Pengantar Perjanjian Baru (Bagian 2)

Oleh : Protopresbyter Yohanes Bambang Cahyo Wicaksono

Alkitab itu ditulis manusia yang terilhami oleh Allah. Karena unsur manusia inilah para bapa Gereja percaya bahwa di sana seharusnya ada suatu kebebasan yang sungguh dalam menginterpretasikan Alkitab, suatu kebebasan dari surat-surat yang terdapat dalam Alkitab. Contoh, kalau seseorang membaca beberapa bagian Alkitab lalu mengambil dan mengertinya secara literal, maka yang didapat adalah salah dalam mengintepretasikan Alkitab.

Contoh yang jelas kalau kita membaca Surat Roma 6:29, 9:11 dan 10:17, mungkin seseorang akan berpikir bahwa Js. Paulus percaya pada “Predestination atau takdir”. Namun Gereja tidaklah percaya dengan “Predestination atau takdir”. Hal ini karena seharusnya tidak dibaca sendiri namun bersama dengan keseluruhan Alkitab supaya mendapatkan interpretasi yang benar dan tepat.

Ini adalah pandangan Patristik: bahwa bagian-bagian Alkitab tidaklah dapat dibaca dan dimengerti oleh dirinya sendiri, namun hanya dapat dimengerti dalam istilah keseluruhan Alkitab. Seseorang tidaklah dapat menerima apa saja bagian yang ia baca, namun ini hanya dapat dimengerti dalam terang bacaan yang lebih luas akan Alkitab. Jadi singkatnya dapat kita katakan bahwa meskipun Alkitab mempunyai wibawa dan otoritas yang cukup tinggi, Gereja masih mencadangkan bagi dirinya sendiri untuk menjadi penerjemah yang benar dan menunjuk beberapa hal yang mungkin memusingkan di dalam menginterpretasikan Alkitab.

Alasannya karena itu adalah misteri Allah yang lebih luas daripada hanya sekadar kata-kata tertulis dari Kitab Suci. Misteri-Nya tidak dapat diisi secara penuh oleh tulisan apapun. Salah satu alasan pandangan ini adalah fakta bahwa di dalam Gereja Orthodox, kita membedakan antara catatan kebenaran dan kebenaran itu sendiri.

Alkitab adalah catatan tentang kebenaran, namun Alkitab bukanlah kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang hakiki adalah Kristus sendiri, karena Kristus adalah jelmaan Sang Sabda/ Sang Hikmat yang menjadi manusia.

B. Ide Patristik tentang Sentralitas Alkitab

Para Bapa Gereja mula-mula, khususnya Js. Athanasius dan para Bapa Kapadokia (Js. Basilius Agung, Js. Gregorius Sang Teolog dan Gregorius dari Nyssa) telah mengajarkan kecukupan Alkitab itu sendiri atau “autarchia ton graphon” akan Alkitab. Alkitab adalah sumber pokok teologi dan mereka telah memandang Alkitab sebagai pusat penting untuk teologia, penyembahan dan kehidupan pribadi sehari-hari bagi orang Kristen.

Akan tetapi waktu telah berlalu, pandangan ini telah berubah. Sebagai ganti hanya fokus pada Alkitab saja, sekarang lebih berfokus pada tulisan-tulisan para bapa gereja. Mengapa? Pertama, karena fakta sebagaimana waktu telah berjalan terus di sana ada koleksi tulisan-tulisan yang banyak dari para bapa Gereja. Alasan yang lain dengan makin menggunakan tulisan-tulisan para bapa Gereja adalah karena banyaknya bidat yang menggunakan caranya sendiri dalam menginterpretasikan Alkitab. Dengan demikian jelas fungsi tulisan para bapa gereja ini dapat dijadikan kunci yang tepat dalam menginterpretasikan Alkitab sehingga dapat menjadi pelindung menghadapi dan melawan bidat-bidat saat itu.

Karena kanon 19 dari Sinode Trullo mengatakan bahwa interpretasi Alkitab itu harus mengikuti apa yang diajarkan oleh para bapa Gereja. Beberapa janasuci akhir seperti Js. Symeon Sang Teolog Baru, telah lebih menggunakan langsung Alkitab daripada mencatat tulisan para Bapa Gereja.

