat-ayat Kitab Suci, ada kasus-kasus di mana suatu ayat atau teks tertentu memiliki banyak lapisan makna, di mana obyek bendawi dibicarakan dalam rangka mengangkat pemikiran kita kepada suatu realita rohani. Ini tidak berarti bahwa kita harus dengan sengaja mencari-cari simbol-simbol di dalam Kitab Suci, tetapi ini terkait dengan mengangkat diri kita ke suatu tingkatan rohani di mana kita bisa mulai memahami realitas spiritual dari apa yang dibicarakan oleh para penulis Kitab Suci yang diilhami Allah tersebut.
Jadi misalnya ketika Daud berkata: “Engkau telah membuka ikatan-ikatanku” (Maz 116:16), ia tidak sekadar berbicara tentang ikatan fisik tetapi juga menggunakan ini sebagai simbol keluputan dari kelapukan dan kematian. Inilah makna mistikanya. Ia tidak menggunakan gambaran bendawi dari “ikatan” hanya untuk menyatakan makna mistikanya yaitu hilangnya kelapukan, tetapi pada saat yang sama ia juga berbicara tentang lapisan makna kedua, dengan menggunakan gambaran fisik sebagai satu kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran rohani mengenai kebebasan dari kebinasaan. Jika kita sudah tahu ajaran Kristen tentang kejatuhan Adam, kerusakan dunia dan penebusan kita oleh Yesus Kristus, dan jika kita sedang berjuang untuk mengangkat diri kita ke tingkat rohani ini, kita tidak butuh suatu tafsir untuk menjelaskan kata-kata ini; tafsir para Bapa Suci akan menolong kita, tetapi kita tidak perlu suatu tafsir khusus untuk menyatakan bahwa hal ini bermakna sama dengan hal itu, sebab kata-kata itu sendiri mengungkapkan makna rohani. Siapapun yang membaca dan berdoa dengan Mazmur mengalami ini. Khususnya pada masa-masa penderitaan dan kesesakan, ayat-ayat Mazmur mendapatkan makna yang baru dan lebih dalam; kita menemukan bahwa hal-hal fisik dapat merujuk kepada penderitaan dan kepatahan semangat kita sendiri dan kebutuhan kita untuk menerima kelepasan dari Kristus.
Ibadah-ibadah Orthodox dipenuhi dengan jenis bahasa semacam ini, yang disebut syair suci. Kunci memahami syair-syair ini adalah menjalani suatu kehidupan rohani sebagaimana yang dikatakan Kitab Suci. Singkatnya, pemahaman Kitab Suci membutuhkan rahmat Allah. Js. Simeon Sang Teolog Baru memberikan suatu gambaran yang luar biasa terkait hal ini:
“Pengetahuan rohani adalah ibarat sebuah rumah yang dibangun di antara kearifan orang Yunani dan hikmat duniawi, yang mana di dalam rumah tersebut, seperti harta yang tersimpan dalam peti yang tertutup rapat, terdapat pengetahuan mengenai Kitab Suci, dan harta karun yang tersimpan dalam pengetahuan mengenai Kitab Suci tidak lain adalah rahmat Ilahi. Mereka yang memasuki rumah itu tidak bisa melihat harta tersebut jika peti itu tidak dibukakan bagi mereka, tetapi peti ini tidak dapat dibuka dengan hikmat manusia manapun. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang berpikir dengan cara dunia tidak mengetahui harta rohani yang tersimpan di dalam peti pengetahuan rohani, dan sebagaimana seseorang tidak dapat melihat isi peti itu hanya dengan mengangkatnya di bahunya saja, demikianlah seseorang bisa saja membaca dan menghafal ini Kitab Suci dengan mudah, dan bisa membacanya semudah membaca satu pasal Mazmur, ia tidak bisa memperoleh rahmat Roh Kudus yang tersembunyi di dalamnya hanya dengan melakukan hal-hal tersebut. Sebagaimana apa yang tersembunyi di dalam peti tidak bisa diperlihatkan oleh peti itu sendiri, demikian jugalah apa yang terkandung dalam Kitab Suci tidak bisa diungkapkan oleh Kitab Suci sendiri” (Homili 39).
