Sebagai
kesinambungan dan penggenapan dari sistim Imamat Perjanjian Lama yang telah
digenapi oleh Kristus, para Imam dalam Gereja Orthodox, sama seperti para Imam
Perjanjian Lama, juga memiliki busana-busana Liturgis. Dengan busana-busana
Liturgis itu di dalam diri Presbiter yang melayani kita temukan ada simbolisme
yang melambangkan kehadiran Kristus di
tengah-tengah GerejaNya. Presbiter menjadi Ikon yang hidup dari kehadiran
Kristus, tetapi bukan menjadi wakil Kristus – seperti yang disalah-fahami oleh
Gereja Roma Katolik -, sebagai seorang imam yang memiliki wibawa mandiri,
karena ke-Imam-an Kristus itu tak terwakili oleh siapapun. Maka
jubah atau busana Liturgis Presbiter yang berwarna-warni juga mempunyai arti
simbolis theologis. Pakaian
Liturgis Episkop, Presbiter dan Diaken dan makna simbolis theologisnya adalah
sebagai berikut :
a. Jubah Gamis (Stikharion)
Jubah ini
adalah jubah yang pertama dan merupakan kesinambungan dengan “Gamis” dari para
Imam Perjanjian Lama. Jubah ini dikenakan baik oleh Diaken, Presbiter maupun
Episkop. Pada saat mengenakan Jubah Gamis atau Stikharion ini, rohaniwan
mengucapkan doa:
”Jiwaku akan
bersukacita di dalam Tuhan. Karena Ia telah mengenakan kepadaku pakaian
keselamatan dan telah menjubahiku dengan jubah sukacita. Ia telah meletakkan
mahkota di atas kepalaku seperti mempelai pria, seperti mempelai wanita. ia
menghiasiku dengan keindahan.”
Doa ini
menjelaskan makna simbolis theologis dari Jubah Gamis ini. Jubah ini disebut
sebagai jubah keselamatan dan jubah sukacita. Episkop, Presbiter, Diaken yang
mengenakan dinyatakan sebagai mempelai pria dan mempelai wanita sekaligus.
Ini bermakna
bahwa seorang dapat melayani Kristus hanya jika pertama
kali dirinya sendiri adalah orang yang sudah diselamatkan, menerima keselamatan
Kristus melalui iman dan ketaatan kepadaNya. Orang itu harus sudah berjubahkan
keselamatan, dan mengerti keselamatannya di dalam Kristus. Dengan demikian ia
memiliki sukacita keselamatan dan sukacita melayani. Karena ketika Ia melayani ia adalah “seperti mempelai
pria” yaitu menjadi “ikon Kristus” sendiri: Sang Pengantin Pria itu. Namun
sebenarnya ia adalah “Mempelai Wanita” yaitu bagian dari Gereja, dan tak beda
dari anggota Gereja lainnya dalam perlunya akan keselamatan dari Allah: Sang Mempelai
Wanita itu. Ia bukanlah wakil Kristus yang mandiri, namun ia adalah Ikon
Kristus dan masih tetap bagian dari Umat, yang keimaman mereka itulah yang ia
jalankan. Itulah sebabnya ia adalah “Mempelai Pria” dan sekaligus ”Mempelai
Wanita”
b. Selendang
Tutup Dada (Epitrakhelion, Stola, Sampur Jangga)
Selendang ini merupakan kesinambungan “Tutup Dada” dari
Imam Perjanjian Lama. Selendang ini berukuran lebar 15 sentimeter melilit
sekitar leher dan turun ke bawah, lalu di bawah leher dikaitkan tengahnya
antara lembaran kiri dan lembaran kanan yang terjuntai dari leher tadi dengan
kancing-kancing. Dalam bahasa Yunani ini disebut EPITRAKHELION. Sehingga luas
seluruhnya menjadi ½ meter luarnya. Panjangnya terjuntai sampai di bawah lutut
pemakainya. Di ujung bawah terdapat dua rumbai-rumbai yang dipasang melintang
lebar masing-masing luas sisi kanan dan kiri dari selendang itu. Rumbai-rumbai
itu disusun dua jenjang atas dan bawah. Ketika mengenakan Selendang Tutup Dada
ini, Episkop atau Presbiter yang mengenakan – Diaken belum berhak mengenakan
ini, ia mempunyai selendangnya sendiri yang disebut Selendang Doa (ORARION) –
mengucapkan doa ini:
”Terberkatilah
Allah yang telah mencurahkan rahmatNya kepada para imamNya, seperti minyak urap
yang turun keatas kepala, yang meleleh turun keatas jangut, bahkan janggut
Harun, yang turun sampai ke leher jubahnya”
Ini
melambangkan anugerah Roh Kudus yang turun mengurapi seluruh keberadaan
rohaniwan yang melayani Kristus. Ini berarti pula bahwa orang yang dipanggil melayani
Kristus pertama harus mengalami keselamatan dan dalam pelayanannya harus
menerima pengurapan Roh Kudus dan panggilan dari pada Roh Kudus untuk layak
bagi pelayanan tersebut. Namun itu juga menunjukkan bahwa kedatangan Kristus
yang menyelamatkan itu untuk memberikan Roh Kudus kepada kita agar kita
mendapat kehidupan yang dari Roh yaitu kehidupan kekal.
