Itulah sayangnya, meskipun perjamuan kawin telah tersedia (Mat. 11: 8), karena Kristus telah memungkinkan manusia manunggal dengan Allah melalui Roh Kudus sebagai akibat dari Kebangkitan-Nya dan Kenaikan-Nya, namun nyatanya “orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu”. Orang Yahudi yang telah diundang melalui para Nabi menolaknya, orang Kristen yang telah menerima undangan untuk manunggal melalui baptisan dan krisma sering tidak peduli akan rahmat yang diterimanya melalui kedua sakramen tadi. Banyak orang menjadi Kristen hanya karena faktor keturunan dan budaya. Kristennya bukan Kristen karena iman pribadi, namun Kristennya hanya Kristen KTP. Orang-orang yang demikian inilah yang tidak layak untuk undangan tadi.
Kekristenan formalitas saja tidak membawa orang mengalami Perjamuan Kawin dari Putra Sang Raja ini. Padahal Sang Raja ingin ruang Perhelatan Perjamuan kawin itu “penuh dengan tamu” (Mat. 22:10), artinya terbuka untuk sebanyak-banyaknya orang, karena rahmat itu terbuka untuk semua manusia.
Namun ternyata mereka yang secara formal diundang justru yang tidak layak menghadiri Perjamuan kawin, karena mereka inilah yang lebih mementingkan perkara duniawi, dan mengabaikan kebenaran dan membunuh kebenaran itu dalam hati mereka. Sehingga Allah berkarya dengan caranya sendiri. Justru orang-orang yang berada di “persimpangan-persimpangan jalan” serta “setiap orang yang kamu jumpai di sana” (Mat. 22:9) itulah yang diundang. Artinya mereka ini bukan orang secara formal mengaku dirinya orang beriman, justru mereka adalah orang yang tak diperhitungkan, yang ada di luar pemikiran orang beriman. Tetapi justru orang-orang yang demikian ini yang diperhatikan Allah, jika orang beriman sendiri tidak mau hidup mengikuti panggilannya agar layak bagi Perjamuan Kawin dari Anak Sang Raja itu.
Orang-orang beriman seperti ini adalah sama seperti umat Yahudi yang merasa aman karena telah menjadi keturunan Abraham, dan oleh karena itu mereka merasa pasti akan sampai kepada Kerajaan Allah, namun Kitab Suci mengatakan: “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: “Allah tidak dapat menjadi anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” (Mat 3:9). Kalau dari “batu-batu” saja Allah dapat membuat anak-anak bagi Abraham, demikianlah dari orang-orang yang berada di “persimpangan-persimpangan jalan” itu pun Allah mampu mengundang mereka ke dalam Pesta Perkawinan Putera Sang Raja. Inilah yang harus membuat kita serius berpikir dan berusaha lebih sungguh-sungguh untuk kelayakan diri kita sendiri bagi Kerajaan Allah.
Namun tidak berarti bahwa orang yang dipanggil di luar dari orang beriman itu juga berhasil untuk membuat diri mereka layak, sebab ternyata dari orang-orang yang dipanggil itu terdapat “orang-orang jahat dan orang-orang baik” sampai “penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu” (Mat. 22: 10). Orang-orang yang jahat ini pasti juga tidak layak untuk Kerajaan Allah kalau mereka tidak mengubah cara hidupnya. Sebab ada orang yang berasal dari luar awalnya dipanggil dan telah terlanjur disanjung-sanjung ke sana kemari tetapi ternyata dalam hatinya punya motivasi jahat, menipu orang beriman agar mendapatkan popularitas dan bantuan keuangan. Pastilah orang yang demikian ini tidak akan layak bagi Kerajaan Allah. Allah tidak membutuhkan penuhnya ruangan perjamuan kawin, kalau yang berada di ruangan perjamuan kawin itu tidak layak. Bukan hanya jumlah yang dipentingkan Allah, namun mutu dan kualitas kehidupan dan iman dari orang yang dipanggil tadilah yang lebih penting.
Semua harus mengenakan “pakaian pesta” yaitu “perhiasan kekudusan” (1 Yoh. 3: 3), jikalau ingin masuk ke dalam Perjamuan Kawin Anak Sang Raja (Mat. 22: 11). Kita semua yang telah diundang, baik secara formal maupun yang secara tiba-tiba mendapatkan rahmat Allah karena tadinya berada di luar, harus siap untuk mengubah hidup kita dan “mengenakan Kristus” (Gal. 3: 27), yaitu pakaian pesta, yang adalah berpakaian Kristus, yakni pakaian kekudusan, kerendahan hati, cinta kasih dan iman.
Sebab kalau kita tidak mengenakan pakaian pesta itu, meskipun kita telah berada dalam Ruangan Perjamuan, kita tetap akan ditanya (Mat. 22: 12) mengenai pakaian yaitu perhiasan hidup yang berwujud tingkah laku kita yang sesuai dengan panggilan pada hari pengadilan nanti. Sebab kita semua harus menghadap Takhta Pengadilan Kristus itu (2 Kor. 5: 10). Dan jikalau kita tak berhiaskan pakaian pesta yaitu berhiaskan hidup Kristus, maka pada saat Hari Pertanyaan atau Hari Pengadilan itu, hal yang menakutkan akan terjadi yaitu kita akan “diam saja” (Mat 22: 12) artinya kita tak akan dapat memberikan pertanggungjawaban yang baik atas hidup. Akibatnya adalah kengerian besar yang akan kita terima karena Allah akan mengatakan kepada para malaikat: “Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat. 11: 13).
Tetapi sama seperti yang dikatakan Rasul Paulus terhadap umat di Korintus, bahwa “sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu” (2 Kor 1: 23), demikianlah Allah “tidak datang” dalam pengadilan-Nya pada saat ini adalah untuk menyayangkan kita, dan memberi kesempatan kepada kita untuk memohon kepada Allah agar dimampukan untuk menjadi layak bagi Kerajaan-Nya melalui cinta kasih kita dan iman yang mendalam kepada Allah yang diwujudkan dalam ketaatan.
Karena ketaatan itu tidak dapat dipaksakan, sama seperti apa yang dikatakan Rasul Paulus “Bukan karena kami kamu memerintahkan apa yang harus kamu percayai” (2 Kor. 1: 24), Allah pun tidak memaksa apa yang harus kita percayai dalam ketaatan. Kita sendiri harus dengan sukarela dan kesadaran menanggapi ajakan Allah dan panggilan-Nya untuk mempersiapkan pakaian pesta, agar kita layak untuk masuk dalam Perjamuan Kawin Anak Sang Raja. Selanjutnya Rasul Paulus mengatakan: “Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu”, demikian juga Allah turut bekerja sama menolong kehendak kita untuk mengerjakan kehendak-Nya di dalam kita melalui energi Ilahi-Nya agar kita layak bagi Kerajaan-Nya, sebagaimana dikatakan: “…kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar… karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2: 12-13).
Juga sama seperti Rasul Paulus telah “mengambil keputusan di dalam hatiku” untuk “tidak akan datang lagi kepadamu dalam dukacita” (2 Kor 2: 1) demikianlah peringatan keras dan menakutkan dari bacaan Injil ini bukan dimaksudkan Allah untuk membuat kita bersedih dan berdukacita seolah-olah semuanya sudah merupakan jalan buntu, karena mendukakan hati kita sehingga putus asa itu bukanlah tujuan berita Injil (2 Kor. 2: 2). Namun justru sama seperti kata Rausl Paulus “maksud suratku ini” adalah “supaya jika aku datang, jangan aku berdukacita oleh mereka, yang harus membuat aku menjadi gembira” (2Kor 2: 3).
Demikianlah maksud semua peringatan-peringatan dalam Kitab Suci untuk mempersiapkan kita, agar kalau Kristus datang jangan kita menjadi dukacita hati Kristus, karena kita terhilang dalam siksa, namun justru menggembirakan hati Kristus karena kita akan berada bersama-sama dengan Dia kekal selamanya, dalam kebahagiaan ilahi yang abadi. Sebab jikalau kita manunggal dengan sukacita Kristus, yaitu sukacita panunggalan Perjamuan Perkawinan Putera Sang Raja, maka kita ikut ambil bagian dalam sukacita itu, sebab sama seperti kata Paulus “sukacitaku adalah juga sukacitamu” (2 Kor 2: 3), demikianlah sukacita ilahi di dalam Kristus adalah sukacita kekal kita juga.
Demikianlah melalui Rasul Paulus yang mengatakan “Aku menulis kepada kamu dengan hati yang sangat cemas dan sesak dan dengan mencucurkan banyak air mata, bukan supaya kamu bersedih hati, tetapi supaya kamu tahu betapa besarnya kasihku kepada kamu semua” (2 Kor 2: 4), Allah ingin mengingatkan bahwa Ia memperingatkan kita dengan ancaman dan peringatan dalam tulisan-tulisan yang termuat dalam Ktab Suci itu bukan karena berasal dari rasa benci namun timbul dari kepedihan hati seorang Bapa yang “dengan hati yang sangat cemas dan sesak dan dengan mencucurkan banyak air mata”, bukan supaya kita bersedih dan ketakutan, namun supaya kita “tahu betapa besarnya kasihku kepada kamu semua.”
Jadi karena kasih itulah Allah memperingatkan kita, karena Ia tak ingin kita terjerumus ke dalam “kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi”.
Pertanyaannya: Layakkah kita bagi kasih sebesar itu? Tak seorang pun yang layak untuk itu. Namun dalam kasih itu kita akan dilayakkan untuk dapat menerima kasih tadi, asal kita mau dalam ketaatan membuat diri kita layak bagi Allah.
Jangan kita puas hanya menjadi orang-orang “yang dipanggil” yaitu orang-orang yang secara formal telah mendapat undangan saja, karena banyak orang seperti itu, namun akhirnya terbukti tidak layak, karena tak mengenakan “pakaian pesta”, tetapi jadilah juga sebagai orang-orang “yang dipilih (Mat. 22: 14) yaitu yang mengenakan pakaian pesta, baik sebagai orang-orang yang telah menerima undangan secara formal mau pun sebagai yang berasal dari orang-orang di persimpangan jalan, melalui ketaatan, iman dan kasih kepada Allah dalam hiasan kekudusan hidup.
Marilah kita selalu memohon kepada Dia yang melayakkan kita bagi Kerajaan-Nya: “Layakkan aku bagi Kerajaan-Mu!” Amin!
.
Tamat
.
.