Romo Presbiter Yohanes Bambang Cahyo Wicaksono, MTS.
Gereja Orthodox Indonesia
Setelah sebelumnya kita sudah membahas mengenai perjalanan Gereja pada abad pertama sampai pada abad keempat pada bagian sebelumnya maka pada bagian ini kita akan melanjutkan kepada masa konsili-konsili dari Gereja Perdana.
MASA KONSILI AGUNG EKUMENIS GEREJA RASULIAH YANG SATU DAN
ORTHODOX : PADA ABAD KE IV (TAHUN 325 M) SAMPAI DENGAN ABAD KE VIII (TAHUN 787 M)
Saat pemerintahan Konstantinus, Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta terbebas dari aniaya yang luar biasa, namun ketentraman Gereja segera diganggu oleh munculnya bidat-bidat dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran perpecahan “Donatisme” di Afrika utara dipimpin oleh Donatus, yang menolak Episkop terpilih di Karthago yang dianggap termasuk golongan “Lapsi” pada saat penganiayaan zaman Diokletianus. Bukannya Konstantianus membiarkan Gereja menyelesaikan masalahnya sendiri, namun dia menggunakan kekuatan militernya untuk memihak, pada pertama kali pihak Donatis, dalam memaksakan keputusannya. Dan dalam perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyap dan punahnya Gereja Afrika Utara (Libia, Maroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya.
Konsili Agung Pertama ( tahun 325 Masehi)
Konsili pertama ini diadakan di Kota Nikea (Iznik-Turky modern) dihadiri 318 Episkop. Tujuan diadakan konsili ini adalah untuk melawan ajaran Arianisme yang mengatakan bahwa : “Ada saatnya bahwa Sang Sabda itu tidak bersama-sama dengan Allah” atau “Bahwa Allah itu hanya Sang Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi manusia itu adalah makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah dalam wujud roh, dan dibantu oleh mahluk yang pertama ini Allah menciptakan jagat dan manusia” (bnd. Kol 1:15). Tentu saja ajaran ini tidak benar, maka dalam sidang/ konsili itu dirumuskan : “Bahwa Sang Firman yang juga disebut Anak Allah itu bukan diciptakan, karena Dia itu Allah” (Bandingkan Yoh l:l-2, 10:30, 8:42, Yoh 6:41,38).
Konsili kedua (tahun 381 Masehi)
Konsili ini diadakan di kota Konstantinopel guna melawan ajaran Makedonius bahwa : “Roh Kudus itu bukan Illahi, namun Dia itu hanyalah daya aktif Allah saja” karena itu dalam Sidang Konsili ini dirumuskan bahwa : “Roh kudus itu adalah Allah, yang keluar dari Sang Bapa, yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan” (Yoh 15:26, 1 Kor 2:2-l0, Yoh 14:26, Kej 1:1-3). Saat konsili pertama dan kedua inilah baru diteguhkan kembali menjadi satu rumusan pengakuan Iman (syahadat/ Kredo), yang menjadi Pengakuan Iman Orthodox sampai sekarang dengan sebutan “Pengakuan Iman Nikea”.
Para tokoh spiritual (Para Bapa Gereja) yang sangat berjasa dalam membela Iman Rasuliah yang Orthodox, menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat itu adalah Bapa Suci Athanasius Agung Episkop dari Alexandria (wafat tahun 373 M) yang banyak mengalami aniaya dari Pemerintah dan pengikut Arianisme, serta tiga Episkop dari Kappadokia (Asia Kecil) Bapa Suci Basilius Agung (wafat 379 M), saudara laki-lakinya Bapa suci Gregorius dari Nyssa (wafat 379 M) serta sahabat mereka berdua Bapa Suci Gregorius Naziansus Pakar Teologi (wafat 389 M). Mereka inilah yang banyak menderita aniaya dari pemerintah dan pengikut Arianisme. Namun mereka tidak takut untuk menjelaskan Iman Kristen tentang Ke-Illahi-an Kristus dan Roh Kudus di dalam kesatuan hakekat dari Allah yang Esa, yang mana hal tersebut tetap dipegang teguh oleh umat Kristen sebagai standar akidah sampai sekarang.
