Imamat Dalam Gereja Orthodox

Theologia Protestan mengajarkan bahwa semua orang percaya adalah imam-imam – tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Theologia Roma Katolik mengajarkan bahwa hanya para pastor, Uskup atau Paus itulah Imam, malahan Paus disebut “Pontifex Maximus” (Imam Agung), sedangkan umat hanyalah kaum awam saja. Dalam theologia Protestan jabatan “pendeta” bukanlah dimengerti sebagai jabatan imam namun hanyalah jabatan seorang pelayan, seorang gembala atau seorang Guru. Dia bukanlah imam yang memiliki kuasa menjalankan Sakramen Gereja, apalagi sakramennya hanya dianggap simbol atau lambang saja, dan tidak memiliki kuasa pada dirinya sendiri.

Karena theologia Protestan tidak percaya pada imamat, itu juga tidak percaya pada hirarki kepemimpinan imam. Theologia Protestan percaya bahwa Gereja adalah satu tubuh yang memiliki satu Kepala, yaitu Yesus Kristus saja. Tidak ada kepala manusiawi, Ke-Kepala-an Kristus atas Gereja tidak mengijinkan adanya kekepalaan manusiawi. Oleh karena itu tak percaya adanya wibawa hirarkhi Gereja apapun.

Orang-orang Anglikan adalah perkecualian dalam hal ini, karena meskipun mereka Protestan, mereka memiliki Imamat Kudus dalam Gereja yang berbentuk jabatan: Episkop (Bishop, Uskup), Imam (Pastor), dan Diaken. Mereka juga memiliki Uskup Agung (Archbishop), misalnya Uskup Agung (Archbishop) dari Canterbury dan Uskup Agung dari York dan lain-lainnya. Namun demikian, mereka mengijinkan Uskup mereka menikah, dan bahkan mereka mentahbiskan pastor wanita dan uskup-uskup wanita.

Sedangkan mengenai Imamat ini sikap Gereja Orthodox adalah demikian: memang Kristus adalah satu-satunya Imam Agung sebagaimana yang telah kita bahas di atas, namun setelah pengakuannya akan Ke-Mesias-anNya, Kristus mengatakan kepada Petrus:

Engkau adalah Petrus (“Batu-Karang”), dan di atas Batu Karang ini (“Pengakuan Petrus dan Diri Petrus sebagai wakil Rasul-Rasul”) Aku akan mendirikan jemaat (Gereja)Ku…” (Matius 16:18).

Bahwa Gereja itu didirikan atas dasar para Rasul dijelaskan dalam Efesus 2:20, dengan Kristus sebagai batu-penjurunya. Dengan demikian para rasul adalah cikal-bakal Gereja. Itulah sebabnya ketika Yesus masih hidup di dunia, Dia telah mempersiapkan adanya organisasi dari hirarki Gereja ini: Petrus sebagai yang pertama (Matius 10:2), namun dia pertama dalam kesatuan dan kesejajaran dengan segenap rasul lainnya (Matius 10:2-4). Dan di antara kedua belas rasul itu di samping Petrus sebagai yang pertama ada, satu kelompok yang terdiri dari tiga orang yang lebih dekat kepada Yesus: Petrus, Yakobus, Yohanes (Markus 5:37; Matius 17:1, Matius 26:37), serta satu di antara mereka yang diangkat jadi bendahara: Yudas Iskariot (Yohanes 12:6). Baru kelompok para wanita yang membiayai kebutuhan dari rombongan ini (Lukas 8:3), dan kelompok Tujuh Puluh Utusan (Lukas 10:1).

Sesudah Kristus bangkit dan naik ke sorga, organisasi yang telah dimulai Yesus ini mulai dimantapkan dengan diadakannya rapat pertama yang dipimpin Petrus (Kisah 1:15-26) untuk menggantikan kedudukan Yudas Iskariot yang telah mati bunuh diri. Jabatan Yudas ini disebut dalam bahasa asli Yunani sebagai “teen episkoopeen autou” (Kisah 1:20), yaitu “episkopnya”. Berarti sejak masa awal ini jabatan rasul sudah dimengerti sebagai jabatan “Episkop” yang dalam bahasa Arab menjadi “Al-Uskuf” dan bahasa Indonesia Katolik Roma “Uskup”. Sejak jaman awal para rasul sudah mulai mentahbiskan, sebagaimana yang tertulis:

”Di tiap-tiap jemaat (“ekklesia”: Gereja) rasul-rasul itu menetapkan (“kheirotoneesantes”: mentahbiskan) penatua-penatua (“presbyterous”: para presbyter) bagi jemaat itu…” (Kisah Rasul 14:23 ).

