(oleh Arkhimandrit Rm. Daniel B.D. Byantoro)
.
b) Satu Hypostasis dari Firman Allah. Selanjutnya hal yang amat perlu dimengerti adalah bahwa meskipun kita menganalogikan antara Logos dan Akal pikiran Allah, dengan kata-kata dan akal pikiran manusia, namun satu hal yang harus disadari adalah “Logos/ Firman” Allah itu memiliki perbedaan yang amat besar dengan “kata-kata” manusia. Ini disebabkan Allah tak dapat disamakan dengan manusia, sebagaimana dikatakan : ”Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Siapakah seperti Aku?…..” (Yesaya 44:6-7), dan “Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?” (Yesaya 46:5) dan jawabannya adalah : ”… ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau…” (II Samuel 7:22). Itulah sebabnya hakikat Firman Allah itu tidak sama dan tidak seperti serta tak sebanding dan tak seumpama dengan “kata-kata” dan “akal-pikiran” manusia.
Yang bisa diumpamakan dengan kata-kata manusia bukanlah hakikat Firman itu sendiri namun sifat hubungan antara Firman Allah dengan Allah dibanding dengan sifat hubungan kata-kata manusia dengan si manusia pemilik kata-kata itu. Letak perbedaan secara hakiki antara Firman Allah dengan kata-kata manusia adalah, bahwa pertama, Firman Allah itu kekal tanpa awal dan tidak diciptakan, sedangkan kata-kata manusia itu tidak kekal dan memiliki awal. Yang kedua, dan ini yang terpenting, adalah kata-kata manusia itu hanya berwujud kalimat-kalimat mati yang tak punya kehidupan ataupun kesadaran pada dirinya sendiri meskipun membentuk perkataan yang memiliki makna dan arti.
Sedangkan Firman Allah itu oleh Kitab Suci disebut sebagai “Firman Hidup” (I Yohanes 1:1), dan “Dalam Dia (Firman) ada hidup” (Yohanes 1:4) serta: ”… Anak (Firman) mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri” (Yohanes 5:26). Jika ada orang beranggapan mengenai Firman Allah yang tak memiliki hidup maka itu adalah Firman yang mati, berarti menyamakan Firman Allah dengan kata-kata manusia yang memang mati dan tak memiliki kehidupan, yang berarti menjadikan Allah seperti, seumpama, sama dengan, dan sebanding dengan manusia. Hal ini bertentangan dengan Kitab Suci, dan dapat menuntun kepada hujat.
Karena Firman itu “Hidup”, yang di “dalam Dia itu ada Hidup” serta “mempunyai Hidup”, maka jelas Firman itu memiliki “kesadaran” dan “ego”. Inilah perbedaan mendasar antara hakikat Firman Allah dengan kata-kata manusia. Sebab kata-kata manusia tidak memiliki “kesadaran” atau “ego” pada dirinya, sebab kata-kata manusia itu mati. Bahwa “Firman Allah” itu memiliki “ego” dan “kesadaran” dikatakan oleh Firman itu sendiri dalam penjelmaanNya sebagai manusia demikian: ”Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:5) serta: ”Ya Bapa, ……Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan” (Yohanes 17:24). Dalam ayat-ayat ini Kristus mengatakan tentang keberadaanNya pada saat “sebelum dunia ada” atau “sebelum dunia dijadikan”. Ini berarti berbicara mengenai ketika Ia masih dalam kekekalan dalam wujud Firman murni. Yaitu sebelum “diutus” (Yohanes 17:3, Galatia 4:4) turun dari sorga ke bumi (Yohanes 3:13, 6:38,41-42,50-51,58) masuk ke dalam rahim wanita: Maria Sang Perawan (Galatia 4:4) mengambil kemanusiaan atau “mengambil rupa seorang hamba” darinya, serta “menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:7) yaitu mengenakan Tubuh Manusia.
Dalam pernyataanNya akan keberadaanNya dalam kekekalan sebagai Firman ini, Kristus mengatakan sebagai “Aku” yang ada di hadirat Bapa, serta “ingat” yaitu “sadar” bahwa si “Aku” ini memiliki kemuliaan. Bukan hanya itu saja, Kristus juga “sadar” bahwa dalam kekekalan itu Bapa “mengasihi” diriNya yang dicirikan sebagai “Aku”. Dengan demikian jelas dalam kekekalan di hadirat atau di dalam Diri Sang Bapa itu Firman Allah memiliki “kesadaran”, “Aku” (“Ego”) dan dapat “mengalami kasih”. Karena Firman itu memiliki “Kesadaran” maka Ia memiliki “Ego” dan “Mengalami Kasih” yang diterimaNya dari Allah yang juga memiliki “titik kesadaran”Nya sendiri. “Titik Kesadaran” dan “Ego” dalam diri Firman inilah yang membuktikan bahwa Firman itu riil dan mempunyai realita nyata yang membedakannya dari Sang Bapa, meskipun Firman itu berada satu di dalam Diri Sang Bapa.
Keberadaan “realita nyata” yang memiliki “titik kesadaran” inilah yang dalam bahasa theologia disebut sebagai “Hypostasis” atau sering dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pribadi”. Karena Firman Allah memiliki “Aku” yaitu “ego” yang satu, ini berarti bahwa Firman Allah itu hanya memiliki satu “Hyposatasis” saja. Demikianlah maka di dalam Diri Allah Yang Esa terdapat “Tiga “Titik Kesadaran” atau “Tiga Hypostasis” yaitu:
” Titik Kesadaran” atau “Hypostasis” pertama yaitu Allah Yang Esa itu sendiri sebagai sumber asal dan terlahirnya Firman atau Anak dan “keluar”Nya Roh Allah atau Roh Kudus, sehingga “Hypostasis” pertama ini disebut Bapa.
Dan “Titik Kesadaran” atau “Hypostasis “ kedua yaitu Firman dari Allah Yang Esa ini yang bersemayam dalam Bapa namun yang juga diperanakkan atau “dinyatakan keluar” oleh Bapa, sehingga disebut “Anak” yang melaluiNya Allah mewahyukan DiriNya dan menciptakan alam semesta.
Dan “Titik Kesadaran” atau “Hypostasis” ketiga yaitu Roh atau “Prinsip Hidup dan Kuasa” yang Kudus dari Allah Yang Esa, yang bersemayam dalam Bapa. Namun yang juga “dialirkan keluar” (Yohanes 15:26) oleh Bapa sebagai “Roh Allah” yang memberi hidup yang melaluiNya pe-Wahyu-an Diri Allah dalam FirmanNya disampaikan kepada manusia dan melaluiNya Allah mengalirkan kehidupan kepada segenap ciptaanNya dan menyalurkan kasih-karunia keselamatan dan karunia-karunia rohani akibat karya FirmanNya yang menjelma kepada GerejaNya. Sehingga dalam diri Allah Yang Esa terdapat aliran kasih yang kekal dari Hypostasis pertama (Bapa) kepada Hypostasis kedua (Firman/ Anak) (Yohanes 17:24) dan sebaliknya. Sedangkan aliran kasih dari Bapa kepada Firman dan sebaliknya itu dicurahkan oleh Hypostasis Ketiga (Roh Allah/ Roh Kudus), karena memang fungsi Hypostasis Ketiga adalah mencurahkan kasih dari Hypostasis pertama (Roma 5:5). Jadi dari kekekalan Allah itu adalah “kasih” (I Yohanes 4:8) karena dalam diriNya Yang Esa terdapat aliran kasih tanpa henti oleh hypostasis-hypostasisnya.
.
Bersambung
.
.