Ini adalah suatu pernyataan yang sangat menarik, yang menunjukkan bahwa apa yang diyakini banyak orang ternyata keliru, bahwa Kitab Suci bisa mengungkapkan maknanya sendiri. Ternyata makna Kitab Suci dapat diungkapkan hanya dengan rahmat Allah. Js. Simeon juga menjelaskan:
“Ketika Allah berdiam di dalam kita dan menyatakan diri-Nya kepada kita secara sadar, maka pengetahuan kita dibangunkan, yaitu kita mengerti dalam realitas rahasia-rahasia yang terkandung dalam Kitab Suci. Tetapi tidaklah mungkin meraih ini dengan cara lain. Mereka yang tidak tahu apa yang aku bicarakan dan belum mengalaminya di dalam kenyataan belumlah mencicipi kemanisan hidup kekal yang dimiliki Kitab Suci, dan mereka hanya menyombongkan pengetahuan mereka; mereka menaruh harapan akan keselamatan mereka hanya pada pengetahuan mereka akan Kitab Suci dan fakta bahwa mereka hafal isi Kitab Suci. Orang-orang semacam ini, setelah kematiannya, akan dihakimi dengan ukuran yang lebih daripada mereka yang sama sekali tidak pernah mendengar isi Kitab Suci. Khususnya mereka yang telah melenceng di dalam kebebalannya merusak makna Kitab Suci dan menafsirkannya seturut hawa nafsu mereka. Bagi mereka kuasa Kitab Suci tidak akan dapat diperoleh… Seseorang yang memiliki seluruh Kitab Suci di bibirnya tidak bisa memahami dan memperoleh kemulian ilahi dan kuasa yang terkandung di dalamnya jika ia tidak melakukan perintah-perintah Allah dan menerima Sang Penghibur, Roh Kebenaran sebagai jaminan yang akan membukakan baginya makna kata-kata Kitab Suci dan menunjukkan kepadanya kemuliaan mistika yang ada di dalamnya, dan juga kuasa dan kemuliaan Allah; hal-hal baik yang terkandung di dalamnya, bersama dengan hidup kekal yang mengalir bersama dengan hal-hal baik tersebut. Tetapi hal-hal ini disembunyikan dan tak dapat diketahui oleh mereka yang dengan ceroboh meremehkan perintah-perintah Allah”.
Demikianlah, untuk membaca dan memahami Kitab Suci kita harus menjalani hidup yang seturut dengan perintah-perintah Allah, dan juga menerima rahmat Roh Kudus seperti juga yang dialami oleh para penulis Kitab Suci. Kita juga harus bersemangat dan setia dalam membacanya. Js. Yohanes Damaskus, Bapa Gereja dari abad ke-8 yang merangkum pengajaran Bapa-bapa Gereja sebelum dia dalam tulisannya berjudul The Exact Expositon of the Orthodox Faith berkata:
”Janganlah kita mengetuk sambil lalu, tetapi haruslah dengan keinginan dan ketekunan, dan janganlah kita patah semangat ketika mengetuk, agar pintu dibukakan bagi kita. Jika kita membaca sekali dua kali dan belum juga mengerti apa yang kita baca, janganlah putus asa. Marilah bertahan, marilah merenung dan bertanya, sebab ada tertulis: Tanyakanlah kepada bapamu, maka ia akan memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-tuamu, maka mereka akan mengatakannya kepadamu (Ul 32:7). Sebab tidak semua orang memiliki pengetahuan. Dari mata air firdaus marilah kita mengambil air yang paling murni yang terus mengalir sampai kepada kehidupan kekal, marilah kita bergembira di dalamnya, marilah kita bersukacita di dalamnya sampai terpuaskan, sebab di dalamnya terdapat rahmat yang tak berkesudahan.”
Satu hal penting juga yang harus diperhatikan dalam membaca Kitab Suci, adalah kita harus membacanya dengan kerendahan hati, maksudnya ialah kita seharusnya tidak berharap bahwa dengan membaca sekali saja kita akan langsung “mengerti”; kita seharusnya tidak berharap bahwa dengan membaca menggunakan akal sehat kita merasa bahwa kita benar-benar paham; tetapi kita harus dengan kerendahan hati berpikir bahwa mungkin ada bagian-bagian penting yang luput dari pemahaman kita, bahkan dalam ayat-ayat yang nampaknya sudah “sangat jelas”. Kita harus memiliki kerendahan hati, sebab pokok yang menyebabkan munculnya berbagai denominasi dan sekte belakangan, yang berdasarkan pada perbedaan penafsiran terhadap Kitab Suci, persisnya adalah kesombongan. Mereka membaca dan berpikir: “saya mengerti apa yang dikatakan di situ”, dan disinilah kekeliruannya. Ketika kita membaca Kitab Suci, kita harus berkata pada diri sendiri bahwa: “Saya paham sedikit, saya belajar dari pengajaran para Bapa Gereja, saya telah membaca buku-buku tafsir dan mendengarkan khotbah di gereja, dan pemahaman saya sesuai dengan apa yang telah diajarkan kepada saya melalui Tradisi Gereja, tapi tetap saja saya tidak sepenuhnya percaya bahwa saya tahu apa yang saya pahami”. Kita harus selalu ingat bahwa pengetahuan kita akan Kitab Suci, -tidak peduli seberapa banyak- tidaklah cukup. Kita harus mau untuk terus belajar dan belajar.
“Ada kemanisan di dalam Kitab Suci. Ia seperti sepucuk surat dari seorang raja, suatu pelipur lara, yang dikagumi, dibaca berulang, dan diperbincangkan; ia adalah sukacita seorang anak yang jauh dari bapanya,dan bahkan lebih dari itu; sebab di dalam firman-Nya kita menemukan Allah sebagai Bapa kita..” (Js. Tikhon dari Zadonsk)