(oleh Arkhimandrit Rm. Daniel B.D. Byantoro)
c) Hubungan antara Kemanusiaan dan Keilahian dari Firman Allah Yang Menjelma sebelumnya telah kita bahas bahwa meskipun Yesus Kristus oleh kebangkitanNya terbukti berkodrat “Allah”, karena Dia itu adalah “Firman Allah”, namun karena Ia berwujud manusia, maka Dia adalah Firman Allah yang menjelma. Artinya Ia adalah Firman Allah yang “menjadi manusia” atau “menjadi daging” (Yohanes 1:14). Ia adalah Firman Allah yang “diutus” (Yohanes 17:3, Galatia 4:4) turun dari sorga ke bumi (Yohanes 3:13, 6:38,41-42,50-51,58) oleh akibat tindakan dan gerak kasih kekal yang ada di dalam diri Allah yang kita sebut tadi. Dan pada saat turunNya dari sorga Ia masuk ke dalam rahim wanita: Maria Sang Perawan (Galatia 4:4). Oleh kuasa Roh Kudus (Matius 1:18) Ia mengambil kemanusiaan atau “mengambil rupa seorang hamba” dari rahimnya sehingga Ia disebut sebagai “buah rahim” Maryam (Lukas 1:42), serta “menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:7) yaitu mengenakan Tubuh Manusia, bagi keselamatan manusia.
Itulah yang dikatakan Pengakuan Iman Nikea butir kedua yang telah kita kutip sebelumnya : ”Yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dari sorga, dan menjelma oleh Sang Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maryam, serta menjadi manusia.” Yang mengambil kemanusiaan dari Perawan Maryam ini adalah “Hypostasis” yang satu dari Firman Allah. Dengan demikian Ia tetap tak kehilangan sifat IlahiNya yang sempurna dan kekal, meskipun Ia telah mengenakan tubuh jasmaniah yang diambilNya dari rahim Sang perawan Maryam. Sehingga Maryam disebut sebagai “Ibu Tuhan” (Lukas 1:43) atau “Bunda Allah” (“Theotokos”), artinya Maryam mengandung seorang bayi yang tetap berkodrat Allah meskipun telah memiliki dirinya sebagai IbuNya dan bayi itu sebagai Anaknya, yaitu Firman yang telah mengenakan tubuh manusia tetap berkodrat Allah baik semasa belum dikandung, semasa dalam kandungan, maupun sesudah dilahirkan Maryam.
Hal ini dikatakan Kitab Suci demikian: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,” (Kolose 1:19), dan “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kolose 2:9). Karena dalam “Dia” yaitu dalam “Hypostasis” atau “Pribadi” yang Satu dari Firman Allah yang Menjelma itu diam atau berdiam “ seluruh kepenuhan Allah” atau “seluruh kepenuhan ke-Allahan”, maka jelas Yesus Kristus atau Firman Allah yang menjelma ini tetap memiliki “kodrat ilahi” sebagai Allah yang sempurna atau “Allah yang benar” (I Yohanes 5:20).
Meskipun Firman itu telah turun ke dunia dan mengambil Tubuh Jasmani dalam Inkarnasi-Nya, namun Ia tak pernah meninggalkan kesatuanNya di dalam diri Sang Bapa. Karena Allah dapat hadir di mana-mana, maka Firman Allah yang berkodrat “Allah” itupun dapat hadir sekaligus dalam Tubuh PenjelmaanNya sebagai Manusia Yesus Kristus, maupun dalam kesatuanNya di dalam Diri Allah sebagai Firman yang kekal. Allah tak mengalami perubahan apapun ketika FirmanNya menjadi manusia ini. Allah tetap Esa dan tetap memiliki Firman dan RohNya yang kekal dalam diriNya, meskipun Firman itu telah diutusNya untuk mengambil Tubuh Jasmani Manusia.
Selanjutnya dikatakan bahwa “seluruh kepenuhan ke-Allahan” atau “seluruh kepenuhan Allah” ini “berdiam secara jasmaniah” di dalam Dia yaitu di dalam Yesus Kristus, Sang Firman Menjelma. Keberadaan “jasmaniah” dari Yesus Kristus itu dikatakan oleh Kitab Suci demikian: ”…. anak-anak (yaitu: manusia) itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka” (Ibrani 2:14), juga “…dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya (yaitu: umat manusia)…”(Ibrani 2:17), serta: ”…. , sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15), “…. mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa…” (Roma 8:3).
