Orthodox Sejati Indonesia Sejati

Haram dan Halal (Kosher dan Trefah) Bagian 3

Demikianlah sejak zaman Adam itu “darah korban” telah menjadi tanda akan Janji Allah bagi kedatangan Sang “Keturunan Perempuan” yang “diremuk tumitNya” oleh Iblis bagi mengalahkan kuasa Iblis itu sendiri, di mana hidup kekal dipulihkan bagi manusia. Itulah sebabnya ketika “Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan “ (Kejadian 4:3), Kitab Suci mengatakan “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak di-indahkan-Nya “ (Kejadian 4:5).

Ini dikarenakan korban Kain tak mengandung darah yang tercurah. Sedangkan ketika “Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu” (Kejadian 4), karena korban Habel mengandung “darah yang tercurah” sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah kepada Adam.

Demikianlah untuk seterusnya korban yang berkenan kepada Allah di dalam Perjanjian Lama itu menyangkut korban binatang dengan tercurahnya darah. Terutama setelah pada zaman Musa dengan didirikannya Kemah Suci (Tabernakel), korban-korban itu makin rinci aturannya (Imamat 1-7). Mengapa darah Kristus yang akan tercurah yang sebelum kedatanganNya itu ditandai dengan korban-korban binatang itu begitu penting? Apa pula hubungannya dengan pemulihan hidup kekal?


Imamat 17: 10-14 mengatakan demikian:
Setiap orang dari bangsa Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka, yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya. Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa. Itulah sebabnya Aku berfirman kepada orang Israel: Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah. Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah. Karena darah itulah nyawa segala makhluk. Sebab itu Aku telah berfirman kepada orang Israel: Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan.“


Ayat-ayat di atas itu menunjukkan larangan Allah yang amat keras bagi “bangsa Israel” dan bagi “orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka ”, untuk “makan darah apa pun” dengan diberi ancaman bahwa Allah “sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya“. Ada tiga alasan mengapa larangan makan darah bagi Israel dan mereka yang tinggal di tengah-tengah Israel begitu kerasnya. Alasan :


1) Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya
2) Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu
3) darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa


Berdasarkan keterangan dari ayat-ayat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kehidupan atau nyawa makhluk secara jasmani itu terdapat dalam darahnya, karena barangsiapa kehilangan darah pasti dia mati. Dengan demikian darah adalah mewujudkan nyawa atau kehidupan itu sendiri. Ketika Adam dan semua manusia yang lain berdosa, saat itu pula mereka terputus dari sumber kehidupan yaitu Allah, sehingga mereka menerima kematian sebagai upahnya atau hukumannya. Namun Allah adalah Allah yang tidak menghendaki kematian manusia sebagai akibat dosa. Sehingga Allah “telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu”.

Nyawa manusia itu yang seharusnya dihabisi atau dilenyapkan karena dosanya, sehingga manusia itu harus mati. Namun karena Allah tak berkehendak akan kematian manusia, dan dalam kasihNya tak hendak menghukum manusia yang bertobat, maka Dia membuat jalan pendamaian. Jalan pendamaiannya adalah manusia yang bertobat itu membawa korban kepada Allah, lalu mengakui dosa- dosanya di hadapan Allah, sambil menumpangkan tangannya pada binatang korban.


Secara simbolis maka binatang korban itu yang memikul dosa-dosa manusia, dan secara simbolis manusia mengidentikkan kehidupannya yang berdosa dengan binatang korban. Maka ketika binatang korban itu disembelih “di atas mezbah”, berarti diri manusia yang berdosa itu dihukum mati, dan nyawa manusia yang berdosa itu mengalami kematian secara simbolis. Sehingga manusia yang berdosa tadi tak menerima kematian, tetapi menerima kehidupan, tak menerima penghukuman tetapi menerima pendamaian, karena sekarang dirinya diterima Allah kembali.

