Layakkan Aku Bagi Kerajaan-Mu (Bagian 1)

Oleh Arkhimandrit Romo Daniel B.D. Byantoro

Tanggal:          5 September 2004

Bacaan Injil:    Matius 22: 1-14

Epistel:            2 Korintus 1: 1-14

Bismil Abi, wal Ibni, War Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin

Shaloom Aleikhem be Shem Ha-Massiakh

Saudara-Saudara yang terkasih dalam Kristus,

Berbeda dengan agama-agama lain di mana diyakini bahwa tujuan akhir orang hidup beragama secara baik adalah untuk “masuk sorga”, di mana sorga itu digambarkan sebagai tempat untuk bersenang-senang dengan makanan, minuman yang lezat, kebun-kebun yang indah serta istana dan bidadari-bidadari cantik, Iman Kristen Orthodox berdasarkan Alkitab tidak mengajarkan sorga dalam artian yang jasmani seperti itu.

Yang diajarkan oleh Iman Kristen Orthodox adalah mengenai Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah, di mana dimengerti bahwa “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm. 14:17). Sebab “Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: “Lihat Ia ada di sini atau Ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara (di dalam) kamu” (Luk. 17: 20-21), dan oleh Sang Kristus dikatakan: “….jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 12: 28).

Jadi, Kerajaan Allah itu terkait dengan dikalahkannya kuasa “Setan/ Iblis” oleh Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Dan secara mutlak itu dikalahkan kuasanya pada saat Kristus mati dan bangkit (Ibr. 2:14) yang berakibat dengan turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kis. 2: 1-4). Sejak saat itulah Kerajaan-Nya nyata ke dalam dunia di dalam Roh Kudus yang memberikan kepada umat beriman “kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita”. Inilah suatu Kerajaan yang “ada di dalam kamu”, dan yang tak dapat dikatakan “ia ada di sini atau ia ada di sana” itu.

Kemenangan atas Iblis dan maut serta atas dosa serta dicurahkan-Nya Roh Kudus ke dalam hati orang percaya itulah sebenarnya awal dari Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah dalam kekudusan di hidup manusia. Itulah sebabnya tiga tahun sebelum Kebangkitan-Nya ketika Ia mulai pelayanan-Nya di muka umum, Kitab Suci mengatakan mengenai Sang Kristus: “Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4: 17). Karena Kerajaan Sorga sudah dekat yaitu kira-kira tiga tahun lagi sejak Ia memulai pelayanan-Nya. Kerajaan Sorga itu mulai menyatakan diri melalui Kematian dan Kebangkitan serta Kenaikan-Nya ke Sorga dan turun-Nya Roh Kudus sebagai akibat lanjut dari Kebangkitan dan Kenaikan-Nya ke Sorga (Kis. 2: 32-33; Yoh. 7: 37-39).

Jadi Kerajaan Allah itu tak dapat digambarkan. Sebagaimana dikatakan: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia; semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1 Kor. 2: 9), yang secara rohani hadir dalam Gereja melalui Roh Kudus dan karya-karya serta karunia-karunianya yang dialami melalui sakramen-sakramen, ibadah dan doa-doa serta pemberitaan dan firman. Itulah sebabnya Sang Kristus selalu menggunakan “perumpamaan” untuk menggambarkan Kerajaan Allah. Sebagaimana yang kita baca dalam bacaan Injil kita kali ini (Mat. 22: 1).

Dalam perumpamaan ini Kerajaan Allah digambarkan sebagai raja (yaitu Allah) yang mengadakan “perjamuan kawin bagi anak-Nya” (panunggalan antara Kristus dengan Gereja-Nya/ Pengantin wanita milik-Nya – Matius 22: 2). Jadi tujuan akhir hidup Kristen adalah mencapai keberadaan dalam lingkup keluarga raja (Allah) melalui panunggalan atau perkawinan dengan anak sang raja (Kristus).

Namun adalah suatu yang aneh bahwa pengantin wanita yang akan menjadi istri anak raja adalah sebenarnya “orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin” (Mat. 22: 3) itu juga.

Kita yang beriman kepada Kristus adalah orang-orang yang diundang itu, karena kita telah menerima panggilan dari Allah dan bahwa Allah ini ”… yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita.” (2 Kor 1: 21-22). Allah telah “meneguhkan ….telah mengurapi…memeteraikan…memberikan Roh Kudus” di mana kita menerima “meterai karunia Roh Kudus” dan “pengurapan” (“krisma”) dan peneguhan sebagai orang-orang milik Allah. Dan karunia pemeteraian, peneguhan dan pengurapan (“krisma”) Roh Kudus itu merupakan “jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita” yaitu “keselamatan sorgawi” yang sempurna.

Roh Kudus menjadi “jaminan” atau “uang muka” sebelum “semua yang telah disediakan untuk kita” itu kita dapatkan sepenuhnya. Dan apa “yang telah disediakan itulah yang digambarkan sebagai “hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini” (Mat 11: 4). Dan hidangan yang telah disediakan itu tak lain adalah “kemuliaan Allah” dan “panunggalan dengan Kristus” (Yoh. 17: 24) dan “ambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr. 1: 4) yang akan diterima mereka yang percaya kepada Kristus di akhir jaman.

