PUASA ATAU PUASIN?(Bagian kedua)

Bahwa “manusia itu hidup bukan dari roti saja tetapi dari segala yang diucapkan Tuhan”, tentulah bukan suatu pernyataan yang baru muncul di Perjanjian Baru, melainkan sebuah pernyataan spiritual tua yang diberikan kepada manusia dalam hukum tertulis yang pertama (bdk. Ul 8:3).

Oleh sebab itu tidak heran kalau para nabi dalam Perjanjian Lama itu berpuasa. Nabi dan Raja Daud berkata:

“aku menyiksa diriku dengan berpuasa” (Maz 35:13);

“aku meremukkan diriku dengan berpuasa” (Maz 69:10);

“lututku melentuk oleh sebab berpuasa” (Maz 109:24),

bahkan ia berpuasa ketika anaknya sakit dan “memohon kepada Allah oleh karena anak itu” dan “semalam-malaman berbaring di tanah” (2 Sam 12:16).

Nabi Daniel juga berpuasa (Dan 9:3), demikian juga Nabi Yehezkiel (Yeh 4:9). Nehemia berpuasa ketika ia mendengar bahwa tembok Yerusalem sudah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar (Neh 1:3-4), begitu juga Ezra, imam dan ahli kitab itu berpuasa dan mengajak seluruh rakyat turut serta berpuasa (Ezr 8:21). Nabiah Hana dalam Lukas 2:37 “tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa”.

Bagaimana dengan Para Rasul? Apakah mereka berpuasa? Tentu saja. Sebagaimana Kristus berpuasa, demikian juga Para Rasul demi menggenapi perkataan Kristus:

”…waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa” (Mat 9:15).

Demikianlah, Puasa Para Rasul merupakan puasa Kristen tertua dan yang paling pertama dipraktekkan oleh Gereja Kristen.

Ketika Rasul Petrus berpuasa dan menjadi sangat lapar sehingga ia benar-benar ingin makan (Kis 10:10), ia memperoleh penglihatan tentang diterimanya bangsa-bangsa non-Yahudi sebagai umat Allah. Hal ini dinyatakan kepadanya ketika ia sedang berpuasa menggumuli persoalan tersebut.

Dalam pelayanannya kepada Tuhan, Rasul Paulus berkata:
“…dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa…” (2 Kor 6:5)

dan “…kerap kali aku berpuasa…” (2 Kor 11:7).

Ia juga berpuasa bersama-sama dengan Barnabas (lih. Kis 14:23). Dan ketika Para Rasul berpuasa, Roh Kudus berbicara kepada mereka (Kis 13:2-3).

Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kepada Para Rasul mengenai puasa dan faedahnya dalam pengusiran roh-roh jahat:

“…jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” (Mat 17:21).

Puasa juga tidak hanya bersifat personal dan individual melainkan juga bisa bersifat kolektif. Jangankan hanya 1 jemaat/ paroikia, 1 RT, 1 kecamatan, bahkan 1 bangsa pun bisa. Dalam puasa bersama, hati umat berpadu untuk merendahkan diri di hadapan Allah.

Ada banyak contoh dalam Alkitab di mana orang-orang menyatukan hati berpuasa bersama demi memohon belas kasihan Allah. Dalam Kitab Ester misalnya, orang-orang Yahudi berpuasa secara bersama bahkan sampai membentangkan kain kabung dengan abu sebagai alas tidur (Ester 4:3, 16).

uga pada zaman Ezra, orang-orang “berpuasa bareng” di tepi sungai Ahawa (Ezra 8:21). Demikian juga dengan Nehemia, mereka berkumpul dan berpuasa dengan mengenakan kain kabung plus tanah di atas kepala (Neh 9:1).

Pada zaman Yosafat, seluruh bangsa Yehuda juga berpuasa bersama (2 Taw 20: 3), begitu juga pada zaman Nabi Yoel (Yoel 2:12). Bahkan di kalangan orang Israel ada jadwal puasa kolektif: puasa bulan keempat, bulan kelima, bulan ketujuh, dan bulan kesepuluh (Zakh 8:19).

Dan puasa berjamaah semacam ini juga bukan hal yang asing bagi agama bangsa-bangsa bukan Yahudi misalnya, penduduk Niniwe (Yunus 3) yang berpuasa massal hingga Allah menerima puasa mereka dan mengampuni dosa mereka. Raja Darius juga (yang notabene bukan seorang Israel) ketika diperhadapkan dengan dilema Daniel di gua singa (Dan 6:18), “berpuasa semalam-malaman”.

Singkatnya, laku puasa dikenal dalam berbagai agama dan bahkan dalam aliran-aliran kepercayaan yang tidak masuk dalam kategori agama “resmi”. Ini mengindikasikan bahwa puasa telah dikenal jauh sebelum terbentuknya dan tersebarnya agama-agama. Bagi yang pernah membaca literatur-literatur mengenai agama Buddha, Hindu, Konghucu, dan agama-agama Timur lainnya tentu akan menemukan bahwa bagi para penganut ajaran tersebut puasa merupakan suatu bentuk latihan bagi tubuh dan jiwa.

Contoh yang paling mudah diingat di zaman modern mungkin adalah Mahatma Gandhi, tokoh terkenal asal India yang dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan tidak ingin menggunakan kekerasan. Puasa merupakan salah satu laku “signature” Gandhi, apalagi jika sedang diperhadapkan dengan persoalan yang pelik.
Jadi, jika bagi mereka yang berada “di luar Kristus” saja puasa (dalam pemahaman dan praktik mereka sendiri) menjadi sesuatu yang begitu penting, apalagi bagi mereka yang sudah “mengenakan Kristus” (Gal 3:27).

Bukankah “barangsiapa yang mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup?”

(bdk. 1 Yoh 2:6)

Kyrie Eleison!

Makassar, 28 Feb(NS)/15 Feb (OS) 2023

Oleh: subdiaken Gregorius Efraent Lamorahan

 Hari Peringatan Rasul Onesimus dari 70 Utusan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *