Puasa adalah “gaya hidup” dan sarana “melatih diri” dalam kedisiplinan rohani, yang mana puasa adalah tradisi yang diwariskan dari ajaran agama Tauhid/Monotheisme sebelum Kristus yaitu agama Yahudi. Dalam penerapan puasa, ada beberapa model yang dapat kita lihat, yaitu:
– Mereka yang berpuasa secara penuh, mulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam, berbuka puasa saat matahari terbenam, dan tidak ada sahur.
– Mereka yang berpuasa tidak penuh, misalkan Nabi Daniel, yang hanya minum air dan makan sayur-sayuran, inilah yang disebur tarak atau pantang. Tarak atau pantang ini bentuknya bermacam-macam, tidak ada pola pakem wajib begini dan begitu.
Apapun yang dilakukan, entah puasa penuh atau puasa tidak penuh, mengingatkan kita akan makna teologis:
“Kita belajar akan pengendalian diri terhadap hawa nafsu yang dapat menjadi jerat dalam hidup kita; kita disadarkan bahwa manusia jatuh melalui makanan (buah pengetahuan yang baik dan jahat) dan kita dihidupkan lagi melalui makanan “ilahi” (Roti dari Sorga).
Jadi, puasa bukanlah sarana mencari atau menumpuk amal-ibadah dan mencari pahala semata. Dan apalagi jika puasa kita adalah puasa orang munafik, yang menekankan “yang penting tidak makan,” yang mana sikap seperti ini hanya menimbulkan sikap angkuh dan semena-mena terhadap orang yang tidak berpuasa. Padahal puasa adalah sarana kita melatih diri bagaimana kita merendahkan hati dan peduli kepada manusia yang lain bahkan kepada mereka yang dianggap “kafir” dan tidak berpuasa.
Puasa seharusnya menjadi berkah dan nikmat bagi mereka yang menjalankannya, memberikan kekuatan jiwa oleh kuasa Roh Suci -dengan cara yang tak terjangkau akal- kepada mereka yang berusaha berjuang dalam iman dan kekhusyukan kepada Allah, dengan demikian puasa menjadi sarana penyuci jiwa dan membawa kepada kesalehan hidup.