Berdasarkan ayat-ayat ini keberadaan jasmaniah Kristus itu adalah “sama dengan” segenap manusia, serta Ia “mendapat bagian dalam keadaan” manusia, karena “dalam segala hal (termasuk tubuh, jiwa, roh, emosi, perasaan, kehendak, pikiran, dan sebagainya) Ia harus disamakan dengan” manusia. Demikian pula sebagai manusia “sama dengan kita, Ia telah dicobai,” dan “serupa dengan daging yang dikuasai dosa” meskipun Ia tak berbuat dosa. Artinya sifat jasmaniah Kristus atau sifat kemanusiaan Kristus itu sepenuh-penuhnya tidak ada bedanya dengan manusia siapapun yang ada dalam alam ini, bahkan Iapun mengalami pencobaan, meskipun Ia tak pernah jatuh dalam pencobaan itu sehingga Ia tak pernah berdosa.
Dengan kata lain Kristus memiliki “kodrat manusiawi” sebagai Anak Maryam yang memiliki kemanusiaan yang sempurna. Kristus adalah manusia sejati sama seperti kita semua, kecuali dosa. Data-data Alkitab ini menunjukkan bahwa Yesus Kristus, sebagai Firman Allah Yang Menjelma itu memiliki “Kodrat Ilahi” sebagai Allah yang sempurna, dan “Kodrat Manusiawi” sebagai Manusia yang sempurna. Yesus Kristus memiliki Dua Kodrat yang sempurna masing-masing sifatnya. Hubungan antara Dua Kodrat itu dinyatakan dengan jelas dalam Kolose 2:9 yang telah kita kutip di atas: “Sebab dalam Dialah (Satu Pribadi / satu Hypostasis) berdiam secara jasmaniah (Kodrat Manusiawi) seluruh kepenuhan ke-Allahan (Kodrat Ilahi)”.
Jadi Kristus itu memiliki “Dua Kodrat” (Ilahi dan Manusiawi) dalam “Satu Hypostasis”. Kodrat Ilahi-Nya tidak berubah jadi Kodrat Manusiawi, dan Kodrat Manusiawi-Nya tidak berubah jadi Kodrat Ilahi, masing-masing sifat kodrat-kodrat itu dijaga kesempurnaan dan keutuhannya secara tak campur-baur ataupun kacau-balau, namun keduanya di”manunggalkan” dalam “Satu Hypostasis/ Pribadi” yang kekal dari Firman Allah secara tak dapat dipisah-pisah ataupun dibagi-bagi.
Kebenaran Kitab Suci yang demikian inilah yang ditegaskan dalam rumusan Konsili Ekumenis yang Keempat dari Gereja Orthodox Purba pada tahun 451 Masehi di Khalsedonia. Hanya dengan memiliki keberadaan yang demikian sajalah Yesus Kristus itu dapat menyelamatkan manusia. Dengan kodrat kemanusiaan kita yang diambilNya dari Maryam itu di “manunggalkan” dengan Hypostasis-Nya yang satu, maka kodrat kemanusiaan Kristus itu juga dirembesi oleh kekekalan dari “kodrat ilahiNya” yang merupakan sifat asli dari “Hypostasis”Nya yang satu. Sehingga dengan dirembesi oleh sifat kekal dari kodrat ilahiNya, maka kuasa kematian yang ada di dalam kodrat kemanusiaanNya itu dapat dimusnahkan.