Jadi “jaminan” atau “uang muka” yang berwujud Roh Kudus yang dikaruniakan itu adalah surat undangan untuk masuk ke perjamuan kawin dari sang raja, dan untuk menjadi pengantin dari anak raja dalam perkawinan. Itulah panggilan kita sebagai orang Kristen dalam beriman kepada Kristus. Dan semua manusia diciptakan Allah dengan tujuan akhir untuk mencapai panunggalan dalam perkawinan mistika dengan Putra Allah atau Firman Allah.

Namun dosa telah membutakan manusia akan tujuan hidupnya yang sebenarnya, dan bagi orang berimanpun itu sering membuat dia lupa tujuan hidup yang sebenarnya. Sehingga menyebabkan Allah dalam kasih-Nya “menyuruh hamba-hambanya memanggil” (Luk. 22: 3) berulang-ulang baik orang yang belum percaya mau pun yang sudah percaya. Untuk mengingatkan mereka panggilan dan tujuan hidup mereka yang sebenarnya.

“Hamba-hamba” sang raja yang disuruh memanggil kita itu bermacam-macam. Adakalanya itu berwujud musibah dalam kehidupan. Ada kalanya itu bersifat pengalaman-pengalaman pribadi. Ada kalanya itu melalui orang lain, melalui kotbah, melalui membaca buku dan lain-lain. Allah tidak pernah kehabisan hamba-hamba untuk diutus memanggil kita dan mengingatkan kita untuk kembali kepada tujuan hidup yang sebenarnya. Namun masalahnya bukan pada pihak Allah melainkan pada pihak kita, karena Kitab Suci mengatakan: “tetapi orang-orang itu tidak mau datang” (Luk. 22: 3). Kita sering tidak mau datang dan menyadari bahwa pengalaman pahit dan musibah yang kita alami itu adalah panggilan Allah kepada kita untuk kembali kepada tujuan hidup yang sebenarnya.

Jika hamba yang ini belum mampu menyadarkan kita untuk kembali kepada Allah maka “Ia menyuruh pula hamba-hamba lain” (Mat 22: 4), karena memang Allah tak pernah jemu dengan kita. Sehingga semua musibah, pengalaman, teguran atau hardiknya dari Tuhan melalui hamba-hamba-Nya itu selalu mengandung “pesan” (Mat.22: 4) atau mengandung hikmah. Melalui “hamba-hamba” yang datang dalam kehidupan itulah Allah berbicara kepada kita. Tetapi apakah kita mau mendengarkan? Apakah kita dapat mempelajari hikmah rohani yang terkandung dalam “pesan-pesan” Allah melalui para hamba-Nya tadi? Sayang, sering kita tidak peduli terhadap pesan ilahi tadi, karena dikatakan bahwa “orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya” (Mat. 22: 5).

Ini disebabkan karena masalah rohani itu memang bersifat abstrak sehingga menusia lebih mudah tertarik kepada “pergi ke ladangnya” atau pergi mengurus usahanya” (Mat. 22: 5), yaitu lebih tertarik pada mementingkan kebutuhan hidup sesaat ini, daripada memikirkan nilai kekal yang akan menjadi tujuan akhir semua manusia setelah meninggalkan hidup ini. Kalau tidak peduli dengan “pesan” dari “hamba-hamba” yang diutus Allah saja masih mendingan, meskipun sudah cukup buruk bagi kita, namun jika tidak peduli ini dibiarkan berkembang maka akan berkembang menjadi suatu sikap yang secara sengaja “menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya” (Mat. 22: 6), yaitu sikap sengaja berusaha dengan gigih untuk melawan suara kebenaran yang dikirim Allah sebagai teguran melalui “hamba-hamba” apa saja yang diutus Allah kepada kita. Orang yang demikian ini berkembang dari tidak peduli terhadap masalah-masalah rohani menjadi orang yang secara aktif melawan dan menentang Allah serta hal-hal rohani.

Di sinilah kita perlu berhati-hati, kalau hati kita sudah tidak tergerak lagi akan hal-hal rohani karena dibiasakan tidak peduli, jangan-jangan kita telah membunuh dan menganiaya hamba-hamba Allah yang telah diutus untuk mengundang kita. Kalau sudah demikian maka akibat yang tak dapat kita elakkan adalah “murkanya raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka” (Mat. 22: 7).

“Pembunuh-pembunuh” itu sebenarnya adalah para pemimpin umat Yahudi yang menolak Kristus tetapi itu juga berarti hati yang secara sengaja melawan dan melenyapkan semua suara ilahi yang datang kepadanya. Pasukan raja yang membinasakan dan membakar kota itu adalah pasukan Romawi yang memang pada akhirnya melenyapkan kota Yerusalem di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 Masehi. Namun itu juga berarti kota hati dan kota batin yang diserahkan Allah kepada keinginan-keinginan hawa nafsu yang rusak dan sesat, sehingga hati itu tak lagi menjadi “kota Allah” atau “bait Allah” namun menjadi kota yang terbakar, hati yang hangus dan menjadi puing-puing oleh hawa nafsu yang merusak, karena Kitab Suci mengatakan bahwa manusia dapat “hangus karena hawa nafsu” (1 Kor 7: 9), dan bahwa “hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia” (2 Ptr. 1: 4b). Keadaan manusia yang seperti inilah yang dikatakan Kitab Suci bahwa: “Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu” (Rm. 1: 26), serta bahwa “Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran” (Rm. 1: 24).

.

Bersambung

.

.

Related Posts