Gereja Orthodox senantiasa percaya bahwa Allah itu kasih maka Ia adalah Mahakasih (1 Yoh 4:10), yang mengampuni orang-orang yang berdosa. Maka berdasarkan statement itu dapat dikatakan bahwa pengajaran yang paling baik tentang keselamatan adalah seperti yang disampaikan oleh Bapa Gereja Orthodox, Js. Maximos sang Penyaksi Iman (580-662 M), yang mengatakan bahwa manusia sebenarnya telah kehilangan gambar kemuliaan Allah (Rm 323), manusia telah melenceng dari fithrah azalinya diciptakan (Yunani : hamartia). Dikatakannya bahwa, Ketika manusia tidak taat kepada kehendak asli Allah yang menjadikannya kekal, Allah tidak serta merta memuaskan kehendak-Nya untuk memusnahkan umat manusia dan Kosmos yang telah jatuh oleh penyelewengan Adam. Allah tidak serta merta memusnahkan kosmos, tetapi menciptakan ulang dalam Gereja melalui ketaatan Kristus. Demikianlah Gereja Orthodox menolak keras pemisahan antara ajaran keselamatan dan ajaran ekKlesiologi.
Oleh karena itu gereja orthodox menolak pandangan yang dianggap masih terpenjara dalam kerangka konsep “yuridis’, bahwa kurban salib Kristus sebagai pembayar ganti kejatuhan manusia akibat dosa, sebagai pemuas keadilan ilahi. Sehingga wajah “garang” Allah, selalu dikesankan mengancam setiap orang untuk jangan berbalik dari ketaatannya. Yang terlupa dari pandangan ini adalah ajaran tentang rahmat, dalam hal ini lewat karya tiada akhir dari Kristus yang mengembalikan gambar kemuliaan pada diri manusia.
Pada akhirya bagi iman Orthodox, tetap yakin melalui kehendak bebasnya manusia tetap diberikan pilihan, antara hidup kekal atau kematian kekal. Sehingga hidup kekal dimaksudkan adalah keadaan manusia yang “berlaku” menurut standar ilahi (lewat pengalaman theosis). Sementara kematian kekal dimaksudkan adalah keadaan manusia yang menolak rahmat KASIH Allah, sehingga Kasih itu dirasakannya sebagai panas api murka Allah yaitu Api Neraka.
Gereja Orthodox selalu meletakkan tujuan hidup Kristiani itu sebagai kepercayaan kepada pengembalian fithrah asali manusia yang diciptakan Allah, yaitu kondisi dan situasi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah (Kej 1:26). Karena ketidak-taatan manusia, manusia jatuh dalam dosa, dan akibatnya manusia tidak berpotensi untuk kekal lagi. Manusia didera sakit-penyakit, mengalami ketergantungan peda kebutuhan duniawi-materi (lapar dan haus), merasa khawatir akan hari esoknya (menumpuk kekayaan), dan yang paling utama mengalami kematian itu sendiri (Rm 6:23).
Demikianlah manusia yang telah jatuh itu, yang hanya oleh kesetiaan dan keadilan Allah, berusaha untuk dikembalikan lagi gambar dan rupanya, melalui gambar dan rupa sejati Allah yaitu oleh Yesus Kristus, sebagai Inkarnasi Firman Allah. Melalui contoh dan pengajaran hidup Kristus, dengan model ketaatan-Nya pada kehendak Bapa, yaitu la mau menyerahkan hidup-Nya, melalui kewafatan-Nya di kayu salib dan dengan kebangkitan-Nya setelah tiga hari, Yesus mengalahkan kuasa kematian akibat dosa itu. Serentak dengan dikalahkannya kematian itu, maka Kristus mengembalikan lagi potensi manusia itu untuk hidup kekal.
