(oleh Arkhimandrit Rm. Daniel B.D. Byantoro)
Implikasi dari Kebangkitan Kristus a) Dalam Kaitannya dengan Pemahaman kita akan Allah Melalui kebangkitanNya Kristus membuktikan diriNya sebagai yang tak takluk kepada maut, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus demikian:”Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.” (Roma 6:9). Maut tak berkuasa atas Kristus yang dibuktikan oleh kebangkitanNya itu karena pada dasarnya Kristus tak memiliki maut pada diriNya sendiri, sebagaimana dikatakan:”Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali.Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.” (Yohanes 10:17-18). Kematian Kristus itu bukan terpaksa , karena nyawa-Nya “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada” Nya, namun “Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri”, sebab Kristus “berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali.” Dengan demikian Kristus mati bukan karena “harus“ mati sebagaimana layaknya manusia-manusia lainnya yang memang harus mati karena kuasa dosa yang diam didalamnya (Roma 5:12), namun Kristus mati karena Ia ”berkehendak” untuk mati bagi tujuan mengalahkan kematian itu melalui kebangkitanNya. Jadi seandainya Kristus “berkehendak” untuk tidak matipun maka Iapun pasti tidak akan mati. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Kristus tak memiliki kematian. Padahal yang tak memiliki kematian itu adalah Allah saja, sebagaimana dikatakan: ”… Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, …” ( I Timotius 6:15-16). Jika satu-satunya yang tidak takluk kepada maut adalah Allah, sedangkan Kristus terbukti tidak takluk kepada maut oleh kebangkitanNya dan oleh pernyataanNya diatas itu, maka jelaslah bahwa Kristus itu adalah berkodrat Allah. Yang menjadi masalahnya adalah bahwa selama hidupNya Kristus mengajarkan akan adanya Allah yang Esa (Markus 12:29, Yohanes 17:3) yang Ia sebutNya sebagai “Bapa” (Yohanes 17:1, 8:42) dan Ia sendiri mengakui bahwa Allah yang Esa ini adalah “Allah”-Nya dan “Bapa”-Nya (Yohanes 20:17) dan DiriNya adalah “yang diutus” oleh Allah Yang Esa ini (Yohanes 17:3) serta “Anak” dari “Bapa” ini (Yohanes 17:1). Adakah dua Allah jika demikian? Tentunya tidak, sebab Kristus dengan tegas mengajarkan bahwa Allah itu hanya satu meskipun kebangkitanNya membuktikan bahwa diriNya adalah Allah. Bukti kebangkitan yang menegaskan keberadaan Kristus sebagai Allah namun demikian ajaran tentang ke-Esa-an Allah itu tak dilanggar meskipun Yesus itu terbukti sebagai Allah ini, dapat kita lihat dari beberapa pernyataan Kristus yang menyatakan bahwa Ia telah ada sebagai “Anak-Mu” ( Yohanes 17:1) “di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5). Dengan demikian Kristus itu “pra-ada” bersama Allah atau “di hadirat” Allah sebelum diciptakannya alam semesta. Dan juga Ia mengatakan bahwa Ia “keluar …. dari Allah” (Yohanes 8:42), yang menunjukkan bahwa Ia tadinya berada “di dalam Allah”. Jadi sebelum dunia ada Kristus yang tadinya belum berwujud manusia itu berada satu di dalam diri Allah. Dengan demikian meskipun Kristus itu Allah, namun karena keberadaanNya secara kekal adalah “satu di dalam” Allah, maka jelas tidak ada dua Allah, yang berarti ke-Esa-an Allah jelas tak terlanggar. Jadi pemahaman tentang ke-Esa-an Allah dari kacamata kebangkitan Kristus ini mengharuskan kita berbicara tentang hubungan Kristus sebagai Allah dengan keberadaan Allah yang Esa yang diajarkanNya itu, dengan kata lain kita diharuskan berbicara tentang Tritunggal Maha Kudus. Ini karena Kristus juga berbicara tentang Roh Kebenaran yang “keluar dari” Bapa (Yohanes 15:26), yang menunjukkan bahwa tadinya Roh Kebenaran yang tak lain adalah Roh Kudus itu berada “di dalam” Allah juga. Dengan kata lain Allah itu memang Esa yaitu “Bapa” (I Korintus 8:6), namun di dalam DiriNya Yang Esa itu bersemayam Kristus yang non-manusiawi sebagai “Anak” (dibawah nanti kita akan bahas makna kata “Anak” bagi Kristus yang “pra-ada” sejak kekal secara non-manusiawi, di dalam Diri Allah ini) dan bersemayam juga “Roh Kudus” itu sejak kekal sebelum dunia ada. Dengan demikian Allah itu tetap Esa, meskipun Kristus telah dibuktikan sebagai Allah, dan ajaran Tritunggal itu sendiri bukan berbicara mengenai jumlah Allah, namun berbicara mengenai apa yang ada “di dalam Diri” Allah Yang Esa itu.
Leave a Reply