Itulah sebabnya Kristus berkehendak untuk mati (Yohanes 10: 17-18) melalui raga manusiaNya yang memang dapat mati jika Ia kehendaki, agar oleh kematianNya di atas Salib Ia dapat menghancurkan kuasa maut (Ibrani 2:14), melalui kebangkitan oleh kuasa kekekalan yang ada dalam “kodrat ilahi”Nya. Dengan kuasa maut telah disingkirkan oleh “kodrat Ilahi”Nya melalui kebangkitan, maka Tubuh yang telah bangkit itu betul-betul diresapi oleh kekekalan dari “kodrat ilahi” sehingga menjadi “Tubuh Yang Mulia” (Filipi 3:21) yang sebelum kebangkitan secara sekilas telah dinampakkan pada saat Kristus dimuliakan di atas gunung. Di mana Sinar Ke-Ilahi-an Kristus memancar dan menembus serta bersinar melalui tubuh jasmaninya, sehingga “…. wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang” (Matius 17:2).
Demikianlah Kodrat Ilahi Kristus itu betul-betul meresapi dan merembesi Kodrat Manusiawi-Nya. Dengan demikian melalui Penjelmaan Kristus ini apa yang dalam tradisi spiritual Jawa disebut sebagai “Manunggaling Kawula lan Gusti” (“Menyatunya antara Hamba dan Tuhan”) atau menurut tradisi spiritualitas Barat disebut “Unio Mystica” (“Panunggalan Mistika”) telah tercapai secara historis dan kongkrit, bukannya secara spekulatif, subyektif dan emosional seperti yang dipraktikkan dalam aliran-aliran spiritualitas tradisional atau gerakan-gerakan mistikisme yang selalu ada dalam setiap agama.
Karena Kodrat Manusiawi Kristus yang pernah hidup dalam sejarah secara kongkrit sebagai “Kawula”/ ”Hamba” itu telah dimanunggalkan dengan Kodrat Ilahi-Nya sebagai “Gusti/ Tuhan” secara tak dapat dibagi-bagi maupun dipisah-pisahkan lagi. Kristus adalah kunci dari kerinduan manusia akan “Manunggaling Kawula lan Gusti” atau Panunggalan antara Manusia dengan Yang Ilahi. Karena dalam Kodrat Ilahi-Nya Kristus adalah satu dzat-hakekat dengan Bapa, artinya satu dzat-hakekat dengan Allah, namun dalam Kodrat Manusiawi-Nya itu Kristus itu satu hakekat dengan Maryam, berarti satu hakekat dengan segenap manusia.
Dengan demikian Kristus telah menjadi jembatan yang menyatukan realita ilahi dengan keberadaan manusia, dengan kata lain Kristus telah menjadi satu-satunya “Perantara antara Allah dan Manusia” ( I Timotius 2:5). Perembesan dan peresapan “Kodrat Ilahi” ke dalam “Kodrat Manusiawi” Kristus akibat panunggalan dalam “satu Hypostasis” itu digambarkan oleh Bapa Suci Kyrillos Patriarkh dari Alexandria penentang keras Nestorianisme pada Konsili Ekumenis ketiga tahun 431, sebagai bersatunya nyala api dengan besi yang dipanasi seorang pandai besi. Di mana merah membaranya api dan sifat panasnya yang membakar itu bersatu dengan bentuk dan zat padat besi yang dipanasi. Bentuk besi maupun zat serta kepadatan besi yang dipanasi tetap utuh tak berubah namun itu menyatu dengan merah menyalanya serta panas dan sifat membakarnya api. Besinya tak berubah jadi api, demikian juga apinya tak berubah jadi besi, namun besi bersifat api, dan api mengikuti bentuk besi tanpa dapat dipisah-pisah atau dibagi-bagi, namun masing-masing kodrat api dan kodrat besi itu tetap terjaga keutuhannya secara tidak campur-baur dan tidak kacau-balau. Dengan demikian yang ada sekarang bukan besi dan api secara terpisah, namun hanya ada besi yang bersifat api, atau api yang mengambil bentuk besi yang sedemikian menyatunya sehingga tak dapat dipisahkan ataupun dibagi meskipun tetap dapat dibedakan masing-masing sifatnya.
Demikianlah “Kodrat Ilahi” Kristus yang bersifat api itu (Ibrani 12:29) tanpa berubah sifat ke-Ilahi-anNya telah menyatu/ manunggal dalam “Satu Hypostasis” dengan “Kodrat Manusia”-Nya tanpa menghilangkan sifat-sifat manusiawiNya, namun merembesi dan meresapi “Kodrat Manusiawi” itu dengan sifat-sifat dari Kodrat IlahiNya. Dengan demikian dalam Kristus sekarang dimungkinkan bagi manusia untuk secara langsung manunggal dengan Allah secara nyata dan kongkrit bagi mengambil-bagian dalam kekekalan, kemuliaan, serta sifat-sifat dan kodrat ilahi, sehingga manusia lepas dari kuasa maut, dosa dan Iblis. Dan inilah yang dimaksud dengan keselamatan itu.
Hal itu dikatakan demikian oleh Kitab Suci: ”… Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi…” (II Petrus 1:4), serta: ”….Setiap orang yang lahir dari Allah, …. benih ilahi tetap ada di dalam dia….” (I Yohanes 3:9). Dalam Kristus manusia dapat secara kongkrit bukan saja untuk mendekati namun bahkan untuk menyatu dan manunggal dengan Allah itu sendiri. Kristus yang kelihatannya menghalangi pendekatan manusia kepada Allah secara langsung karena seolah-olah menghambat hubungan langsung manusia kepada Allah karena harus menjadi pengantara, justru menjamin bukan saja sifat langsung dari hubungan itu namun bahkan memanunggalkan manusia secara langsung dengan Allah, karena dalam Kristus “Kodrat Manusia” itu telah manunggal dan bersinggungan secara langsung dengan “Kodrat Ilahi”.
Kristus mendekatkan Allah kepada manusia, dan menjamin hubungan langsung manusia dengan Allah. Itulah sebabnya mengapa Bapa Suci Athanasius Patriarkh dari Alexandria dengan keras melawan Arkhimandrit Arius yang juga dari Alexandria yang menolak kekekalan dan ke-Ilahi-an Kristus dalam Konsili Ekumenis Pertama di Nikea tahun 325 Masehi. Bapa Suci Athanasius menegaskan bahwa Kristus itu betul-betul Ilahi yaitu “Allah Sejati” karena Ia adalah Firman Allah yang berada satu di dalam diri Allah secara kekal, sehingga Ia “satu dzat-hakikat dengan Sang Bapa”.
Karena jika Kristus bukan Allah Sejati, maka Ia tak dapat merembeskan dan menyalurkan sifat-sifat Kodrat Ilahi kedalam kemanusiaanNya bagi mengalahkan dosa, maut dan Iblis yang mencengkeram kemanusiaan itu melalui Penyaliban dan KebangkitanNya, serta mendatangkan hidup kekal bagi manusia. Dalam wujud manusiawi Kristus yang jasmaniah itu “seluruh kepenuhan ke-Allah-an” (Kolose 2:9) secara kongkrit mendekat secara langsung kepada manusia, bahkan manunggal dengan kodrat manusiawi kita. Sehingga manusia dapat ambil bagian dalam “kodrat ilahi” dan “menjadi sama seperti Dia” (I Yohanes 3:2). Karena fakta inilah maka Athanasius dengan beraninya dapat berkata “Allah menjadi manusia, agar manusia dapat menjadi ‘allah’ “ artinya dapat menjadi “seperti Allah” karena “menjadi sama seperti Dia” akibat dari “ikut ambil bagian dalam kodrat Ilahi”. “Anak Allah menjadi Anak Manusia, supaya anak-anak manusia dapat menjadi anak-anak Allah” “Firman telah menjadi daging, agar manusia yang berkodrat daging, dapat menjadi seperti Dia yang berkodrat Firman” “Yang dari Sorga menjadi makhluk di bumi, agar makhluk-makhluk di bumi dapat menjadi warga-warga sorga”. “Yang Roh telah menjadi makhluk yang jasmani, agar makhluk yang jasmani ini menjadi seperti Dia yang bersifat roh”. Mereka yang ingin menyembah dan mendekati Allah “secara langsung” tanpa perantaraan Kristus tak mendapat jaminan darimanapun bahwa mereka dapat bersinggungan langsung apalagi manunggal dengan Allah. Karena ada “jurang pemisah yang menganga lebar” antara “Kodrat Ilahi” dari Allah Yang Maha Agung dan Maha Luhur, dengan keberadaan manusiawinya yang tercipta, berdosa dan papa ini.