Dan Petrus menyebut dirinya sebagai “teman-penatua” (“sympresbyteros” = sesama presbyter) (I Petrus 5:1), yang berarti para presbyter ini nanti akan menggantikan kedudukan rasul-rasul sebagai gembala jemaat (Kisah 20:17, 28), dan sekaligus “penilik” (“episkopous”; para episkop), jabatan yang mana juga disebut sebagai jabatan rasul juga (Kisah 1:20). Para “penatua” (“presbyter”) inilah yang berada di sekitar rasul pada saat Konsili Rasuliah yang pertama di Yerusalem (Kisah 15:4,6,22), dan berada di bawah kepemimpinan Yakobus di Yerusalem ketika Paulus “sowan” kepada Yakobus sebagai pimpinan Gereja Yerusalem (Kisah 21:17-18; Galatia 2:9).

Presbyter dan Episkop pada saat itu masih merupakan jabatan yang sama, sebagaimana para presbyter (penatua) di Kisah 20:17 itu disebut juga episkop (penilik) yang menggembalakan Gereja di Kisah 20:28. (Titus 1:8-9). Dan Episkop (Penilik Jemaat) inilah yang menjadi Gembala Gereja di dampingi oleh Diaken (Filipi 1:1). Sehingga menjelang masa tua Rasul Paulus, kedudukan Episkop (Penilik Jemaat ) (I Tim. 1-7), kedudukan Presbyter (Penatua) (I Tim. 5:17-22) dan kedudukan Diaken (I Tim 3: 8-13), adalah merupakan jenjang Hirarkhi dalam Gereja yang telah mapan dan ditetapkan para rasul sendiri.

Dan jenjang jabatan dalam Perjanjian Baru dari zaman rasuliah diteruskan tanpa putus secara mata-rantai dalam Gereja Orthodox, bahkan Gereja Roma Katolik juga, serta segenap Gereja yang berasal dari zaman rasuliah Purba, yaitu zaman Perjanjian Baru sendiri: Non-Kalsedonia (Monofisit), dan Pre-Kalsedonia Assyria (Nestorian). Berarti bentuk Gereja yang ada dalam Perjanjian Baru, itu tak pernah tanpa organisasi, dan tak pernah tanpa hirarkhi, serta tak pernah tanpa ada pimpinan manusia, meskipun Yesus adalah Kepala Gereja. Bahkan sejak Yesus masih hidup di dunia, jenjang itu sudah ada, organisasi itu sudah terbentuk, di sekitar Yesus sendiri sebagai Kepala Tunggal mereka.

Dan ketika Yesus akan mendirikan GerejaNya pun, landasannya adalah mereka sebagai batu-karangnya. Dan patut dicatat dari semua jenjang hirarkhi yang ada dalam Alkitab  sebutan “pendeta”, “pendeta muda” memang tidak ada, karena itu adalah istilah pinjaman dari Agama Hindhu-Buddha, bukan istilah Alkitab. Jenjang hirarkhi episkop, presbyter dan diaken ini adalah jenjang hirarkhi keimaman sebab mereka adalah penerus dan pengganti lanjut para rasul. Padahal para rasul ini yang ditetapkan sebagai pengajar (Matius 28:16-19) sekaligus pelaksana sakramen baptisan, perjamuan kudus (Lukas 22:14,19), pengakuan dosa (Matius 16:19; 18:18; Yohanes 20:22-23), krisma (Kisah 8:14-17; I Yoh.2:27; II Kor.1:21-22 ), perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13; Yakobus 5:14-15), dan semua sakramen lainnya.