Rumbai-rumbai
yang dua jajar – atas dan bawah – itu adalah kesinambungan dari dua belas batu
permata yang dua jajar yang terletak di dada imam. Jika dua belas batu permata
itu lambang umat Israel yang diperhadapkan kepada Allah, rumbai-rumbai adalah
lambang umat yang digembalakan oleh Presbiter itu. Karena Ibrani 13: 14
mengatakan: ”…pemimpin-pemimpin
kamu….berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus
bertanggung-jawab atasnya….”. Tanggung
jawab atas jiwa umat itu ada pada pundak pemimpin Gereja. Itulah sebabnya
rumbai-rumbai itu menjuntai dari pundak rohaniwan melalui Selendang Tutup Dada
(Epitrakhelion, Sampur Jangga). Jajaran rumbai yang atas adalah jiwa-jiwa
mereka yang sudah bersama Kristus di Firdaus, yang tanggung jawab Presbiter
adalah mengingat mereka dalam Liturgi dan Doa Peringatan, dan jajaran di
bawahnya adalah jiwa mereka yang sedang dilayani di dunia ini. Presbiter atau Episkop
selalu melayani, mendoakan, menasihati, dan mengajar mereka.
Bagi Episkop
ada tambahan Selendang Lebar yang bernama “OMOFORION” lambang dari wewenang dan
wibawa kegembalaannya. Disamping itu ia memiliki Tongkat Kegembalaan yang
terbuat dari logam, untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Ikon Kristus yang
menggembalakan GerejaNya.
c. Gelang
Penutup Tangan (Epimanikion, Penutup Pergelangan Tangan)
Pada kedua
pergelangan tangan Episkop, Presbiter dan Diaken terdapat semacam gelang
penutup tangan pendek (seperti yang ada ditangan polisi lalu lintas), yang
dalam bahasa Yunani disebut EPIMANIKON. Pada waktu mengenakan Gelang Penutup
Tangan sebelah kanan, doanya adalah:
”Tangan kananMu
ya TUHAN, dimuliakan dalam kekuatan. Tangan kananMu ya TUHAN telah
memporak-porandakan sekalian musuh, dan melalui kelimpahan kemuliaanMu Engkau
telah meremukkan segenap lawan”.
Dari doa ini
kita melihat Epimanikon sebelah kanan melambangkan Kekuatan dan Kemuliaan Allah
yang menghancurkan sekalian musuh dan lawan, yaitu segenap kekuatan roh-roh
jahat dan kejahatan Iblis. Karena seseorang yang menjadi pelayan Injil akan selalu menghadapi
kuasa kegelapan, dan untuk melawan kuasa kegelapan itu ia memerlukan kuasa
Allah. Hal ini mengingatkan para rohaniwan untuk selalu waspada, namun juga
untuk menunjukkan bahwa Kristus Sang Imam Besar itu memiliki kuasa atas segala
kuasa kejahatan yang dapat menjadi perlindungan bagi segenap umat beriman.
Ketika mengenakan Gelang Penutup Tangan sebelah kiri doanya adalah:
”TanganMu telah
menciptakanku dan membentukku. Terangilah pikiranku, dan aku akan belajar
perintah-perintahMu”.
Dengan doa ini
maka kita diajar bahwa epimanikion sebelah kiri melambangkan kuasa Allah yang
menjadikan dan membentuk manusia baru agar oleh terang ilahi, manusia itu boleh
hidup dan belajar perintah-perintah Allah.
