(Tulisan ini ditujukan untuk umat GOI-GGOC sebagai bentuk edukasi dan edifikasi agar tetap teguh tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu “skismatik atau “non kanonik” yang mash sering dilontarkan oleh saudara-saudara kita sesama umat Orthodox dari yurisdiksi lain ataupun orang-orang luar yang sebenarnya tidak mengerti apa-apa sehingga kita tidak membuang-buang energi dan waktu kita untuk berdebat kusir dan saling mencela melainkan fokus dalam misi Orthodox di Indonesia dan yang lebih utama lagi fokus pada tujuan hidup kita: panunggalan dengan Sang Hidup itu sendiri)
Pada abad ke-4, Gereja dilanda pergolakan ketika umat dan rohaniwan Gereja yang orthodox berjuang melawan bidat Arianisme dan mereka yang mendukungnya. Kota Antiokhia di Syria, dimana para pengikut Kristus pertama kalinya disebut Kristen (Kis 11:26) juga tak luput dari gejolak itu. Gereja di Antiokhia terbelah antara para pengikut Js. Meletios, seorang Episkop Orthodox dan para penentang mereka yang menganut bidat Arianisme. Untuk mengatasi kemelut ini, Js. Meletios memanggil para Episkop untuk bersidang pada tahun 381, dua tahun setelah wafatnya Js. Basilius Agung di Kaisarea, Kapadokia.
Menariknya, teryata di kalangan hirarki dan umat Orthodox di Antiokhia yang melawan Arianisme juga terjadi perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung pada fragmentasi dan skisma yang dikenal dengan nama Skisma Antiokhia yang berlangsung antara tahun 330-435. Pada fase-fase awal Skisma Antiokhia (sekitar tahun 330-381) kubu Orthodox terbelah dua antara Js. Meletios Sang Pengaku Iman serta para pengikutnya, dan Episkop Paulinos dan para pengikutnya yang dikenal berhati keras. Satu fakta penting untuk diketahui ialah bahwa pada saat itu kedua kubu anti Arianisme ini sepenuhnya tidak dalam interkomuni alias tidak secawan! Bahkan beberapa Bapa Gereja pada zaman itu pun saling berkomuni dengan pihak yang berbeda. Js. Basilius Agung dan para Bapa Kapadokia lainnya sekomuni dengan Js. Meletios, sedangkan Js. Athanasius Agung, Js. Epifanius, Js. Hironimus, dan para episkop di Barat sekomuni dengan Paulinos yang pandangannya cenderung ke arah Monarkhianisme dan menunjukkan sikap agak berhati-hati terhadap orthodoxia dari Js. Basilius Agung. Kubu-kubu ini bahkan belum bisa direkonsiliasi melalui Sinode Aleksandria tahun 362. Malahan Konsili Ekumenis II tahun 381 pun belum bisa menyelesaikan persoalan ini sebab putusan konsili tersebut yang memilih Js. Flavianus sebagai Episkop Antiokhia untuk menggantikan Js. Meletios. malah menimbulkan polemik baru. Para Episkop dari Palestina, Fenisia, Ilirikum, Trakia, dan Pontus mendukung Js. Flavianus, sedangkan para episkop dari Barat, Mesir, Arab, dan Siprus menentangnya.
Tapi kemudian, terjadi suatu musibah. Ditengah-tengah negosiasi yang sedang dilaksanakan untuk memulihkan kesatuan Gereja di Antiokhia, Js. Meletios wafat. Kaisar Byzantium pada waktu itu, Theodosius, demi memuluskan upaya penyatuan Gereja, bahkan berinisiatif mengundang para episkop lainnya dari wilayah Mesir dan Ilirikum untuk ikut berpartisipasi dalam konsili tersebut. Alhasil, konsili di Antiokhia akhirnya menugaskan Js. Gregorius untuk berangkat ke Konstantinopel guna menyatukan dan menggembalakan umat Orthodox yang saat itu tercerai berai karena mayoritas penduduk Konstantinopel sudah terpengaruh ajaran Arius. Konstantinopel saat itu ibaratnya merupakan suatu arena tarung antara umat dan hirarki Orthodox dan umat serta hirarki bidat Arianisme.