Bahwa I Petrus 2:9 mengatakan bahwa kita semua adalah “bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus”, tak berarti bahwa semua individu itu adalah imam (Wahyu 1:6), namun Gereja secara kolektif adalah imam bagi dunia ini, karena Gerejalah yang mengantarai berkat Allah bagi dunia melalui berita Injilnya serta rahmat sakramen yang dilakukan di dalamnya. Ide ini diambil dari Perjanjian Lama di mana Israel sebagai bangsa secara kolektif disebut “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Keluaran 19:5) yang secara tepat dikutip dalam I Petrus 2:9 sebagai imamat yang rajani atau kerajaan imam dan bangsa yang kudus.

Dan dalam konteks aslinya bagi Israel itu sama sekali tak menunjuk bahwa semua orang Israel adalah imam. Namun menunjuk bahwa Israel sebagai bangsa itu adalah pengantara berkat Allah kepada dunia, dan fungsi ini sekarang diambil alih Gereja. Karena fungsinya inilah Israel memiliki sakramen-sakramen yaitu korban-korban dan upacara-upacara dan imam-imam yang menjalankannya. Jika I Petrus 2:9 itu dikutip secara harafiah dari Keluaran 19:5, mengapa maknanya harus dimengerti secara berbeda dalam Iman Kristen? Jika demikian halnya, jelaslah bahwa bukan orang per orang dalam Gereja itu imam-imam secara mandiri, sama seperti halnya dalam Israel juga, namun Gereja sebagai Tubuh Kristus secara kolektif itulah imam dan kerajaan bagi Allah (Wahyu 1:6).

Sama dengan keimaman Israel itu ditunjukkan adanya fungsi keimaman dari mereka yang telah ditunjuk dari antara keturunan Harun dan orang-orang Lewi, demikianlah dalam Gereja fungsi keimaman ini dijalankan oleh para episkop, presbyter dan diaken. Mereka inilah yang menjalankan fungsi keimaman kolektif dari Gereja. Dan Rasul Paulus menyejajarkan fungsi para pemberita Injil yaitu para rasul dan penerusnya itu dengan imam-imam Perjanjian Lama dalam kata-kata seperti ini:

”Tidak tahukah kamu bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus (Imam Agung, imam- imam dan orang-orang Lewi) mendapat penghidupannya dalam tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah (Imam Agung dan imam-imam) mendapat bagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil (para rasul dan penerusnya: episkop, presbyter dan diaken) harus hidup dari pemberitaan Injil itu (pengajaran Injil dan praktek-praktek sakramennya)”. – I Kor. 9:13-14.

Ayat ini jelas menyejajarkan fungsi imam-imam Perjanjian Lama dengan para pelayan Perjanjian Baru. Gereja secara kolektif adalah Tubuh Kristus, dan Kristus adalah Imam Besar (Ibrani 3:1), maka Gereja sebagai “kepenuhan Kristus” (Efesus 1:23) pastilah memiliki sifat keimaman ini. Itulah sebabnya Gereja disebut “imamat yang rajani”. Dan para episkop, presbyter dan diaken adalah ikon-ikon yang hidup dari kehadiran keimaman Kristus dalam Gereja itu. Mereka bukan menggantikan keimaman Kristus, namun mereka menyatakan dan memanifestasikan keimaman Kristus yang tunggal itu sebagai ikon-ikon atau gambar-gambar Kristus yang hidup. Bahwa keimaman mereka terkait dengan keimaman kolektif Jemaat atas Gereja, terbukti dalam praktik Perjamuan Kudus, imam tak dapat melaksanakan Perjamuan Kudus jika tak dihadiri setidak-tidaknya dua atau tiga anggota awam, sebab keimaman seorang presbyter terkait dengan imamat rajani dari seluruh Gereja.

Dan kesejajaran keimaman Perjanjian Lama dengan keimaman Perjanjian Baru sebagai manifestasi Keimaman Kristus yang tunggal itu terlihat pada jenjang hirarkhisnya. Dalam Perjanjian Lama terdapat Imam Agung, dalam Perjanjian Baru ada Episkop. Dalam Perjanjian Lama ada imam-imam, dalam Perjanjian Baru ada Presbyter. Serta dalam Perjanjian Lama ada orang-orang Lewi yang membantu para Imam, dalam Perjanjian Baru ada para Diaken yang membantu para presbyter atau Episkop: ”….semua orang kudus ….di Filipi, dengan Para Penilik Jemaat (Episkop) dan Diaken (sebagai pembantu mereka)” (Filipi 1:1). Dan ajaran Perjanjian Baru inilah yang tetap dipelihara tanpa berubah dalam Gereja Orthodox, karena Gereja Orthodox adalah Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang masih tetap tegar hadir di dunia selama 2000 tahun ini.

Di antara para Episkop ini ada yang diangkat sebagai yang mengepalai beberapa Episkop lainnya dengan jabatan Episkop Agung, ada yang ditempatkan di Ibukota dengan jabatan Metropolitan. Ada yang mengepalai suatu wilayah negara tertentu yang disebut Katholikos. Ada yang mengepalai Lima Pusat Gereja Purba: Yerusalem, Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel dan Roma, dengan gelar “Patriarkh” atau “Paus”.

Patriarkh pertama di Yerusalem adalah Petrus sebagai Ketua Kolega para Rasul, dan ketika Petrus masih hidup di Yerusalem  telah bergeser kepemimpinan Yerusalem kepada Yakobus saudara Sang Kristus sehingga dia yang akhirnya disebut Patriarkh Yerusalem yang pertama. Patriarkh pertama di Antiokia adalah Petrus yang menjabat selama tujuh tahun setalah pindah dari Yerusalem dan sebelum pindah ke Roma. Kemudian digantikan oleh Evodius dan dilanjutkan oleh Ignatius Sang Martir. Yang mendirikan ke-Patriarkh-an Aleksandria adalah Markus Sang Penulis Injil murid kesayangan Rasul Petrus. Yang mendirikan ke-Patriarkh-an Konstantinopel adalah Andreas saudara Rasul Petrus. Dan dari Antiokhia Rasul Petrus pergi ke Roma dan di Roma ini akhirnya Rasul Petrus meninggal. Namun sebelumnya dia telah mentahbiskan Linus sebagai Patriarkh  Pertama Gereja Roma, kemudian digantikan oleh Aneklitus, serta dilanjutkan oleh Klemen yang ditahbiskan bukan oleh Rasul Petrus namun oleh Rasul Paulus.

Para Episkop, Presbyter, Diaken ini adalah merupakan pengganti lanjut atau pewaris mata-rantai rasuliah yang mereka semua adalah pria. Meskipun di antara para murid Yesus itu ada yang wanita namun tak pernah satu pun diangkat jadi rasul. Para Rasul itu juga merupakan lambang simbolis dari para bapa bangsa, sebagai bapa dari Israel yang baru (12 RASUL) sebagaimana Israel yang lama itu memiliki 12 bapa leluhur. Mereka juga merupakan ikon yang hidup dari keimaman Kristus sebagai Pengantin Pria dan Jemaat sebagai Pengantin wanita.

Atas landasan data-data Alkitab itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak mentahbiskan wanita dalam derajat kepresbyteran apalagi keepiskopan. Mereka boleh menjadi Diaken wanita (Diakonisa), namun bukan Diaken Sakramental, hanya membantu tugas Presbiter. Ini bukan merupakan diskriminasi terhadap wanita, namun merupakan kesetiaan terhadap ajaran Alkitab dan praktik Rasuliah dari sejak semula sampai kini dengan simbolisme yang ada. Secara kodrat kemanusiaan perempuan dan lelaki adalah sama derajatnya (Galatia 3:26-28). Namun secara pembagian tugas dan fungsinya berbeda. Keimaman adalah fungsi laki-laki, sebagai ikon Pengantin Pria: Kristus, dan pengganti Rasul yang adalah bapa bangsa bagi umat yang baru. Perempuan mempunyai tugas lain yang amat banyak di Gereja: Dosen Theologia, Pengajar, Pengkhotbah, Guru Sekolah Minggu, dan lain-lain.

3 pemikiran pada “Imamat Dalam Gereja Orthodox

  1. Salam sejahtera dalam Kristus, saya mau bertanya: Apakah Selibat diwajibkan bagi presbyter dalam Gereja Ortodoks?

    1. angela

      The Real Person!

      Author angela acts as a real person and passed all tests against spambots. Anti-Spam by CleanTalk.

      berkata:

      Tidak diwajibkan kak Vincent

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *