Dalam percakapan terkait iman Orthodox dengan para katekumen khususnya yang berlatar belakang Protestan, sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang ketika direspon akan mendapat respon balik seperti ini: “dimana dalilnya di Alkitab?” atau “ayat mana di Alkitab yang menyatakan itu?” Tentunya ini respon yang wajar dan normal sebab Alkitab adalah satu bagian penting dari tradisi iman kita dan membaca Alkitab seharusnya memang dilakukan setiap hari secara teratur sejalan dengan doa-doa harian kita. Mereka yang memberikan respon seperti itu juga tentunya memiliki suatu keinginan untuk mengetahui lebih tentang apa yang mereka imani selama ini, dan apa sebenarnya yang diyakini dan diajarkan Gereja Orthodox mengenai Alkitab dan kedudukannya di dalam Gereja.
Sebenarnya premis yang ada di balik respon semacam di atas mensyaratkan dua hal: Pertama, bahwa Gereja lahir dari Alkitab sehingga hanya dapat dijelaskan oleh Alkitab. Kedua, bahwa Alkitab adalah satu-satunya catatan pewahyuan kebenaran Allah. Tapi benarkah demikian? Mari kita lihat satu-persatu.
Premis bahwa Gereja berdiri di atas Alkitab atau lahir dari Alkitab sehingga hanya dapat dijelaskan atau didefinisikan oleh Alkitab adalah keliru. Mengapa? Karena ketika Gereja pertama kali berdiri, Perjanjian Baru belum ada. Setelah lahirnya Gereja pada Hari Pentakosta, para rasul berkeliling untuk mengabarkan Injil dan mengajar orang-orang utamanya melalui khotbah dan pengajaran-pengajaran mereka, yaitu tradisi lisan. Penting untuk diingat bahwa setelah Kristus naik ke Sorga, para Rasul tidak langsung mulai menuliskan apa-apa yang pernah dikatakan atau diajarkan Kristus. Yang mereka lakukan justru adalah mendedikasikan waktu dan hidup mereka untuk menginjil, membaptis dan mengajar petobat-petobat baru, dan menetapkan pemimpin-pemimpin di berbagai komunitas gereja yang mereka rintis. Dalam perjalanan pelayanan mereka, demi mengatasi berbagai masalah yang muncul di berbagai gereja lokal inilah mereka menulis surat-surat dan kemudian juga menulis kitab-kitab Injil. Ini menunjukkan bahwa Gereja Purba bergantung kepada pengajaran lisan (Tradisi Lisan) dari para Rasul terkait pengetahuan mereka mengenai Kristus (Kis 2:42). Rasul Paulus dalam suratnya yang kedua kepada gereja di Tesalonika pasal 2:15 menyatakan dengan jelas sebagai berikut: “Sebab itu, saudara-saudara, berdirilah teguh dan berpeganglah pada tradisi-tradisi (Yun: παραδοσεις/paradosis; LAI menerjemahkannya sebagai “ajaran-ajaran”) yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis”. Demikianlah, orang-orang Kristen awal tidak membedakan antara Tradisi Lisan dan Tradisi Tertulis (Kitab Suci), dan memandang keduanya memiliki otoritas rasuliah yang sama. Tradisi-tradisi tertulis inilah yang di kemudian hari dikompilasi dan dikanonisasi menjadi Alkitab Perjanjian Baru sebagaimana yang kita kenal sekarang. Alkitab lahir dari kesaksian hidup Gereja yang sudah ada pada zaman itu. Jadi, Alkitablah yang lahir dari Gereja dan bukan Gereja yang lahir dari Alkitab.
Selanjutnya, premis bahwa Alkitab adalah satu-satunya catatan mengenai pewahyuan kebenaran Allah juga adalah keliru. Lagi-lagi mengapa? Setelah Gereja berdiri pada Hari Pentakosta, Gereja segera mengembangkan suatu kehidupan peribadahan. Ingat bahwa orang-orang Kristen perdana adalah orang-orang Yahudi. Orang-orang ini membawa bersama mereka praktek peribadahan Yahudi yang memang sudah mapan pada zaman itu. Mereka mengambil hal-hal yang sudah familiar bagi mereka dan melaksanakannya dalam suatu perspektif baru yang Kristosentris. Contohnya, bagian pertama Liturgi Ilahi yang disebut Liturgi Sabda sebenarnya merupakan bentuk ibadah sinagoga Yahudi yang “dikristenkan”. Sedangkan bagian kedua yakni Liturgi Ekaristi adalah khas Kristen dan segera berkembang seiring berkembangnya Gereja. Jadi Ibadah dan Kitab Suci berkembang secara paralel dan tidak terpisah-pisah satu dengan yang lain. Inilah sebabnya ada begitu banyak referensi mengenai ibadah liturgis di dalam Alkitab. Tradisi-tradisi yang lain juga berkembang secara parallel dengan kitab suci. Sebagai contoh, sidang (konsili/sinode) pertama di Yerusalem berkumpul untuk membicarakan apakah orang-orang Yahudi yang menjadi Kristen harus mengikuti hukum Yahudi (lihat Kisah Para Rasul 15). Di bawah tuntunan Roh Kudus, konsili-konsili lain akhirnya mengikuti. Bahkan penetapan tulisan-tulisan mana yang diakui sebagai kanon Kitab Suci pun berlangsung pada sebuah konsili yaitu Konsili Kartago di Afrika Utara tahun 397.
Demikianlah di dalam tradisi Orthodox ,Alkitab adalah catatan atau rekaman tentang kebenaran, tetapi bukan Kebenaran itu sendiri; catatan tentang pewahyuan, tetapi bukan Wahyu itu sendiri. Perbedaan antara catatan dan kebenaran ini membawa beberapa implikasi penting antara lain bahwa Gereja Orthodox juga menjunjung tinggi catatan-catatan/rekaman lain mengenai pengalaman tentang Allah, seperti misalnya tulisan Para Bapa Gereja, ibadah Gereja, dan keputusan konsili-konsili Ekumenis. Hal-hal ini menghindarkan umat percaya dari eksklusivitas fokus pada Alkitab, dan dengan demikian menjaga orang-orang Kristen Orthodox dari sikap “pemberhalaan” yang keliru terhadap teks Alkitab (bibliolatria).
Lalu, bagimana sebenarnya posisi Alkitab dalam Gereja Orthodox? Walaupun Gereja Orthodox juga menghormati bentuk-bentuk Tradisi yang lain, ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak penting. Nyatanya, Alkitab adalah sumber paling utama dari Tradisi di dalam Gereja. Jika seseorang berkunjung ke Gereja Orthodox dan melihat ke altar, ia akan melihat bahwa Kitab Injil secara permanen ditahtakan di atas altar tersebut bersama-sama dengan Tubuh dan Darah Kristus yang telah dikonsekrasi. Kitab Injil ditahtakan di atas altar sebab Alkitab memiliki peran sentral dalam kehidupan Gereja, sebagai kumpulan tulisan yang suci dan berotoritas yang mengatur kehidupan semua orang Kristen.
Alkitab adalah firman Allah yang harus dibaca, dipelajari, dan ditaati. Itulah mengapa Js. Yohanes Krisostomos sering mengingatkan umat Kristen pada waktu itu untuk memiliki Kitab Suci, membacanya, dan menyimpan kebenaran Kitab Suci didalam pikiran dan hati mereka. Ia berkata: “Jika kita sekarang akan menyelidiki KItab Suci dengan seksama dan tidak asal-asalan, kita akan bisa beroleh keselamatan; jika kita senantiasa hidup dalam kebenarannya, kita akan belajar tentang pengajaran yang benar, dan kehidupan yang sempurna. Sebab tidak mungkin orang yang berbicara dengan Allah dan mendengarkan Allah berbicara tidak beroleh suatu manfaat” (Homili 53 tentang Injil Yohanes). Pendapat ini tentulah bukan hanya pendapat sepihak dari seorang Bapa Gereja melainkan juga mewakili pemikiran (phronema) dan kesepakatan Para Bapa Gereja (consensus patrum) seperti misalnya Js. Athanasius Agung, Js. Basilius Agung,Js. Gregorius Sang Teolog, dll. Bagi mereka, Alkitab adalah sumber primer dari kebenaran Allah dan haruslah ditaati tanpa kecuali oleh semua orang Kristen.
Jadi, sekali lagi, Alkitab adalah sumber utama dari Tradisi iman kita. Kita harus mengenal dan mempelajarinya dengan tekun sehingga hidup kita juga bisa ditransformasikan di dalam Kristus. Meskipun demikian, kita tidak melihat Alkitab sebagai satu-satunya sumber Tradisi Suci. Alkitab adalah sumber utama, tapi bukan sumber satu-satunya. Prima Scriptura bukan Sola Scriptura.