C. Metode Hermeneutika Alkitab Sesuai dengan Para Bapa Gereja

Ada tiga cara yang telah para Bapa Gereja usahakan dalam menginterpretasikan Alkitab, yaitu:

1. Alegori

Metode ini datang dari Sekolah Aleksandria. Ini dapat juga disebut Interpretasi Rohaniah tentang Kitab Suci. Metode ini berusaha untuk mendapatkan arti lebih dalam di belakang arti literal dari yang tertulis dalam Alkitab. Contoh Js. Agustinus telah menginterpretasikan perumpamaan Alkitab akan seorang Samaria yang baik itu sebagai berikut :

Kita semua mengetahui bahwa ini adalah cerita tentang seseorang yang sedang berjalan dari Yerikho ke Yerusalem. Dia disakiti dan dirampok dalam perjalanannya oleh seorang perampok dan kemudian ditinggalkan tergeletak di atas tanah. Beberapa orang Yahudi melewatinya dan mereka tidak menolong. Akhirnya seorang Samaria memberikan pertolongan padanya. Menurut Js. Agustinus interpretasi alegori akan perumpamaan ini, siapakah orang itu? Orang yang dirampok menurut Js. Agustinus adalah menunjuk pada bapa Adam, dan siapakah para perampok itu? Perampok menunjuk pada Setan dan Iblis, lalu siapakah orang Samaria yang baik itu? Orang Samaria yang baik tak lain dan tak bukan adalah Kristus sendiri. Dan penginapan yang digunakan untuk memberi pertolongan pada seseorang yang dirampok menunjuk pada “Gereja” dan apa maksud 2 dinar yang diberikan oleh orang Samaria pada penjaga penginapan? Dua dinar itu menunjuk pada dua perintah Allah yaitu: mengasihi Allah dan sesamanya manusia.

Metode Alegori ini telah digunakan secara khusus untuk menginterpretasikan teks-teks yang sukar dalam Perjanjian Lama. Bahkan sebelum jaman Kristus, metode alegori ini telah digunakan untuk menginterpretasikan teks-teks tulisan yang ada.

2. Tipologi

Tipologi adalah cara untuk menginterpretasikan Alkitab dengan menghubungkan peristiwa-peristiwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ini adalah perspektif yang bersifat sejarah. Metode ini mencoba untuk melihat bagaimana beberapa peristiwa Perjanjian Lama itu terpenuhi dalam Perjanjian Baru.

Suatu contoh: menyeberangi Laut Merah yang terdapat dalam Perjanjian Lama itu dilihat sebagai bayang samar akan baptisan orang Kristen atau orang percaya. Pohon yang terdapat dalam taman Firdaus dalam Perjanjian Lama itu dipandang sebagai “Salib” yang menuntun pada kematian dan kehidupan. Peristiwa Perjanjian Lama (seperti pohon Firdaus) itu disebut sebagai tipe dan pemenuhan akan tipe ini terdapat dalam Perjanjian Baru yang merujuk pada “Salib” dan hal ini disebut sebagai “Antitipe”.

3. Eksegese sesuai dengan Tata Bahasa (Gramatikal)

Dalam metode ini seseorang harus membaca secara hati-hati dan pasti akan mendapatkan sebagian interpretasi Alkitab secara literal. Metode ini datang dari Sekolah Antiokhia – metode berkembang sebagai reaksi akan alegori ekstrem dari Aleksandria. Metode berdasarkan tata bahasa (gramatikal) ini adalah cara terbaik bagi seseorang untuk mendapatkan makna asli dari bagian Kitab Suci.

4. Theoria atau Kepekaan Rohani

Di samping tiga pendekatan ini, para Bapa Gereja juga telah berbicara tentang pentingnya kepekaan rohani saat sedang berusaha untuk menginterpretasikan Alkitab. Dan metode yang demikian ini disebut “Metode Theoria”, yang mana kalimat ini datang dari dua kata “Theos” artinya Allah dan “Oro” yang berarti “aku melihat”. Dengan demikian jelas bahwa “Theoria” itu berarti mempunyai visi Allah. Dalam metode ini seseorang hanya dapat mengerti makna Kitab Suci kalau ia berada dalam kerohanian yang benar. Dalam metode ini, seorang interpreter itu dituntun pada suatu pengertian akan Kitab Suci oleh Sang Roh Kudus.

.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *