Air dalam Orthodoxia

Pemberkatan air suci terutama dilakukan selama Perayaan Theophani pada tanggal 7 Januari (kalender Julian) atau 19 Januari (kalender sipil) di dalam gereja-gereja oleh para imam dan orang-orang percaya minum air suci dan dapat mengambilnya bagi rumah mereka. Air suci dipercikkan pada rumah, mobil, gedung, pabrik, ladang dan lainnya untuk diberkati. Memungkinkan juga bagi orang percaya itu sendiri untuk melakukan pemercikan ini, dan menyimpannya sepanjang tahun di rumah mereka dan menambahkannya lagi air biasa ketika berkurang. Tidak ada larangan dalam pemercikan air suci ini (oleh imam atau siapa pun yang memiliki rahasia imamat) pada waktu yang lain atau bahkan diadakan di suatu tempat di luar gereja jika perlu.

Dua kritik mendasar telah dan terus diarahkan pada masalah ini :

  • Kritik pertama adalah bahwa jika kita memasukkan air suci ini ke dalam pemeriksaan laboratorium, tidak akan ada perbedaan antara air suci dengan air biasa, jadi masalah pengudusan air hanyalah mitos belaka.
    Jawab :
    Pengudusan air ini tidak dicapai melalui energi fisik atau unsur-unsur biologi atau kimia, atau apa pun dari makhluk dunia yang diciptakan di dalam air untuk diungkapkan pada pemeriksaan laboratorium. Yang benar adalah bahwa pengudusan ini, menurut ajaran Orthodox, melalui kuasa ilahi itu sendiri, yaitu kekuatan dari rahmat ilahi yang tidak terciptakan terjadi di dalam air. Adalah logis bahwa kekuatan ilahi ini tidak dapat dikenai uji laboratorium apa pun, tidak dapat diukur, dikendalikan atau dengan kata lain melalui mesin atau peralatan apa pun yang sangat tinggi tingkat perkembangannya.
  • Kritik kedua adalah bahwa memercikkan air suci, di rumah-rumah dan lain-lain, adalah kebiasaan paganisme yang kita temukan di beberapa agama pagan, atau kepercayaan takhayul, di mana mereka yang mempraktikkannya berusaha untuk mendapatkan berkat dari apa yang mereka anggap sakral dan untuk meningkatkan kesehatan mereka, keluarga, uang, pekerjaan, menjadi terkenal, reaksi dari suatu bencana dan sejenisnya.
    Jawab :
    Tujuan kehidupan beragama di Kristen Orthodox bukanlah untuk memperbaiki persoalan duniawi dari kesehatan, keluarga, uang, status, dll, tetapi untuk maju atau berjalan dalam kekudusan yang merupakan pemurnian perilaku, pikiran dan perasaan.

Esensi dasar untuk melakukan kesucian adalah keberhasilan dalam mengurangi cinta diri, yaitu keegoisan, tak terpisahkannya dalam jiwa manusia rasa cinta kasih kepada Allah dan sesamanya. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22: 37-39), sesama yang di sini adalah siapa pun yang ada di dunia ini, tanpa peduli status sosial, agama atau hubungan (Lukas 10: 29-37).

Ini dilakukan melalui sinergi antara anugerah ilahi yang tidak diciptakan, yang diperoleh orang percaya melalui sakramen-sakramen gereja, yaitu pembaptisan, krisma, liturgi ilahi, dll, juga di antara kehendak manusia. Kesucian adalah penyatuan dengan Allah, yaitu ikut ambil bagian dalam kemuliaan ilahi yang sejati yaitu, “manusia-ilahi oleh kasih karunia ilahi yang tidak diciptakan.”

Kesuksesan dalam mengejar kekudusan adalah tujuan hidup beragama, tetapi, tentu saja, tidak ada yang melarang orang percaya bertanya dalam doanya untuk menanggapi bencana dan memperbaiki keadaan duniawi, tetapi dengan syarat bahwa mereka saling melengkapi dan membantu untuk tujuan dasar ini (“tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”, Matius 6:33). Maksudnya adalah terserah pada kehendak Allah yang akan memperbaiki kondisi duniawi manusia, hanya hal ini yang akan membantunya dalam keselamatan dirinya, yaitu dalam kekudusan.

Kehendak Allah pada dasarnya adalah menjadi juruselamat manusia. Jadi, Dia mungkin mempertahankan dengan beberapa kemalangan atau kerugian dialaminya dan supaya dia percaya bahwa inilah yang akan membantunya menyelamatkan dirinya sendiri (“karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak”, Ibrani 12:6).

Oleh karena itu, berkaitan dengan air suci, ketika orang percaya melakukannya bukan untuk menjauhkan penyakit dan meningkatkan kesehatan, tetapi untuk membantunya berjalan dalam kekudusan. Ketika orang percaya memercikkan di dalam rumahnya, hal itu bukan untuk membuat rumah menjadi kebal terhadap bencana dan musibah, tetapi untuk memungkinkannya hidup di rumah sebagai penolong yang berjalan dalam kekudusan. Hal yang sama juga berlaku ketika memercikkannya di tempat kerja atau di lapangan atau di mesin apa pun yang digunakannya itu bukan untuk menambah keuntungan dan uang, tetapi untuk membuat pekerjaan di tempat ini atau menggunakan mesin ini untuk membantunya berjalan dalam kekudusan.

Seperti yang ditunjukkan di atas, ketika orang percaya berurusan dengan kesucian, seperti air suci dan minyak suci, air dan anggur dalam Liturgi Ilahi, baptisan, myron, dan lain-lain, tujuannya bukan untuk memperbaiki keadaan duniawi, tetapi agar benda-benda suci ini menjadi saling mendukung dalam berjalan di dalam kekudusan. Yang merupakan jalan kerendahan hati dan kesucian batin dan cinta kasih kepada Allah dan sesama.

Sebaliknya, dalam agama pagan atau kepercayaan takhayul, hubungan manusia dengan apa yang dianggap sakral adalah untuk tujuan perbaikan dalam situasi duniawi yang berarti kekuasaan, yaitu kebesaran diri, kerakusan dan kesombongan. Dengan demikian, adalah kesalahan besar dalam menempatkan urusan air suci dan hal-hal suci lainnya dalam Orthodox berada di alun-alun yang sama dengan kesakralan dalam agama-agama pagan dan kepercayaan takhayul.

Dimensi spiritual dan moral yang ditemukan dalam Orthodoxia adalah mengobati orang percaya dengan kesucian. Salah satu Bapa Gereja Orthodox mengatakan :
Orthodoxia adalah satu-satunya doktrin agama dalam sejarah di mana penyembahan benar-benar berorientasi pada Allah, sedangkan dalam doktrin agama lainnya, penyembahan mungkin secara lahiriah diarahkan kepada Allah, tetapi sebenarnya mereka menyembah diri sendiri atau ego.

.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *