Jadi penyebutan babi sebagai haram dimakan itu adalah dalam rangkaian yang tak terpisahkan dari seluruh ketentuan hukum ini. Jika orang menganggap orang Kristen melanggar Kitab Sucinya sendiri dengan memakan daging babi yang haram, maka pertanyaannya adalah: Mengapa babi saja yang diharamkan dan unta dihalalkan ? Padahal kedua-duanya binatang haram menurut Kitab Suci yang sama itu ? Orang harus bisa memberikan penjelasan yang logis, jika memang hendak menuntut umat Kristen mengikuti syariat Taurat.
Jika ada orang yang memegang ritual hukum Taurat ini sebagai landasannya, maka orang Kristen yang imannya berdasarkan “apokalypsis” (penyataan diri/ pengungkapan diri/ pewahyuan diri Allah), dan bukan berdasarkan “imla” satu Kitab yang berwujud sekadar larangan dan suruhan, namun berwujud kebenaran pemulihan kodrat kepada fitrah azali sebagai landasannya, akan lebih lagi bukan berfokus pada apa yang bagi Taurat sendiri bukan fokus: babi. Karena babi dijadikan contoh bagi ketentuan Taurat yang menunjuk khusus binatang “yang berkuku belah namun tidak memamah biak”.
Dan di samping babi, masih ada banyak binatang lain yang juga diharamkan. Lagi pula, ketentuan pasal Taurat ini jelas ditujukan kepada Israel: ”Lalu Tuhan berfirman kepada Musa dan Harun, KataNya kepada mereka:”Katakanlah kepada ORANG ISRAEL begini…”(Imamat 11:1). Jadi ketentuan hukum Taurat mengenai halal-haramnya makanan ini ditujukan kepada orang Israel, bukan kepada segenap manusia dan juga bukan bagi orang Kristen. Ketentuan hukum ini tak terpisah dari kesatuan seluruh hukum yang ada dalam Kitab Imamat. Karena kitab Imamat ini mempunyai struktur dan tema yang jelas.
Tema itu dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Jalan menuju kepada Allah yang berwujud syariat ibadah (pasal 1-17), dan cara hidup dalam pergaulan Karib dengan Allah (pasal 18-27). Jalan menuju kepada Allah itu sendiri diperinci:
- pemulihan diri manusia berdosa kepada Allah melalui syariat kurban (1-8) yang melaluinya pengampunan dosa diperoleh, perlunya ada pejabat-pejabat yang melakukan korban agar syariat korban dapat berjalan: Imam Besar/ Agung, Imam-Imam dan Orang-Orang Lewi (pasal 8-10),
- hukum kesucian ritual (pasal 11-17) yang menyangkut : sucinya makanan halal dan haram (pasal 11), sucinya wanita yang melahirkan bayi (pasal 12), sucinya kulit manusia dari kusta (pasal 13-14), sucinya orang laki-laki sesudah mengeluarkan air mani dan perempuan sesudah mengeluarkan lelehan darah (pasal 15)
- hari pengudusan seluruh umat dalam hari raya korban agung: yom kippur/ yaumul kiffarat/ hari raya pendamaian (pasal 16) dan tempat penyembelihan korban (pasal 17).
Cara hidup dalam Pergaulan Karib dengan Allah dalam bentuk kudusnya umat itu sendiri, yaitu dalam hal-hal:
kudusnya perkawinan dan masalah hubungan seksual yang dilarang dan diijinkan (pasal 18), kudusnya kehidupan secara umum (pasal 19) khususnya umat Tuhan, bangsa Israel (pasal 20), kudusnya para imam (pasal 21), kudusnya kebaktian korban (pasal 22), hari-raya hari-raya keagamaan (pasal 23), minyak lampu untuk Bait Allah, mengenai Roti Sajian untuk Ruangan Mahakudus, dan hukuman atas penghujat nama Tuhan dan lain-lain kejahatan (pasal 24), mengenai tahun Sabat dan tahun Yobel (pasal 25), mengenai “berkat” dan “kutuk” (pasal 26), serta yang terakhir mengenai membayar nazar dan persepuluhan (pasal 27).
Semua hukum ini merupakan satu kesatuan yang tak bisa dicomot salah satu lalu ditinggal yang lain. Jadi kita tak bisa menuntut orang tidak makan babi dari Imamat 11:7, lalu meninggalkan hukum-hukum lain yang ada dalam satu kitab yang jumlahnya se-abreg itu.
