
Hari ini, umat Kristen Orthodox memulai kembali sebuah perjalanan spiritual dengan memasuki masa puasa pra-Paskah atau yang lebih dikenal di kalangan umat Orthodox Indonesia dengan nama Puasa Agung Catur Dasa atau puasa 40 hari yang kemudian akan dilanjutkan lagi dengan Puasa Pekan Kudus pada minggu terakhir jelang hari raya Paskah.
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengingat kembali dan merefleksi makna puasa dan pentingnya puasa bagi kehidupan spiritual kita. Harapan saya tidak muluk-muluk, cukuplah agar kita semua dikuatkan dan dimampukan oleh Tuhan untuk menjalani masa puasa ini dengan berserah penuh kepada pemeliharaan-Nya. Kasih karunia-Nya cukup bagi kita!
Jika kita mengingat kembali kisah Transfigurasi dalam Matius 17:1-13, Markus 9:2-13, dan Lukas 9:28-36 kita tentu bisa membayangkan tiga sosok yang diselimuti awan dan cahaya gemilang: Yesus, Musa, dan Elia. Lalu apa kaitannya dengan puasa? Ada. Ketiga orang inilah contoh para pelaku puasa yang paripurna sebab ketiganya masing-masing telah berpuasa selama 40 hari 40 malam. Tuhan Yesus Kristus dalam Matius 4:2, Musa dalam Keluaran 34:28, dan Elia dalam 1 Raja-raja 19:9.
Dibalik pemandangan mulia peristiwa Transfigurasi di Gunung Tabor sesungguhnya terkandung sebuah pesan yaitu, dengan menguasai yang jasmani melalui puasa, yang rohani akan nampak, dan tubuhpun akan terubah-muliakan. Tuhan Yesus memilih dua orang pelaku puasa untuk bersama-Nya pada peristiwa agung ini.
Sesungguhnya, puasa adalah salah satu dari perintah-perintah tertua Allah ketika Ia memerintahkan leluhur umat manusia, Adam, untuk menahan diri dari memakan buah tertentu dari pohon tertentu (Kej 2:16-17), tetapi mengizinkannya untuk memakan buah-buahan lainnya. Dengan cara ini Allah menetapkan batasan-batasan tertentu bagi tubuh, di mana tubuh itu sendiri tidak boleh melampauinya. Dengan demikian, manusia tidak memiliki kebebasan penuh untuk mengambil apa saja yang dilihat matanya dan diinginkan hatinya. Ia haruslah menahan diri dari hal-hal tertentu dan mengendalikan kecenderungannya terhadap hal-hal yang demikian. Sebuah pohon bisa saja “…baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya…” (Kej 3:6) namun tetap saja manusia harus menahan diri daripadanya.
Dengan berpuasa, manusia sesungguhnya sedang menaikkan derajatnya melampaui kejasmanian dan kebendaan belaka. Inilah hikmat dan makrifat dibalik puasa. Seandainya saja manusia pertama berhasil menaklukkan keinginan tubuhnya untuk makan dan berhasil mengendalikan indranya yang melihat buah itu sebagai sesuatu yang sedap kelihatannya, maka akan terbukti bahwa jiwanya telah berhasil mengalahkan keinginan tubuhnya dan ia akan dianggap layak untuk menyantap buah Pohon Kehidupan. Namun demikian, nyatalah bahwa keinginan tubuhnya mengalahkan dia, dan mendominasi dirinya sehingga manusia jatuh ke dalam melakukan berbagai-bagai dosa lainnya, satu demi satu, hingga akhirnya ia “…hidup menurut daging, bukan menurut Roh…” (bdk Roma 8:4-6).
Hingga akhirnya, datanglah Tuhan Yesus Kristus, untuk memulihkan manusia kepada kodratnya yang semula, mengembalikan manusia kepada “fitrah”nya. Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa dengan memakan buah terlarang demi mengikuti kehendak jasmaninya dan godaan Iblis, kemenangan Kristus yang pertama atas pencobaan juga ditujukan secara khusus untuk hal ini, untuk menaklukkan keinginan atas makanan secara umum, dan atas hal-hal lainnya yang membelenggu manusia.
Kristus memulai karya pelayanan-Nya dengan berpuasa, menolak godaan Iblis untuk memberi makan diri-Nya sendiri. Kristus menunjukkan kepada Iblis bahwa manusia bukan sekedar tubuh saja tetapi juga jiwa yang diberi makan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah. “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4).
Bahwa “manusia itu hidup bukan dari roti saja tetapi dari segala yang diucapkan Tuhan”, tentulah bukan suatu pernyataan yang baru muncul di Perjanjian Baru, melainkan sebuah pernyataan spiritual tua yang diberikan kepada manusia dalam hukum tertulis yang pertama (bdk. Ul 8:3).