Konsili ketiga (tahun 431 Masehi)
Konsili ini diadakan di Kota Kalsedonia dipimpin oleh Bapa Gereja Js. Kirilos Patriark Alexandria, guna melawan ajaran Episkop Nestorius dari Konstantinopel yang mengajarkan bahwa : “Kristus itu manusia biasa anak Maria, yang dirasuk oleh Sang Firman, sehingga dalam Kristus itu ada dua Pribadi yaitu : Pribadi Kristus anak Maria dan Pribadi Sang Firman yang merasuki manusia Yesus, hingga demikian Nestorius menolak Maria sebagai “Sang Theotokos” ( Yoh 1:1-2, 14:7, Luk 1:43).
Sinode Rampok
Suatu Muktamar/ Konsili terkenal sebagai Sinode Rampok diadakan di Efesus tahun 449 Masehi. Muktamar ini menjunjung tinggi pengajaran-pengajaran Mazhab Alexandria yang dinyatakan pada 431 Masehi. Pertemuan ini tidak diterima Gereja secara menyeluruh karena tendensi Monofisitismenya (Mono = satu, fisis = keberadaan) di mana dikatakan bahwa di dalam Kristus hanya ada satu kodrat keberadaan saja, yaitu sifat keberadaan Illahi. Ini diakibatkan karena menafsir pengajaran Kirilos pada sisi yang sangat Ekstrem.
Pada tahun ini Leo Agung, Patriarkh Roma, juga mengeluarkan “tomos” (uraian pengajaran) Dogmatik, di mana dia dengan jalan membedakan dua sifat keberadaan Kristus. Kebijakan Leo adalah moderat, menggabungkan pemikiran Kirilos dari Alexandria dari Mazhab Antiokia. “Tomos”nya itu dijunjung tinggi dalam Muktamar di Kalsedonia (451).
Konsili ke empat (tahun 451 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota Kalsedonia, tujuannya untuk menekankan hubungan Ke-Illahian dan kemanusiaan Kristus, serta menekankan kembali apa yang sudah ditetapkan pada sidang yang ketiga. Dalam Sidang ini, sekali lagi gelar Maria sebagai sang “Theotokos” ditekankan, dan keesaan Pribadi Yesus Kristus serta keidentikannya Pribadi itu dengan Sang Firman diproklamasikan (Yoh 10:30, 14:7). Dan dalam sidang itu dirumuskan bahwa :
- Pribadi Yesus Kristus itu adalah sama dengan Pribadi Sang Firman, karena Firman itu telah menjadi daging (Yoh 1:14).
- Dalam Diri Sang Firman yang menjadi manusia itu mempunyai dua tabiat dasar yaitu : tabiat dasar asali (Yoh 10:30, 14:7, 6:42) dan tabiat dasar baru yaitu tabiat dasar manusia yang diambil dari darah dan daging Maria (Gal 4:4, Luk 2:40, 1 Yoh 1:1-2, Mat 4:2).
- Tabiat dasar asali dan tabiat dasar baru itu manunggal dan tak bercampur baur, yang Illahi tetap Illahi dan yang manusiawi tetapi manusiawi.
Keputusan ini tak disetujui oleh Filoksenius, Dioskoros dan Eutyches, serta mereka mengatakan bahwa tabiat dasar Kristus itu hanyalah satu (Monofisit, Mono = satu, fisis = tabiat dasar). Karena menurut mereka kemanusiaan Kristus itu telah ditelan Ke-Illahi-anNya, sebagaimana setetes air di tengah-tengah samudra. Dan paham ketiga orang ini diikuti oleh sebagian besar Gereja Alexandria dan Ethiopia, Gereja Syria dan Gereja India, dan mereka terkenal dengan sebutan kaum Non-Kalsedonia atau kaum Monofisit.
Namun pada 1964 ketika diadakan pertemuan (dialog antara Kaum Kalsedonia dan Monofisit) di Rhodos, Kaum Non-Kalsedonia (Oriental) tidak mempercayai apa yang diajarkan oleh Filoksenius, Dioskoros dan Eutyches, menyebut diri mereka miafisis. Dalam Konsili ini juga memberikan kedudukan “pertama dalam penghormatan “ kepada Roma di atas Konstantinopel (Roma Baru) sedangkan Konstantinopel menduduki urutan kedua sesudah Roma, kemudian diikuti oleh urutan sebagai berikut :
Alexandria, Antiokia, Yerusalem. Roma menduduki urutan Pertama karena Roma adalah Ibukota kekaisaran sebelum dipindah ke Byzantium dan karena Rasul Petrus dan Rasul Paulus mati sahid ditempat itu. Jadi kedudukan Roma sebagai yang pertama itu, bukan karena alasan teologi maupun alasan “hak Illahi”, namun itu hanyalah alasan praktis saja, administrative dan politis saja.
Konsili kelima ( tahun 553 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota Kaisar Yustinianus di Konstantinopel. Dalam sidang ini Kaisar Yustinianus berusaha untuk mengembalikan kaum Monofisit kedalam Gereja Perdana atau Gereja Orthodox. Caranya adalah dengan mengutuki tulisan-tulisan Teodoret dari Siprus, Ibas dari Edessa dan Theodoros dari Mopsuestia, yang mana tulisan-tulisan itu disebut dengan sebutan “Tiga Naskah”. Namun usaha Yustinianus ini gagal, karena kaum Monofisit tak mau kembali dan malah menuduh bahwa Iman Kalsedonia ini mengikuti paham Nestorian. Tentu saja hal ini salah paham besar, karena dengan mengutuki pengajaran “Tiga Naskah” yang cenderung mengikuti paham Nestorian, justru untuk membuktikan pada kaum Monofisit bahwa Iman Kalsedonia ini tidaklah sepaham dengan ajaran Nestorian. Dan bahkan ajaran penulis terkenal Origenes juga dikutuk, karena banyak ajarannya sangat tidak Orthodox, misalnya :
mereka mengajarkan bahwa Kristus adalah satu-satunya roh yang diciptakan Allah yang tidak menjadi benda jasmani (bdk. Yoh 1:1-2, 14 Kol 1:15-16), dan roh manusia itu ada dari kekal sebelum menjadi manusia (bdk. kej 1:26-27, 2: 7).
Konsili Keenam (tahun 680-681 Masehi)
Pribadi-pribadi yang penting dalam sidang ini adalah Bapa Gereja Maximos Sang Pengaku Dosa dan Bapa Gereja Martin Patriarkh Gereja Roma saat itu. Sidang ini diadakan di kota Konstantinopel. Tujuan diadakan sidang ini untuk melawan ajaran “Monothelitisme” (Mono = satu, thelima = kehendak), di mana diajarkan bahwa “Kristus hanya mempunyai satu kehendak saja yaitu kehendak Illahi”. Dan para Bapa Gereja melihat ajaran ini sebagai ajaran “Monofitisme” tersembunyi (bdk. Yoh 6:38; Mat 26:39).
Konsili ke Tujuh (Tahun 787 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota Nikea, yang menyatakan bahwa Ikon (Gambar) harus disimpan dan dihormati. Karena Ikon-ikon dalam Gereja itu adalah merupakan refleksi iman Gereja dan itu masih dipegang teguh sampai sekarang dalam Gereja Orthodox atau Rasuliah.
Perlu dicatat bahwa pergolakan Ikonoklasme dimulai oleh Kaisar Byzantium Leo III. Ikon adalah gambar-gambar simbolis mengenai Kristus, IbuNya dan orang-orang kudus milikNya. Asal- usul Ikon dapat ditemukan dalam peninggalan awal dari orang Kristen ketika masih hidup dalam katakombe-katakombe atau bahkan lebih dini lagi, di mana sukar bagi mereka untuk mengaku Iman mereka secara terang-terangan. Maka untuk untuk mengekspresikan Iman Kristen mereka, mereka menggunakan gambar-gambar dan lambang-lambang, dan gambar- gambar semacam inilah disebut Ikon. Gereja Orthodox sebagai kesinambungan Gereja mula-mula, memelihara kebiasaan menggambarkan Iman Kristen dalam wujud simbol- simbol ini, dalam bentuk ikon yang mempunyai arti teologis secara mendalam.
Dengan bangkitnya Islam yang oleh teologinya sangat anti gambar manusia (meskipun menggunakan kaligrafi) terutama pada waktu pemerintahan Kalifah Yazid di Syria yang sezaman dengan Leo, juga oleh pengaruh orang-orang Yahudi, dan pengaruh Filsafat kafir Yunani yang mengatakan bahwa yang jasmani dan yang benda itu buruk, yang baik hanya yang abstrak dalam ide dan kata-kata saja, maka Leo III menyerang Ikon sebagai berhala. Periode ini terkenal sebagai periode pertama Ikonoklasme.
Terkait dengan bahasan mengenai Ikon, Js. Yohanes dari Damaskus, seorang kudus, Bapa Gereja Yunani dan pengarang kidung-kidung Gereja kita dan pengarang buku teologia sistematika Gereja yang disebut “Eksposisi Iman Orthodox”, juga seorang pembela utama Ikon pada 749 menegaskan, bahwa Ikon bukanlah berhala namun simbol.
Dalam Perjanjian Lama memang “patung ukir-ukiran” dilarang (Kel 20:1-5), karena waktu itu Allah menampakkan Diri tanpa wujud yang nyata namun hanya dalam suara saja (Ul 4:12,15-19), sehingga menggambarkan sesuatu yang tanpa wujud adalah sesuatu yang mustahil dan dusta. Namun kalau yang digambar itu bukan Allah serta tak disembah sebagai Allah meskipun itu terletak dalam ruang tersuci dalam tempat Ibadah, yang dengan sendirinya orang akan sujud kalau masuk ke situ, bukan saja tak dilarang malahan diperintahkan (Kel 25: 18-25, 1 Raj 6:23-28, 32-35, 8: 6-8).
Di dalam Yesus , Allah telah menjadi manusia (Yoh 1:14), berarti nampak dan bisa dilihat oleh mata (1 Tim 3:16, l Yoh l :l), dengan demikian bisa digambar. Penampakan sebagai manusia itulah yang digambar, dan bukan Ke- AllahanNya yang tak nampak. Jadi yang digambar bukanlah Allah yang Roh karena itu mustahil, dusta dan dilarang, tetapi kemanusiaanNya, yang adalah mungkin, berguna dan tak dilarang. Jadi bukan berhala, sebagaimana kerubim dalam Perjanjian Lama itu pun bukan berhala. Lagi pula secara ketat yang dilarang adalah “patung”. Ikon itu bukanlah patung tetapi gambar. Maka Ikon meskipun diletakkan pada tempat Ibadah, itu bukanlah berhala, sebagaimana Kerubim dalam Bait Allah itu pun bukan Berhala.
Kalau orang menunduk pada kerubim pada waktu mereka masuk ke Bait Allah, dan tak dianggap berhala, maka mengapa orang yang menghormat gambar Sang Juru Selamat dan orang-orang milikNya yang adalah saudara kita dalam Iman, dianggap menyembah berhala? Berhala adalah menyembah sesuatu yang bukan Allah dan dianggap Allah. Ikon itu bukan gambar Allah, bukan pula disembah sebagai Allah, namun itu adalah gambar kemanusiaan Allah Sang Firman yang menjelma sebagai manusia, agar arti Inkarnasi Sang Sabda secara jasmani itu tak terlupakan. Yang ditekankan dalam teologi Ikon itu adalah realita inkarnasi (menjadi daging) yang betul-betul jasad jasmani. Jadi pergolakkan Ikonoklasme ini adalah pergolakan dari orang-orang yang tak mengerti implikasi Inkarnasi.
Jadi itu bukan semata-mata pergolakan gambar, namun lebih menunjuk pada pergolakan kemanusiaan Kristus dan Kristologis. Dan untuk mentaati larangan tak membuat patung dan ukir-ukiran dan untuk menekankan arti Inkarnasi itulah, Gereja Orthodox melarang menggunakan Patung, tetapi menekankan membuat Ikon, karena Kristuslah Ikon (gambar) Allah itu (Kol 1:15).
Sekian.