Potensi adalah sesuatu yang memungkinkan, asalkan dilatih dan diarahkan. Demikian pula potensi hidup kekal itu dapat diarahkan untuk benar-benar hidup kekal. Apa sebenarnya yang menghalangi potensi itu terealisasi? Ialah karena manusia bergantung pada kedagingannya, ia sedemikian terikat dengan hawa nafsu keduniawian sehingga menipiskan dimensi ilahi dalam dirinya.
Tuhan Yesus berkata: “Kerajaan Allah itu ada dalam dirimu’, itu berarti manusia memiliki dimensi Ilahi, dimensi yang mengatasi alam kebendaan, dimensi yang tidak takluk oleh kefanaan, dimensi untuk hidup kekal itu sendiri. Itulah sebabnya Kristus selalu mengatakan jangan mencintai dunia ini, jangan bergantung pada kemegahan semu yang ditawarkannya, dan terutama jangan menyembah Mamon (kekayaan).
Sebaliknya Kristus menekankan latihan rohani, berdoa, berpuasa, berbuat kebaikan dan terutama memperlakukan kasih kepada sesama manusia. Semua hal itu adalah upaya penyangkalan diri, penyangkalan ego, penyangkalan dunia.
Selama kita tidak mengosongkan diri (Yunani : kenosis) maka kita belum siap bagi Kerajaan Allah. Dan karena pengosongan diri dibutuhkan untuk bisa memasuki dan mengambil bagian dalam kodrat Ilahi (Yunani : theosis – 2 Ptr 1:4), maka segala pengajaran Kristus bisa disimpulkan sebagai menemukan kembali gambar dan rupa Allah dalam diri kemanusiaan kita, yaitu mengalami theosis (peng-Iahi-an).
Karena Kristus adalah Inkarnasi Firman Allah (yang Ilahi menjadi Manusia) itu sendiri, maka dengan kemenanganNya dalam merehabilitasi kembali manifestasi-manifestasi kejatuhan kosmos oleh upah dosa umat manusia, maka secara langsung kembalinya gambar dan rupa Allah tadi berdampak langsung pula pada alam kebendaan. Dengan berjayanya dimensi Ilahi sebagaimana yang diperagakan oleh Yesus (yaitu kodrat Kemanusiaan Firman Allah), maka la mengadakan roti sebanyak Ia bisa memberikan makanan pada 5000 orang, la menyembuhkan sakit-penyakit, la mengusir roh-roh jahat dan bahkan yang terbesar ialah Ia mengalahkan kematian itu sendiri. Semua itu bisa juga dilakukan oleh manusia lain, asalkan kita mau menyangkal diri, melatih kedisiplinan rohani (berdoa dan berpuasa), pendek kata melakukan segala sesuatunya untuk memberi diri menjalani hidup asketik.
Sehingga tidak heran dalam Gereja Orthodox tumbuh apa yang dinamakan Spiritualitas Kerahiban (Monastisisme), yaitu suatu jalan untuk mengambil bagian dalam kodrat Ilahi tersebut. Dari biara-biara ini, Gereja Orthodox menghasilkan ribuan orang kudus, yang bisa memperagakan bagaimana wujud dimensi hidup ilahi seperti Kristus itu. Mereka bisa menyembuhkan penyakit, bisa mengusir roh-roh jahat dan bahkan mukjizat terbesar mereka memiliki raga yang melayang ringan seolah-olah seperti malaikat, bahkan bercahaya seperti Kristus sendiri dalam peristiwa Transfigurasi, yaitu memancarkan kemuliaan Allah (Mat 17:2; Mrk 9:2-3 dan Luk 9:29). Inilah yang menjadi dasar teologi adikodrati dalam iman Orthodox, yaitu Hagiology (orang-orang kudus) yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran soteriologi, sakramentologi dan ekklesiologi itu sendiri.
Iman Orthodox tidak menyembah orang-orang kudus, tetapi meneladani contoh hidup orang orang itu sebagaimana mereka telah meneladani Kristus sendiri.
Oleh : Romo John Whiteford, diambil dari buku “Tanggapan terhadap Sola Scriptura” (2001)
Keterangan gambar : Icon Js Maximos, sang pengaku iman