Dua Mahkota Sembahyang: Petang dan Pagi

PENGGUNAAN KANDIL BERCABANG TUJUH (MENORAH) DAN UKUPAN (DUPA) INI TIDAK PERNAH DIBATALKAN DALAM PERJANJIAN BARU, DALAM KITAB DAN SURAT APAPUN

Bapa Gereja Js. Basilius Agung (329–379 M) dalam tulisannya yang berjudul “Peraturan Panjang,” menulis bahwa:

“Janganlah kita mengira bahwa karena kita diperintahkan untuk memuji Tuhan di segala waktu (bandingkan Mazmur 34:2) lalu kita mengabaikan waktu-waktu sembahyang yang telah ditetapkan dahulu.”

Dalam Gereja Timur memang dibedakan antara istilah sembahyang dan doa. Sembahyang merupakan suatu ibadah kepada Allah yang disertai waktu tertentu, gerak tubuh tertentu, serta isi doa-doa yang dirumuskan dengan urutan yang telah ditentukan, sedangkan doa adalah kata-kata spontan langsung yang diucapkan dalam permohonan kepada Allah, seperti yang umum dilakukan oleh Gereja-gereja modern.

Namun dalam realitanya, seringkali kaum Kristen modern menolak bahkan melecehkan doa-doa yang dirumuskan, dengan alasan yang beraneka ragam. Menurut van Olst, pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern.

Mengenai sembahyang kita mengenal sembahyang tujuh waktu, tetapi pada saat ini kita hanya akan membahas dua sembahyang: petang dan pagi sebagai “mahkota sembahyang.”

Sembahyang di waktu petang atau sembahyang senja (Yunani: esperinos, Latin: vesperus), yang dilakukan pada saat senja, menjelang matahari terbenam, sekitar pukul 6 petang. Sembahyang senja merupakan sembahyang pertama dalam lingkaran harian Gereja Orthodox, karena perhitungan hari dalam sistem perhitungan waktu Gereja Orthodox dimulai pada saat senja hari, melanjutkan hal yang sama juga terdapat dalam agama Yahudi.

Pada saat senja setiap orang Kristen diajak untuk bersyukur atas apa yang dikaruniakan Allah selama satu hari dan mengakui segala dosa dan pelanggaran yang diperbuat, dan memohon pengampunan dan belas kasihan Allah atas dosa-dosa melalui doa yang dipanjatkan. Selain itu, sembahyang senja juga mengingatkan kepada manusia akan diturunkannya tubuh Kristus dari kayu salib, dikafani dan dibaringkan serta diberinya rempah-rempah wangi. Sembahyang senja ini meneruskan dari kebiasaan agama Yahudi. Saat petang ini mengingatkan kita atas korban Kristus di atas salib dan sebelum Ia mati, ia mengatakan: “Sudah selesai!” Kata “sudah selesai” ini dalam bahasa Ibrani adalah tam ve’nishlam, yang merupakan kutipan dari doa Ibrani. Yaitu saat di mana Anak Domba Paskah disembelih oleh imam besar Yahudi (Keluaran 12:6) pada waktu petang, dan ketika penyembelihan itu, imam besar akan berkata: “Tam ve’nishlam shevach la’El boreh olam” yang artinya: “Sudah selesai dan telah genaplah, terpujilah Allah Sang Pencipta Dunia!”

Dengan demikian Yesus telah menyatakan bahwa Ia telah memenuhi rencana Allah yang dinyatakan dalam kitab Taurat, Mazmur dan kitab Para Nabi tentang penebusan dan korban keselamatan yang menjadi korban dan persembahan yang sempurna yang tidak pernah dapat dipenuhi oleh sistem korban atau amal-ibadah jenis apapun. Sesuai nubuatan Taurat, Mazmur dan kitab Para Nabi inilah, Ia telah menjadi korban sekaligus imam yang mempersembahkan korban itu. Inilah yang dimaksudkan dalam surat Ibrani, dan pemahaman yang sama diteruskan Gereja Timur dalam liturginya dengan ungkapan: “Yang mempersembahkan dan dipersembahkan dari semua dan oleh semua.” Jadi saat matahari terbenam ini, sembahyang yang kita lakukan bermakna KEMATIAN.

Sembahyang di waktu pagi atau sembahyang singsing fajar (Yunani: orthros, Latin: laudes matitunae) mengingatkan umat bahwa pada saat pagi-pagi buta, Tuhan Yesus bangkit dari kematian, dan umat bersyukur dan memuliakan Allah pada waktu pagi, serta menyerahkan dan memusatkan pikiran dan hati kita untuk memulai pekerjaan kita kepada Allah. Ada banyak di antara kita, yang ketika kita tidur (mati di waktu malam) pada akhirnya tidak bangun lagi. Karena itulah kita bersyukur atas “kebangkitan” yang kita terima selama kita “mati” semalam. Sembahyang di waktu pagi ini meneruskan dari kebiasaan agama Yahudi . Saat fajar menyingsing ini, sembahyang yang kita lakukan bermakna KEBANGKITAN.

Jadi sembahyang senja dan singsing fajar bermakna kematian dan kebangkitan, sebagaimana yang diajarkan oleh Js. Klemens dari Roma. Kematian ini menurut Js. Profyrios adalah

“jembatan yang membawa kita kepada Kristus; segera setelah kita menutup mata jasmani, kita membuka mata rohani dalam kekekalan, dan menghadap Kristus, dan di kehidupan selanjutnya, kita akan mengalami kasih karunia Allah dengan lebih banyak lagi.”

Saat senja, kita berdoa kepada Allah untuk menjaga kita saat kita “mati,” karena itu kita mengucapkan doa:

“Pada waktu petang, pagi dan tengah hari kami memuji-Mu, kami haturkan berkat bagi-Mu, kami bersyukur dan berdoa kepada-Mu, Tuhan Sang Pengasih manusia. Arahkanlah doa kami sebagai dupa di hadapan-Mu, agar hati dan pikiran kami tidak condong kepada perkataan dan pikiran serta angan-angan yang jahat, tetapi lepaskanlah kami dari apapun yang mencelakakan jiwa kami, karena kepada-Mu, ya Tuhan, Allah kami, kami berharap. Janganlah permalukan kami, ya Allah.”

Setelah matahari terbenam, hingga fajar menyingsing, kita berada dalam keadaan “berjaga-jaga.” Berjaga-jaga bukanlah suatu istilah yang diada-adakan oleh Gereja Timur untuk menyebut saat malam. Banyak sekali kita membaca dalam kitab suci mengenai saat malam, sebagai contoh gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh saat menyongsong pengantin di tengah malam, atau pada saat Yesus berdoa di taman Getsemani pada saat malam dan Ia mendapati ketiga murid sedang tertidur nyenyak.

Saat malam memiliki pemaknaan tersendiri dalam Gereja Timur. Tengah malam adalah puncak kegelapan pada waktu malam, sebagaimana yang dimengerti dalam budaya Semitik Yahudi dan dilanjutkan oleh Kekristenan Timur. Setelah matahari terbenam adalah saat di mana kegelapan “menggantikan” terang di siang hari, simbol kuasa kegelapan dan penguasa kegelapan dimulai. Karena itulah saat matahari terbenam umat Kristen berdoa memanjatkan kidung senja kepada Allah dan memohon syafaat dari semua umat beriman, baik yang masih hidup di bumi maupun mereka yang berada di Firdaus, agar Allah menjaga malam hari dari gangguan setan dan para malaikat kegelapan, yang berusaha melemahkan iman dan menebar ketakutan kepada umat, baik dalam pikiran-akal, telinga (suara-suara aneh) dan penglihatan (penampakan gaib). Pada waktu malam marilah kita tetap berdoa dan selalu mendaraskan doa: “Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” sebelum kita tertidur, agar Allah menolong, menyelamatkan, mengasihani, dan melindungi kita.

Dan pada waktu pagi kita dibangkitkan kembali dari “kematian” yaitu saat kita tidur. Kita bangun dan kita mengucap syukur kepada Allah atas “kebangkitan” ini. Baik kematian dan kebangkitan yang kita rayakan secara simbolik dalam sembahyang ini, kita juga menghidupinya dalam kehidupan Gereja, yang dimulai dari baptisan, krisma dan ekaristi atau perjamuan Tuhan, yang akan tergenapi secara penuh pada saat Kristus datang kali kedua. Selain itu dalam sembahyang senja dan fajar, pesan yang disampaikan adalah berita injil yaitu:

“Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan (dari kematian), maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Korintus 15:17).

Referensi:

  • _____, Divine Praises in Aramaic Tradition, Kerala 2011.
  • _____, Horologion: Buku Ibadat dan Doa Harian Umat Ortodoks, Jakarta 2006.
  • Daniel Bambang Dwi Byantoro, Presbiter, Apa dan Bagaimana Iman Orthodox, 1989.
  • E.H. van Olst, Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
  • Geoff Barnard, Face to Face, 2017.
  • Gregory W. Woolfenden, Daily Liturgical Prayer: Origins and Theology, 2004.
  • Matius Bambang Wahyu Budiharjo, Presbiter, Liturgikon: Buku Ibadah-ibadah Kudus bagi Presbiter dan Diaken, Jakarta, 2004.

Sumber : ST. NICHOLAS OF MYRA ORTHODOX COMMUNITY OF SURABAYA

Laman: 1 2

Related Posts