Kecongkakan manusia saja yang menolak kepengantaraan Kristus ini, karena ia menyangka bahwa ia dapat secara pantas dan layak mampu mendekati Allah tanpa Allah terlebih dahulu mendekatkan Kodrat Ilahi-Nya itu kepada manusia. Orang yang demikian boleh saja “merasa” dapat mendekati Allah secara langsung, namun masalahnya bukan “rasa” tetapi fakta kongkrit yang menyejarah, dan fakta kongkritnya adalah bahwa jurang menganga yang memisahkan dirinya dengan Allah itu masih ada. Karena orang yang demikian ini tak memiliki landasan kongkrit yang menunjukkan bahwa Allah pernah manunggal dengan Kodrat Manusia. Orang yang demikian ini masih terpisah dengan Allah oleh dosa-dosanya yang dibuktikan oleh keberadaannya yang dapat mati itu. Keterpisahan dengan Allah inilah keadaan “tak diselamatkan” itu.
Itulah sebabnya mengapa Bapa Suci Kyrillos Patriarkh dari Alexandria pada Konsili Ekumenis Ketiga tahun 431 Masehi di Efesus menentang habis-habisan ajaran Nestorianisme yang menolak menyebut Bunda Maryam sebagai “Theotokos” (“Theos = Allah” , “tokos” = dia yang memberikan kelahiran”), yaitu Ibu Tuhan (Lukas 1:43). Dalam Lukas 1:43 ini kata “Tuhan” dari ucapan Elisabet yang memberi salam kepada Maryam yang sedang mengandung ini perlu dimengerti dalam arti Yahweh/ YHWH yaitu “Allah”, sebab seorang bayi tak mungkin disebut sebagai “Kyrios” dalam arti “Pak, Tuan”, dan sebagai yang belum bangkit dan belum dimuliakan, si bayi yang masih dikandung Maryam itu belum diangkat sebagai “Kyrios”, yaitu ”Tuhan” dalam arti “Penguasa Mutlak”.
Nestorius hanya rela menyebut Maryam sebagai “Anthropotokos” (Dia yang memberi kelahiran kepada Manusia), atau yang paling tinggi “Khristotokos” (Dia yang memberi kelahiran kepada Kristus) saja. Bagi Bapa Suci Kyrillos masalahnya bukan terletak pada Bunda Maryamnya, namun terletak pada Dia yang menyebabkan Maryam itu dapat disebut Bunda atau “Ibu”, yaitu terletak pada “Bayi” yang dilahirkannya. Bayi yang dikandung dan dilahirkan Maryam itu memiliki “Kodrat Ilahi” atau tidak? Dengan kata lain Anak dari “Sang Ibu” ini manusia yang berkodrat “Allah” atau bukan? Kalau Maryam hanya melahirkan manusia saja, sejak kapan Anak Maryam ini berubah jadi Allah? Jika Anak Maryam ini baru kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi Allah, bukankah ini ajaran berhala yang mempercayai bahwa manusia dapat melebur dan menjadi Allah?
Manusia tak pernah menjadi Allah, dan Allah tak pernah berubah jadi manusia. Itulah sebabnya dalam Inkarnasi Firman Allahpun ditegaskan bahwa Kodrat Ilahi tidak berubah jadi Kodrat Manusiawi, dan Kodrat Manusiawi tidak berubah jadi Kodrat Ilahi, meskipun keduanya dimanunggalkan secara tak terpisah dalam “Satu Hypostasis”. Ataukah Anak Maryam ini kemudian di “tempati” Allah, seperti seorang yang “dirasuk” roh jahat? Jika demikian halnya maka “Pribadi/ Hypostasis” dari Allah yang menempati, dan “pribadi” dari si manusia Yesus, Anak Maryam yang ditempati itu jelas berbeda dan terpisah. Jika begitu Firman itu tidak “menjadi manusia” (Yohanes 1:14), namun Firman itu hanya “menempati/ merasuk/ menyusupi manusia”.
