Diambil dari materi seminar dengan tema: “INJIL DALAM INTERAKSI” tanggal 9 November 1999. Materi disusun oleh Arkhimandrit Romo Daniel Bambang D. Byantoro, Ph.D
Agama Islam muncul pada saat Gereja Timur yang berpusat di ibu kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) sedang dalam masa kejayaan dan perkembangan teologi yang amat tinggi, serta masih dalam suasana masa Konsili Ekumenis Gereja. Menurut tradisi Islam, nabi Muhammad menerima wahyunya untuk pertama kalinya pada tahun 610 M (57 tahun setelah Konsili Ekumenis V tahun 553 M dan 70 tahun sebelum Konsili Ekumenis VI tahun 680-681 M serta rampungnya pembangunan gedung gereja pada masa itu: Katedral Hagia Sofia di Konstantinopel), dan pada masa yang sama terdapat dua kerajaan Kristen besar: Byzantium dan Etiopia, serta dua kerajaan Kristen kecil: Lakhmiah dan Ghazzaniah, serta banyaknya umat Gereja Timur di wilayah Arabia, Siria, Anatolia, Mesir dan Mesopotamia. Kehadiran umat Kristen Timur ini memiliki jejak rekam yang kuat dalam sejarah Islam, seperti Siti Khadijah, seorang Kristen Gereja Assiria (Gereja Assiria sering dicap sebagai Nestorian), ada juga Maryam al-Qibti, seorang Kristen Koptik. Dengan demikian, sejak awalnya berdirinya agama Islam, interaksi dan komunikasi Islam dan Kristen (dalam hal ini Kristen Timur) sudah terjalin, bahkan nabi Muhammad pun menunjukkan toleransi yang sangat tinggi dengan menuliskan piagam Madinah yang masih tersimpan di biara St. Ekatherina di Sinai, Mesir, hingga hari ini.
Sepeninggal nabi Muhammad, hubungan Islam dan Kristen mengalami pasang surut dan mengalami konflik. Diperparah lagi dengan munculnya kaum polemikus dari kedua belah pihak, yang dengan dalil masing-masing berusaha membuktikan ketidak-toleransian dari masing-masing agama, sebagai contoh: ketidak-toleransian umat Kristen terhadap Islam di Spanyol oleh Gereja Roma, maupun Perang Salib yang diadakan oleh Gereja Roma. Di satu sisi kaum polemik Kristen juga menunjukkan ketidak-toleransian umat Islam, seperti: munculnya dua belas ketentuan yang amat menyudutkan umat Kristen [Bambang Ruseno Utomo: Hidup Bersama di Bumi Pancasila, Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993, hal. 132-133], dan dua belas ketentuan itu menjadi umat Kristen sebagai warga kelas dua dan betapa menderitanya umat Kristen pada masa itu. Belum lagi ada hal-hal yang “disembunyikan” pada peristiwa Perang Salib. Perang Salib tidak hanya membawa dampak besar kepada umat Islam, tetapi umat Kristen Timur juga menderita karenanya. Belum lagi pada Perang Salib IV, Tentara Salib dari Gereja Roma menyerbu dan menjarah Konstantinopel sebagai “pangkalan militer” setelah empat hari mengepung kota ini. Pusat ibukota Romawi Timur dan pusat Kekristenan Timur mengalami kerusakan habis-habisan. Harta kekayaan kerajaan dan Gereja dirampas, Kaisar dan Patriark Konstantinopel diusir ke Nikea, dan pada tahun 1204 M Paus Roma mengangkat Kardinal Morosini sebagai patriark boneka dan mengangkat Baldwin sebagai kaisar boneka di Konstantinopel. Dari sinilah muncul ungkapan terkenal dari umat Kristen Timur: “Lebih baik kami di bawah sorban daripada di bawah mahkota Kepausan Latin.” Belum lagi bagaimana sikap toleransi umat Kristen Byzantium terhadap umat Islam daripada umat Kristen Latin terhadap umat Islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Ruseno Utomo: “… orang Kristen Byzantium bersikap toleran terhadap orang-orang Muslim… adanya perkembangan sikap saling menghargai dan menghormati di antara kedua belah pihak… agama dan kebudayaan mereka masing-masing mempunyai banyak kesamaan… para khalifah juga sering mengirim utusan ke Konstantinopel untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam pelajaran para santo tertentu… kehidupan antara kedua umat itu terdapat toleransi. Tidak ada Muslim yang dipaksa jadi Kristen. Bahkan Kaisar Byzantium mendirikan masjid untuk para saudagar Arab yang di wilayah kekuasaan Byzantium.” Penulis yang sama juga mengatakan bahwa meskipun pada mulanya Tentara Salib itu amat kejam terhadap umat Islam dan umat Kristen Timur, namun lama-lama mereka memiliki toleransi, bahkan masjid besar di Acra dijadikan tempat ibadah bagi kedua umat.
Demikianlah pasang-surut hubungan Islam-Kristen di sepanjang sejarahnya di panggung dunia.