Demikianlah struktur dan tema Kitab Imamat ini. Bagi umat Kristen hukum korban dan hukum jabatan keimaman itu sudah digenapi dalam korban yang dilakukan Yesus Kristus ketika dia mati di kayu salib sebagai korban peperangannya melawan dosa, kelapuk-fanaan dan maut, bagi penebusan manusia. Sehingga ketika membaca hukum-hukum korban itu orang Kristen langsung melihat penggenapannya dalam karya Kristus di atas salib. Sebagaimana dikatakan: ”Dan karena kehendakNya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” ( Ibrani 10:10) “….Sebab anak domba Paskah kita telah disembelih, yaitu Kristus” ( I Korintus 5:7b).
Kenaikan Kristus ke sorga setelah mempersembahkan diriNya sebagai korban di atas Salib dan bangkit dari kematian, lalu duduk di sebelah kanan Allah itu dilihat sebagai penggenapan dari jabatan ke-Imam-an dalam Kitab Imamat : ”….kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk disebelah kanan takhta Yang Maha Besar di sorga, dan yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu dalam kemah sejati, yng didirikan oleh Tuhan dan bukan…oleh…manusia”…(Ibrani 8:1-2).
Sedangkan mengenai hukum kesucian ritual bagi Israel yang digunakan untuk membedakan dan memisahkan Israel dari bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya, dilihat dari kacamata Kristen sebagai keharusan setiap orang Kristen untuk hidup “secara moral” berbeda dari umat yang tidak percaya yang ada di sekitarnya, karena umat Kristen tahu bahwa hukum halal-haram itu secara khusus diperuntukkan Israel, sehingga prinsipnyalah yang tetap dipakai orang Kristen, yaitu prinsip dapat membedakan yang berguna dan yang tidak, prinsip yang mana yang kudus mana yang najis secara moral, prinsip pengendalian diri, jangan asal santap saja, dan seterusnya.
Demikianlah seluruh hukum Taurat ini dilihat dari kacamata Kristen sebagai sungai yang bermuara dalam Apokalypsis terakhir : Peristiwa Yesus Kristus, sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang ada padanya harus dilihat dari kacamata itu. “Oleh karenanya tidak bisa mengambil satu ayat dilepaskan dari konteks keseluruhan struktur dan tema dari Kitab lalu dijadikan dalil lepas tak terkait dengan hukum-hukum yang lain begitu saja”. Karena “hukum moral” dari Taurat itu tak bersifat lokal artinya agama apapun dari budaya apapun akan mengiyakan hukum moral itu: jangan berzina, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan membunuh dan seterusnya.
Iman Kristen melihatnya sebagai hukum yang berkaitan langsung dengan fitrah manusia. Oleh karena itu hukum moral Taurat diterima sebagai hukum universal, bukan hanya untuk Israel. Sedangkan “hukum ritual” dan “muamalah” itu bersifat lokal bagi Israel, misalnya makan babi, tidak semua agama dan budaya langsung mengiyakan bahwa babi haram, namun berzinah secara otomatis dilarang semua agama.
Hukum waris tanah Israel itu pasti tak bisa diterapkan bagi daerah dan bangsa lain. Demikianlah faktanya bahwa berdasarkan kacamata dan berdalilkan pada makna “Apokalypsis”, iman Kristen melihat hukum dan ritual sebagai sudah digenapi dalam peristiwa Yesus Kristus, sedangkan hukum moral itulah yang menjadi realita hukum langsung yang berkaitan dengan fitrah manusia, termasuk moral ibadah.
Jika demikian tidak adakah tuntunan kaidah dalam Iman Kristen mengenai tata cara makanan yang tidak diperbolehkan atau tidak diperbolehkan? Ada, namun dikaitkan langsung dengan hukum moral sehingga bersifat universal dan tidak melokal dan dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan situasi tempat maupun kondisi orangnya. Kaidah-kaidah itu adalah:
“…Tidak tahukah kamu bahwa sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban? Dengan demikian IA MENYATAKAN SEMUA MAKANAN HALAL” (Markus 7:18-19) “ Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan. Tetapi jagalah supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah” ( I Korintus 8:8-9).
Artinya memang secara hakikat tak ada makanan yang haram pada dirinya sendiri, misalnya jika orang yang menganggap babi itu haram jadilah dia binatang haram, demikian juga bagi orang-orang yang menganggap daging sapi haram dimakan, jadilah daging sapi itu haram. Namun bagi yang tak mempercayai babi atau sapi itu tak ada haramnya sama sekali, itu netral: ”…bahwa tidak ada sesuatu yang najis (haram) dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis (=haram), bagi orang itulah sesuatu itu najis (=haram) (Roma 14:14). Jadi orang Kristen dibebaskan dari ritual lokal, namun tidak dibebaskan dari hukum moral yang universal “supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka…”.
(Bersambung)
.
.