Nestorianisme yang ditentang Bapa Suci Kyrillos itu mengajarkan bahwa Kristus memiliki “Dua Pribadi/ Hypostasis” dan “Dua Kodrat”, karena Allah hanya “menempati” Kristus, yang bermakna ini bukannya Kristus itu memiliki “Hypostasis dari Firman Allah” yang berkodrat “Allah” sebagai PenjelmaanNya menjadi manusia. Itulah sebabnya menurut Nestorianisme Pribadi Anak Maryam, dan Hypostasis Allah itu tetap berbeda, dan itulah pula sebabnya Maryam tak dapat disebut “Theotokos”.
Menolak menyebut Maryam sebagai “Theotokos” memang menolak bahwa Anak yang dikandung dan dilahirkan Maryam memiliki “Hypostasis Ilahi”. Jika faham Nestorianisme kita ikuti maka tidak pernah terjadi panunggalan “Kodrat Ilahi” dan “Kodrat Manusiawi” dalam “Satu Hypostasis” ketika Maryam melahirkan “Sang Bayi” itu. Maka Allah dan Manusia masih tetap terpisah dan tidak ada perubahan apapun ketika Kristus lahir dalam kaitannya dengan hubungan antara Allah dan manusia. Dan karena faham Nestorianisme ini menjadikan Firman tidak “menjadi” manusia, maka berarti tidak ada kodrat manusiawi yang dirembesi kodrat ilahi bagi mendatangkan kekekalan itu ketika Kristus lahir, berarti tidak ada “keselamatan”.
Usaha mendekati Allah secara “langsung” dengan masih adanya jurang pemisah yang masih menganga karena dosa, tanpa adanya Kristus sebagai Penjelmaan Firman Allah yang bukan saja mendekatkan Allah secara langsung kepada manusia, dan sebagai jembatan yang menutupi jurang itu, adalah suatu ketidak-mungkinan bagi mendapatkan “keselamatan”. Itulah sebabnya Bapa Suci Kyrillos menegaskan bahwa Kristus adalah “mia physis ton Theon Logon sesarkomenee” (“Satu Kodrat dari Firman Allah Yang Menjadi daging”), di mana pada saat zaman Bapa Suci Kyrillos di abad keempat ini kata “physis” bisa berarti “Kodrat” dan bisa berarti “Hypostasis/ Pribadi”.
Dan Konsili Keempat di Khalsedon pada tahun 451 Masehi itu menegaskan bahwa yang dimaksud Physis oleh Bapa Suci Kyrillos itu harus dimengerti sebagai “Hypostasis”. Artinya dalam Kristus tidak ada dua “Physis” dalam arti “Hypostasis” yang berbeda dan terpisah-pisah seperti yang dikatakan ajaran Nestorianisme, yang ada adalah “Mia Physis”, satu Kodrat atau “Satu Hypostasis”. Namun ajaran Bapa Suci Kyrillos ini kemudian ternyata ditafsirkan secara ekstrim oleh seorang rahib Yunani bernama Eutykhes. Di mana Eutykhes memahami kata “mia physis” (“satu kodrat”) sebagai “mono physis” (“satu-satunya kodrat”), sehingga ajaran Eutykhes ini terkenal sebagai ajaran Monophysitisme.
Menurut Eutykhes kalau Kristus itu memiliki “satu kodrat” (“mia phyisis”) maka “satu-satunya kodrat” (“mono physis”) yang Ia miliki hanyalah Kodrat Ilahi saja, karena Kodrat Ilahi-Nya itu lebih berkuasa dan lebih dahsyat, lebih agung dan lebih luhur, sehingga “kodrat manusiawi” Nya itu luluh melebur dan ditelan oleh kodrat ilahiNya. Eutykhes salah mengerti ajaran Bapa Suci Kyrillos. Karena Bapa Suci Kyrillos mengatakan memang Sang Kristus itu “mia Physis” namun Dia itu tetap “ton Theon Logon” (dari kata “ho Logos tou Theou” = Firman Allah) yang berarti memang memiliki “Kodrat Ilahi”, yang telah “Sesarkomenee” (dari kata “sarx” = daging, “menjadi daging”) yang berarti memiliki sifat jasmani atau “Kodrat Manusia”. Namun “Kodrat Ilahi” dan “Kodrat Manusiawi ini adalah merupakan “Mia Physis” artinya menyatu dalam satu “Physis” atau menyatu dalam satu “Hypostasis” secara tak dapat dipisah ataupun dibagi-bagi dan karena begitu menyatunya maka disebut “satu” (“mia”), tapi bukan “satu-satunya” (“monos”).