Gereja Konstantinopel waktu itu dikuasai oleh kelompok bidat sebab Episkop Agung Konstantinopel, Demophilos, adalah seorang penganut Arianisme sehingga gereja-gereja besar di dalam kota semuanya menolak kehadiran Js. Gregorius yang akhirnya harus melayankan Liturgi Ilahi di sebuah rumah pribadi dari seorang sepupunya bernama Theodosia, dan mendirikan kapel di rumah itu serta menamai gereja rumah tersebut dengan nama Gereja Kebangkitan. Beliau melaksanakan Liturgi Ilahi bersama para hirarki dan umat awam yang tetap setia kepada pengajaran Gereja yang orthodox, dan yang secara formal memutuskan untuk tetap setia kepada pengajaran Gereja yang orthodox, dan yang secara formal memutus komuni dengan Episkop Agung Konstantinopel. Pengalaman ini dituangkan Js. Gregorius dalam tulisannya Oration 33 ketika beliau menulis tentang Episkop Agung Konstantinopel dan para klerus serta umat awam mereka yang mengikuti ajaran bidat: “mereka memiliki rumah rumah Allah, tetapi kita memiliki Dia yang berdiam di dalamnya; mereka memiliki altar-altar, tapi kita memiliki Allah…. mereka memiliki umat, tapi kita bersama para malaikat”
Christopher A. Beely dalam bukunya Gregory of Nazianzus on the Trinity and the Knowledge of God menjelaskan betapa Js. Gregorius bekerja sangat keras untuk mengupayakan perdamaian antara kelompok-kelompok anti Arianisme di ibukota Konstantinopel. Dengan kembalinya Kaisar Theodosius ke Konstantinopel, maka Episkop Agung Demophilos diturunkan dari jabatannya karena lebih memilih untuk diasingkan daripada mengakui Kredo Nikea yang diimani oleh Gereja, dan keesokan harinya Js. Gregorius secara resmi diangkat menjadi Episkop Agung Konstantinopel di Gereja Para Rasul Kudus.
Penting untuk diingat bahwa ketika Js. Gregorius Nazianzus datang ke Konstantinopel, beliau tidak sekomuni dengan Episkop Agung dan hirarki gereja lainnya yang ada di Konstantinopel, tetapi beliau mendirikan altar sendiri dan melayankan Liturgi Ilahi sendiri, terpisah dan tidak secawan dengan Episkop Agung Konstantinopel yang “resmi”. Contoh dan pola ini seharusnya menjadi jelas sebab memang terdokumentasi dalam sejarah Gereja.
Sekarang mari kita tarik kisah ini ke persolan masa kini dimana standar yang diterapkan oleh yurisdiksi-yurisdiksi yang menyebut dirinya “resmi” adalah bahwa yang menentukan seseorang berstatus skismatik atau bukan adalah apakah orang tersebut berada dalam komuni dengan Patriarkat Konstantinopel. Kalau menggunakan logika itu maka Js. Gregorius Sang Teolog tentu adalah seorang skismatik. Beliau tidak secawan dengan Episkop Agung Konstantinopel, tidak mengkomemorasinya saat Liturgi Ilahi, tidak berkonselebrasi dengannya, malahan mendirikan altar sendiri bersama umat Orthodox yang tidak mau berkompromi dengan ajaran bidat yang dipegang oleh Episkop Agung Konstantinopel saat itu. Js. Gregorius Sang Teolog memelihara kemurnian persekutuan Gereja atas dengan berpegang pada ajaran yang sehat dari iman Orthodox.
Situasi yang dialami oleh Js Gregorius pada masa itu hampir sama dengan situasi yang dihadapi kita pada masa kini, ketika Patriarkat Konstantinopel dan patriarkat-patriarkat besar dan historik lainnya terlilit dalam pusaran ekumenisme, yang ditandai dengan keterlibatan mereka dalam organisasi Dewan Gereja-gereja Dunia (World Council of Churches disingkat WCC). Itulah sebabnya kita tidak perlu terlalu terkesan dan “baperan” dengan opini saudara-saudara kita yang menyebut kita sebagai kelompok skismatik, sebab situasi yang sama juga pernah dialami oleh Js. Gregorius Sang Teolog yang nampak jelas dari tulisannya dalam Oration 33. Yang kita butuhkan adalah kejelasan sikap sebab saat ini kita berada dalam situasi yang kata Js Basilius Agung. “…ibarat peperangan laut di malam hari…” ketika sulit untuk membedakan mana kawan mana lawan saking gelapnya malam itu.
Masa-masa “gelap” semacam ini sudah pernah dilewati oleh Gereja. Sebelum abad ke-4, krisis yang terjadi berasal dari Gnostisisme pada masa Para Bapa Apostolik, lalu disusul dengan masa pandemi bidat-bidat besar seperti Arianisme, Nestorianisme, Monofisitisme, Monotelitisme, Ikonoklasme, sampai kepada konflik dengan Gereja Barat pada masa Js. Gregorius Palamas di abad ke-14. Inilah bukti bahwa alam maut tidak akan berhenti menyerang Gereja, tetapi Kristus telah berjanji bahwa Alam Maut tidak akan menguasai Gereja dan mengalahkan iman yang sudah disampaikan sekali untuk sekalian kepada segenap orang kudus” (Yudas 1:3). Jadi, kapan Js. Gregorius Sang Teolog tidak secawan dengan Konstantinopel? Ketika Episkop Agung Konstantinopel memegang ajaran bidat, Hirarki mana yang sebenarnya skismatik, dan mana yang benar-benar Orthodox? Episkop Agung Demophilos atau Episkop Agung Gregorius Sang Teolog? Saya kira kita semua tahu jawabannya…dan jika apa yang benar pada abad ke-4 dan masih tetap benar pada abad ke-21, tentulah kita tahu apa sebabnya GOI-GGOC sampai saat ini tidak berada dalam satu cawan dengan Patriarkat Konstantinopel (dan juga Patriarkat Moskow).
Js. Gregorius Sang Teolog mengatakan dengan tepat ketika beliau menuis: “mereka memiliki rumah-rumah Allah (Gereja-gereja), tapi kita memiliki Dia yang berdiam di dalamnya”. Ada waktunya ketika kita, karena suatu kondisi tertentu terpaksa harus berada dalam keadaan “skisma” dengan Hirarki Gereja tertentu. Yang perlu ditakutkan justru ialah kalau kita berada dalam “skisma” dengan Allah. Jika kita dianggap skismatik justru karena kita mempertahankan kebenaran yang dilanggar oleh para Hirarki Gereja, biarlah. Lebih baik berada dalam skisma dengan Episkop tertentu daripada kehilangan kesatuan dengan Kristus, apalagi jika Episkop tersebut memegang atau mempraktekkan ajaran bidat.
Dalam kasus ini, karena Episkop Agung Konstantinopel memegang ajaran bidat (dalam hal ini adalah Arianisme), maka Js. Gregorius melayankan Liturgi llahinya sendiri diluar struktur tahta Konstantinopel untuk menghindari kontak liturgis dengan Hirarki yang mengikuti ajaran bidat. Beliau bahkan tidak mau melaksanakan liturgi di salah satu dari gereja-gereja di ibukota kekaisaran sebab semua gereja disana pada waktu itu berada di tangan para bidat, sehingga pasti di dalam semua gereja tersebut Episkop Agung Konstantinopel yang menganut ajaran bidat itu akan diperingati/dikomemorasi oleh para klerus. Jadilah Js. Gregorius akhirnya melayankan Liturgi Ilahi di sebuah rumah pribadi, terpisah dari kelompok hirarki dan klerus yang berada dalam satu cawan dengan Episkop Agung Demophilos yang membidat itu.
Berarti pernyataan yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita sesama umat orthodox dari yurisdiksi lain bahwa supaya kita tidak menjadi ‘skismatik” kita harus berada dalam komuni dengan Patriarkh atau Episkop Agung tertentu, tidaklah tepat. Seharusnya kita bertanya balik apakah Patriarkh atau Episkop tersebut berada secawan dengan kebenaran iman Gereja? Jikalau di abad ke-4 seorang hirarki Orthodox yang sejati tidak boleh berada dalam satu persekutuan dengan seorang Hirarki yang juga bersekutu dengan ajaran bidat, atau yang terang terangan mempraktekkan kebidatan, atas dasar dan otoritas apa kita sekarang boleh mengubahnya atau bermain-main dengan apa yang telah meniadi konsensus natrum ini? Saudara-saudara kita ini, yaitu mereka yang menyebut kita sebagai skismatik, menuding kita demikian karena:
a. Kita tidak secawan dengan Patriarkat Konstantinopel atau salah satu patriarkat/yurisdiksi utama (autocephalous). Hal ini tentunya tidak relevan lagi jika kita berefleksi dari kasus Js. Gregorius Sang Teolog di atas. Alasan kita jelas, apalagi jika kita mengamati dengan cermat ke arah mana mereka membawa Gereja Orthodox dalam interaksinya dengan kelompok heterodoks.
b. Di kalangan Orthodox Yunani yang tetap menggunakan Kalender Gereja/Julian (di Yunani diejek dengan sebutan Old Calendarist) dimana Gereja kita di Indonesia menginduk melalui Sinode Suci GGOC (Genuine Greek Orthodox Church , https://orthodoxwiki.org/Church_of_the_Genuine_Orthodox_Christians_of_Greece), memang ada beberapa faksi, mulai dari yang keras sampai yang moderat. Adanya keterbagi-bagian inilah yang membuat mereka mengatakan bahwa kita bukan, dan tidak mungkin merupakan bagian dari Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik itu. Mereka mungkin tidak tahu atau lupa bahwa dalam sejarah Gereja, ketika masa pandemi bidat melanda (seperti di abad ke-4) yang sudah diuraikan di atas, sangat sering para hirarki Orthodox yang otentik, termasuk juga para klerus dan bahkan umat awam mengalami perpecahan sebab perbedaan pendapat. Di masa kelam seperti di abad ke-4, kehidupan Gereja diibaratkan seperti pertempuran laut di malam hari, kata Js. Basilius Agung, dan memang benar demikian keadaannya. Tetapi jangan lupa bahwa era tersebut juga dikenal sebagai Era Keemasan Gereja karena keteguhannya melawan bidat.
Contoh lain misalnya perpecahan pada era bidat ikonoklasme saya kutip dari surat Js. Theodorus Studita kepada Episkop Theofilus dari Efesus, demikian bunyinya: “Aku merasa berduka, ya Bapa yang sangat terhormat: pertama, sebab diantara kita sendiri, yang mengajarkan ajaran yang benar terkait bidat Ikonoklasme yang sedang merajalela, kemudian terjadi pertikaian, dan mulai bermunculan skisma-skisma…“.
Perpecahan atau skisma atau apapun itu sebutannya memang bukanlah sesuatu hal yang bisa dibanggakan atau harus dipertahankan. Selalu ada sesal untuk keterpisahan, tetapi fakta sejarah mengajarkan bahwa di masa bidat mewabah, hal semacam ini bisa dan kerap terjadi.
Inilah pentingnya kita selalu berpaling kepada Bapa-bapa Gereja ketimbang berspekulasi terkait isu-isu yang seringkali sayangnya tidak kita pahami dengan benar, sebab pemikiran dan ajaran serta kesepakatan Para Bapa Gereja itulah yang mencerminkan hati nurani Gereja sepanjang segala abad, yang membentengi Gereja dari rupa-rupa angin pengajaran yang palsu dan menyesatkan. Itulah juga salah satu bagian yang membentuk Tradisi Suci, dan bukankah kita tahu bahwa Tradisi Suci itulah kesinambungan kehidupan dalam Roh Kudus di tengah-tengah Gereja?
Sebagai penutup, mari mengingat kembali perkataan Js. Antonius Agung, seorang Bapa Padang Gurun : “Suatu masa akan datang ketika orang-orang akan menjadi gila, dan ketika mereka melihat seseorang yang waras, mereka akan menyerangnya dan berkata: engkau gila, sebab engkau tidak sama dengan kami”.
Mari tetap beriman dan tetap waras.
Kristus di tengah kita!
Ditulis oleh :
Romo Presbiter Gregorius Efraent Lamorahan ,Sekretaris Umum PP Gereja Orthodox Indonesia
Referensi :
- Fr. James Thornton, The Oecumenical Synods of the Church, Center For Traditionalist Bacaan:
- Fr. James Thornton, The Oecumenical Synods of the Church, Center For Traditionalist Orthodox Studies, 2007, Etna California
- GA Tsananas “Meletios” in Ecyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. vill, Athens, 1966 P.K. Chrestou, Greek Patrology, Vol. iv, Thessaloniki, 1989
- Archimandrite B.K. Stephanides, Church History, 3d ed. Athens, 1970 Fr. Georges Florovsky. “Efstathios of Antioch” in Ecyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. v, Athens, 1964
- Fr. John McGuckin, St. Gregory of Nazianzus, Concerning His Own Life Gregory of Nazianzus, Autobiographical Poems, Cambridge University Press, 1996 B.J. Kidd, A History of the Church to A.D 461. Vol.2, A.D. 313-408, Oxford, 1922
- Christopher A. Beeley, St. Gregory of Nazianzus on the Trinity & Knowledge of God. Oxford University Press, 2008
- St. Gregory of Nazianzus, Oration 33, A Select Library of Nicene and Post-Nicene Father of the Christian Church, 2 series, Vol 7. St. Basil the Great, On the Holy Spirit, St. Vladimir’s Seminary Press, 1980 Canon 15 of the 1″-2 Council (http://orthodoxinfo.com/ecumenism/ecumcanons.aspx)
- Theodore the Studite, Patrologia Graeca, Vol.xcix, col. 1482cd (Epistle 155 To Theophilos of Ephesus”)
- St. Anthony the Great, Saying of the Desert Fathers Alphabetical Collection