Jadi keimaman
Kristus yang dilayankan oleh para Rohaniwan itu disamping untuk melepaskan
manusia dari kuasa jahat, dan kegelapan oleh nasihat, pengajaran dan doa-doa
namun juga itu merupakan pelayanan penciptaan baru, agar manusia boleh belajar
kebenaran dan perintah-perintah Allah dan hidup dalam ketaatan kepadaNya,
melalui sakaramen-sakramen dan pemberitaan serta pengajaran Firman. Ini juga
bermakna bahwa Rohaniwan itu sendiri juga adalah orang yang harus rela dibentuk
oleh Allah dan berani melewati
peperangan rohani agar ia dapat mengalahkan yang jahat mencapai terang ilahi,
serta belajar akan perintah-perintah Allah melalui semuanya itu. Ini semua terjadi
karena ia terlebih dahulu telah menerima pengurapan Roh Kudus yang dilambangkan
oleh Selendang Tutup Dada (Sampur Jangga).
d. Ikat Pinggang (Zone)
Ikat
pinggang yang terbuat dari kain yang
dijahit ini memiliki kesinambungan dengan ikat pinggang imam dari Perjanjian
Lama. Dalam bahasa Yunani ikat pinggang ini disebut: “ZONI”. Pada waktu
mengenakan Ikat Pinggang ini Presbiter atau Episkop berdoa:
“Terberkatilah
Allah kita, yang telah mengikat pinggangku dengan kekuatan, dan telah membuat
jalanku tak bercacat, serta telah memberikan kakiku seperti kaki kijang, dan
telah menempatkanku di tempat tinggi”.
Ini adalah
lambang dari kuasa Allah yang mengendalikan hidup Rohaniwan, dan akan
memberikan keberhasilan dalam hidup ketatan kepada Allah, sehingga jalan
hidupnya tanpa cacat. Sehingga gerak pelayanannya akan sukses berlari seperti
“kijang”, sehingga pada akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan-kesulitan
dalam pelayanannya, karena Allah akan menempatkannya “ditempat tinggi”.
e. Jubah Badhongan (Phelonion, Jubah Luar, Jubah Efod)
Jubah Badhongan
ini memiliki kesinambungan dengan “Baju Efod” dari para imam Perjanjian Lama,
oleh karena itu jubah ini mempunyai warna-warni yang beraneka ragam. Untuk
Presbiter bentuknya adalah panjang di belakang, namun di bagian depan hanya
sepanjang perut, sedangkan untuk Episkop panjang seluruhnya sampai ke kaki,
dengan terbuka dari ujung tangan bagian bawah sepanjang lengan sampai ketiak
langung ke sisi kiri dan kanan pinggang sampai ke bawah, namun diberi
kancing-kancing yang berwujud giring-giring kecil, yang berbunyi gemerincing
waktu dikenakan. Inipun kesinambungan dari giring-giring Imam Besar Perjanjian
Lama. Untuk Presbiter jubahnya disebut “FELONION” dan untuk Episkop disebut
“SAKKOS”. Untuk Episkop ditambah dengan Mahkota (“MITRA”) yang berwarna emas,
dan merupakan kesinambungan dari Serban dan Patam Emas yang dikenakan Harun.
Pakaian Episkop yang demikian itu melambangkan Episkop sebagai Ikon
Kristus: Sang Imam Besar yang sekaligus Raja di
tengah-tengah GerejaNya. Kristus adalah Imam menurut peraturan Melkisedek,
padahal Melkisedek itu adalah Imam dan sekaligus Raja. Demikianlah Episkop
sebagai Ikon Kristus melambangkan jabatan Kristus sebagai Imam Besar dan
sekaligus Raja, itulah sebabnya Episkop mengenakan mahkota, dan pada waktu
melayani di Gereja duduk di atas takhta yang khusus disediakan di depan
Ikonsostasion bagian Selatan.
Jubah Efod ini
melambangkan jubah kebenaran. Dimaksudkan untuk mengajar bahwa untuk dapat
melaksanakan pelayanan kepada Allah,
Presbiter atau Episkop harus hidup di dalam kebenaran. Hal ini juga membuktikan
bahwa kedatangan Kristus hendak menutup kita dengan kebenaranNya sendiri.
Dengan melihat jubah-jubah yang ada di dalam Episkop atau Presbiter ini, maka
kita diperingatkan akan arti keselamatan yang ada di dalam Kristus, akan arti
karya Kristus di tengah-tengah kita melalui peragaan visual yang terdapat pada
pakaian Presbiter tersebut.
Demikianlah
jelas bahwa semua simbolisme yang ada dalam praktek liturgis Gereja Orthodox
ini, dimaksudkan untuk mewartakan ajaran Alkitab, dogma Gereja, dan penyataan
wahyu Allah yang ada di dalam Kristus, dengan demikian dogma itu dapat dialami
di dalam pengalaman penyembahan kita kepada Allah. Dan kebenaran Iman Rasuliah
itu tidak akan mudah diubah-ubah sekehendak hati manusia, sebab ini tak pernah
diubah dalam Gereja Orthodox.