Jika pemahaman Eutikhianisme atau Monophysitisme ini benar yang terjadi adalah jurang pemisah antara Allah dan manusia itu terbuka lagi, karena tidak ada penengah lagi antara Allah dan manusia, karena Kristus tak memiliki kodrat manusia lagi. Sehingga manusia tak dapat manunggal dengan Kristus, karena manusia hanya dapat manunggal dengan sesama kodrat manusiawi saja, dan itu berakibat manusia tak dapat manunggal dengan kodrat ilahi. Jadi Kristus memang harus tetap memiliki Kodrat Manusiawi yang telah dimuliakan yaitu Tubuh Mulia di Sorga (Filipi 3:21). Karena Kristus memiliki Kodrat Manusiawi, maka manusia dapat manunggal dengan Kristus. Karena Kodrat Manusia Kristus manunggal dengan Kodrat IlahiNya dalam “Satu Hypostasis” sehingga Tubuh ManusiaNya menjadi Tubuh Mulia di sorga, maka dengan manunggal pada Kodrat Manusiawi Kristus itu manusia dapat manunggal dengan Kodrat IlahiNya, dengan demikian dapat “ikut ambil bagian dalam kodrat Ilahi”, sehingga “diselamatkan”.
Itulah sebabnya ajaran Monophysitisme ditolak Gereja Orthodox karena itu memusnahkan keselamatan yang telah dilaksanakan Kristus melalui TubuhNya ketika Ia mati disalibkan dan bangkit dari kematian. Juga Monophysitisme ini ditolak Gereja Orthodox, karena jika Kristus hanya memiliki Kodrat Ilahi saja, di samping panunggalan secara langsung tak mungkin bisa dilakukan, juga seandainya mungkinpun, jika manusia akan manunggal dengan Kristus, maka manusia akan langsung manunggal dengan Kodrat dan Essensi IlahiNya, maka manusia akan lebur dan musnah dalam Essensi (Dzat Hakikat) Ilahi, sehingga manusia hilang sifat manusiawinya , langsung menjadi “Allah”. Padahal menurut Alkitab manusia tak akan mungkin dan tak akan pernah bisa menjadi Allah, dan Allahpun tak akan mungkin berubah jadi manusia.
Bahkan Inkarnasi Kristus bukan berarti bahwa Allah berubah menjadi manusia, atau manusia diangkat menjadi Allah. Dengan demikian sama seperti penolakannya terhadap Nestorianisme, penolakan Gereja Orthodox terhadap Monophysitisme inipun landasannya adalah keselamatan manusia yang dipertaruhkan. Namun panunggalan manusia dengan Allah ini tak terjadi secara otomatis karena harus membutuhkan respons iman dan ketaatan dari si manusia tersebut. Itulah sebabnya Gereja Orthodox Purba ini dalam Konsili Ekumenis ke-Enam pada tahun 680-681 menolak ajaran Monothelitisme (“mono” = satu-satunya, “thelima” = kehendak) yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai “Satu Kehendak”, yaitu “Kehendak Ilahi” saja. Ajaran ini ditolak Gereja karena di samping ajaran ini merupakan “Monophysitisme” tersembunyi karena mengajarkan bahwa kehendak Kristus satu-satunya adalah “Kehendak Ilahi”, sehingga tidak memiliki “Kehendak Manusiawi”. Yang dengan begitu kemanusiaanNya tidak lengkap dan sempurna, karena “Kehendak Manusia”nya tidak ada. Juga karena Kristus merupakan “prototype” manusia sehingga apapun yang ada dalam Kristus merupakan “pola” dari segenap kemanusiaan seluruh alam. Itu disebabkan karena sebagai “Firman/ Anak Allah” yang menyatakan Allah (Yohanes 1:18, Yohanes 14:9) Kristus adalah “Gambar/ Ikon Allah” yang asli dan sejati yang ada sejak kekal di dalam Allah (Kolose 1:15, Ibrani 1:3, II Korintus 4:4). Juga sebagai “Firman Allah” yang berada satu di dalam diri Allah, dan memiliki kodrat yang sama dengan Allah, maka Kristus adalah “Rupa Allah” (Filipi 2: 6).
Padahal manusia diciptakan “menurut” GAMBAR dan RUPA Allah (Kejadian 1:26-27), dan Gambar serta Rupa Allah yang sejati itu adalah “Firman Allah” (Yesus Kristus), berarti manusia diciptakan dengan Firman Allah atau Kristus Yesus itu sebagai polanya. Jika Firman Allah yang menjadi “pola” manusia itu tak sempurna kodrat dan keberadaanNya maka dampaknya akan luar biasa sekali bagi manusia dan bai keselamatannya. Itulah sebabnya Gereja Orthodox purba menegaskan bahwa Kristus memiliki “Dua Kehendak” yaitu : Ilahi dan Manusiawi. Jikalau “Kehendak Manusiawi” Kristus tidak ada, maka kehendak manusia itu belum pernah dimanunggalkan dengan “Kodrat Ilahi” Kristus, berarti belum mengalami kesembuhan dari dosa. Apa yang belum diambil Kristus dalam InkarnasiNya itu berarti belum disembuhkan. Ini berarti karya keselamatan Kristus tidak sempurna, karena ada bagian dari “Kodrat Manusia” yaitu “perangkat batiniah” manusianya yaitu: “kehendak”nya, yang belum pernah disentuh dan dimanunggalkan dengan “Kodrat Ilahi” Kristus. Agar keselamatan dalam Kristus sempurna maka “dalam segala hal”, termasuk kehendakNya Kristus “harus disamakan” dengan manusia (Ibrani 2:17).
Dengan Kristus memiliki “Kehendak Manusia” maka Dia bisa “taat” dan bahkan “taat” sampai di kayu Salib (Filipi 2:8) kepada “Kehendak Ilahi”Nya, kehendak Ilahi yang mana adalah “satu dengan kehendak Bapa” seperti yang Ia katakan : “ …Ya Bapa-Ku…..janganlah seperti yang Kukehendaki (“Kehendak Manusia”), melainkan seperti yang Engkau kehendaki (“Kehendak Ilahi)“ (Matius 26:39). Ini merupakan pola bagi manusia untuk menggunakan kehendaknya dalam “taat” kepada “kehendak Allah” sehingga dengan kehendaknya itu ia dapat merespons dengan iman dan kasih kepada tawaran keselamatan Allah di dalam Kristus yang diberikan secara gratis (Efesus 2:8-10).
Dengan “kehendak”nya tunduk kepada Allah, maka manusia oleh rahmat Allah yang bekerja dalam kehendaknya dapat mengerjakan keselamatannya yaitu mengolah keselamatan itu dalam ketaatan. Hal ini dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”…. tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, ……… karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:12-13). Kemauan atau kehendak orang beriman untuk melakukan pekerjaan dalam mengolah keselamatan yang telah diterima secara gratis di dalam Kristus itu “dikerjakan” oleh Allah.
Jadi manusia bekerja bagi mengolah atau menumbuhkan keselamatan berdasarkan apa yang dikerjakan Allah di dalam dirinya. Manusia bekerja bersamaan dengan Allah yang bekerja di dalam dirinya, Inilah yang dalam Iman Orthodox disebut sebagai “synergi” (“bekerja bersama” Allah). Oleh karena itu keselamatan yang diberikan sebagai anugerah Allah yang harus diterima dengan iman (Efesus 2:8-9) harus menumbuhkan pekerjaan (Efesus 2:10), karena iman tanpa pekerjaan adalah mati (Yakobus 2:6). Dan ini semua terjadi karena manusia memiliki kehendak yang oleh Inkarnasi Kristus, kehendak manusia itu telah disembuhkan, sehingga “Allah .. mengerjakan di dalam kamu kemauan (kehendak) “ itu. Tanpa respons iman yang membuahkan pekerjaan terutama pekerjaan kasih, maka keselamatan itu tak akan menjadi realita. Itulah sebabnya “Monothelitisme” ditolak Gereja.
.
Bersambung
.
.