Oleh sebab itu tidak heran kalau para nabi dalam Perjanjian Lama itu berpuasa. Nabi dan Raja Daud berkata: “aku menyiksa diriku dengan berpuasa” (Maz 35:13); “aku meremukkan diriku dengan berpuasa” (Maz 69:10); “lututku melentuk oleh sebab berpuasa” (Maz 109:24), bahkan ia berpuasa ketika anaknya sakit dan “memohon kepada Allah oleh karena anak itu” dan “semalam-malaman berbaring di tanah” (2 Sam 12:16). Nabi Daniel juga berpuasa (Dan 9:3), demikian juga Nabi Yehezkiel (Yeh 4:9). Nehemia berpuasa ketika ia mendengar bahwa tembok Yerusalem sudah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar (Neh 1:3-4), begitu juga Ezra, imam dan ahli kitab itu berpuasa dan mengajak seluruh rakyat turut serta berpuasa (Ezr 8:21). Nabiah Hana dalam Lukas 2:37 “tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa”.
Bagaimana dengan Para Rasul? Apakah mereka berpuasa? Tentu saja. Sebagaimana Kristus berpuasa, demikian juga Para Rasul demi menggenapi perkataan Kristus: ”…waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa” (Mat 9:15). Demikianlah, Puasa Para Rasul merupakan puasa Kristen tertua dan yang paling pertama dipraktekkan oleh Gereja Kristen.
Ketika Rasul Petrus berpuasa dan menjadi sangat lapar sehingga ia benar-benar ingin makan (Kis 10:10), ia memperoleh penglihatan tentang diterimanya bangsa-bangsa non-Yahudi sebagai umat Allah. Hal ini dinyatakan kepadanya ketika ia sedang berpuasa menggumuli persoalan tersebut. Dalam pelayanannya kepada Tuhan, Rasul Paulus berkata: “…dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa…” (2 Kor 6:5) dan “…kerap kali aku berpuasa…” (2 Kor 11:7). Ia juga berpuasa bersama-sama dengan Barnabas (lih. Kis 14:23). Dan ketika Para Rasul berpuasa, Roh Kudus berbicara kepada mereka (Kis 13:2-3). Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kepada Para Rasul mengenai puasa dan faedahnya dalam pengusiran roh-roh jahat: “…jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” (Mat 17:21).
Puasa juga tidak hanya bersifat personal dan individual melainkan juga bisa bersifat kolektif. Jangankan hanya 1 jemaat/ parokia, 1 RT, 1 kecamatan, bahkan 1 bangsa pun bisa. Dalam puasa bersama, hati umat berpadu untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Ada banyak contoh dalam Alkitab di mana orang-orang menyatukan hati berpuasa bersama demi memohon belas kasihan Allah. Dalam Kitab Ester misalnya, orang-orang Yahudi berpuasa secara bersama bahkan sampai membentangkan kain kabung dengan abu sebagai alas tidur (Ester 4:3, 16). Juga pada zaman Ezra, orang-orang “berpuasa bareng” di tepi sungai Ahawa (Ezra 8:21). Demikian juga dengan Nehemia, mereka berkumpul dan berpuasa dengan mengenakan kain kabung plus tanah di atas kepala (Neh 9:1). Pada zaman Yosafat, seluruh bangsa Yehuda juga berpuasa bersama (2 Taw 20: 3), begitu juga pada zaman Nabi Yoel (Yoel 2:12). Bahkan di kalangan orang Israel ada jadwal puasa kolektif: puasa bulan keempat, bulan kelima, bulan ketujuh, dan bulan kesepuluh (Zakh 8:19).
Dan puasa berjamaah semacam ini juga bukan hal yang asing bagi agama bangsa-bangsa bukan Yahudi misalnya, penduduk Niniwe (Yunus 3) yang berpuasa massal hingga Allah menerima puasa mereka dan mengampuni dosa mereka. Raja Darius juga (yang notabene bukan seorang Israel) ketika diperhadapkan dengan dilema Daniel di gua singa (Dan 6:18), “berpuasa semalam-malaman”.
Singkatnya, laku puasa dikenal dalam berbagai agama dan bahkan dalam aliran-aliran kepercayaan yang tidak masuk dalam kategori agama “resmi”. Ini mengindikasikan bahwa puasa telah dikenal jauh sebelum terbentuknya dan tersebarnya agama-agama. Bagi yang pernah membaca literatur-literatur mengenai agama Buddha, Hindu, Konghucu, dan agama-agama Timur lainnya tentu akan menemukan bahwa bagi para penganut ajaran tersebut puasa merupakan suatu bentuk latihan bagi tubuh dan jiwa.
Contoh yang paling mudah diingat di zaman modern mungkin adalah Mahatma Gandhi, tokoh terkenal asal India yang dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan tidak ingin menggunakan kekerasan. Puasa merupakan salah satu laku “signature” Gandhi, apalagi jika sedang diperhadapkan dengan persoalan yang pelik.
Jadi, jika bagi mereka yang berada “di luar Kristus” saja puasa (dalam pemahaman dan praktek mereka sendiri) menjadi sesuatu yang begitu penting, apalagi bagi mereka yang sudah “mengenakan Kristus” (Gal 3:27). Bukankah “barangsiapa yang mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup?” (bdk. 1 Yoh 2:6).
Kyrie Eleison!
Makassar, 28 Feb(NS)/15 Feb (OS) 2023
Oleh: Romo Gregorius