Demikianlah darah atau kehidupan atau nyawa dari binatang korban itu “mengadakan pendamaian bagi nyawamu”. Karena darah adalah kehidupan dari binatang itu, maka darah adalah nyawa si binatang korban itu. Dengan dicurahkannya darah binatang atas nama si manusia bertobat tadi, maka “nyawa” binatang sebagai simbol nyawa manusia bertobat, “mengadakan pendamaian perantaraan nyawa”. Jadi darah binatang itu menjadi pemulih kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah.

Allah mengadakan pendamaian kepada manusia melalui darah binatang korban. Oleh karena itu darah binatang tempatnya bukan di atas piring untuk dimakan, namun di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian. Dengan demikian secara eksklusif darah binatang itu haknya Allah, dan sarana Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan DiriNya. Itulah sebabnya adalah suatu hujat dan penghinaaan luar biasa jika pada zaman itu manusia meremehkan cara pendamaian Allah bagi manusia, dengan menjadikannya makan biasa.

Karena itulah hujat, peremehan, dan penghinaan manusia yang demikian diberi ancaman keras dengan mengatakan: ”Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan“, juga bagi mereka yang makan darah apapun dikatakan : ”Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.”


Namun demikian setelah Kristus datang, Kitab Suci mengatakan bahwa “… Anak Manusia ….. memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Karena itu “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (II Korintus 5:18), sebab Kristus adalah “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29), dan “anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus” (I Korintus 5:7).

Jadi sekarang bukan lagi darah kambing atau darah domba yang membuat pendamaian kita dengan Allah, namun “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (Roma 3:25), sehingga “darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.” (I Yohanes 1:7). Ini disebabkan “…tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (Ibrani 10:4), sebab dari awal ketika Allah mencurahkan darah binatang bagi Adam, itupun hanya sebagai tanda akan JanjiNya mengenai kedatangan Sang Juru Selamat.

Jadi ketika Juru Selamat sudah datang, maka bukan lagi darah bintang yang diperlukan, namun Darah Sang Juru Selamat itu sendiri yang tercurah bagi pendamaian dan penebusan serta keselamatan kita, sehingga kita mendapatkan hidup kebangkitanNya, yaitu hidup kekal. Hal ini dikatakan “darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:28).

Sehingga kita tak perlu lagi “darah……di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu” sebagaimana yang dikatakan dalam Perjanjian Lama. Dengan itu pula maka sudah habis masa berlakunya perintah “yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya”, serta “Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah”, dan “Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan”. Sebab larangan-larangan ini terkait dengan tujuan penggunaan darah di atas mezbah bagi pendamaian nyawa manusia di zaman Perjanjian Lama. Sedangkan kita sekarang tidak didamaikan oleh darah binatang di atas mezbah, namun oleh Darah Anak Domba Allah di atas Kayu Salib.

Hal yang Menajiskan dan Membuat kita Tak Masuk ke Dalam Kerajaan Sorga


Dengan memahami makna larangan makan darah dalam hubungannya dengan darah sebagai alat pendamaian di atas mezbah di zaman Perjanjian Lama, di mana hal itu sudah digenapi di dalam pencurahan darah Yesus Kristus, sehingga larangan itu sudah tak berlaku lagi, maka adalah merupakan hal yang di luar “ruh/ semangat dan makna” ajaran Alkitab orang yang mengajarkan bahwa orang yang makan darah akan masuk Neraka.

Tak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang mengatakan demikian. Jika benar karena makan darah binatang orang bisa masuk Neraka, maka berarti Darah Yesus yang menebus kita itu kalah dengan darah binatang, dan ini adalah hujat terhadap kasih-karunia Allah. Tak ada satu hukum ritual apapun yang dapat membuat kita masuk Neraka. Menurut Alkitab yang membuat kita masuk Neraka adalah sikap moral kita bukan upacara-upacara lahiriah seperti tidak makan ini atau tidak makan itu.


Dikatakan oleh Sang Kristus Yesus sendiri demikian: ”Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal ….sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Markus 7:21-23).

(Bersambung)
.

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts