PUASA AGUNG CATUR DASA: DARI MANA ASAL-USULNYA?

Sebelum lebih jauh membicarakan tahapan-tahapan dalam masa Puasa Agung Catur Dasa, alangkah baiknya jika kita terlebih dulu melihat asal-muasal dan perkembangan puasa pra-Paskah ini.

Puasa Agung Catur Dasa sebagaimana yang kita kenal saat ini merupakan buah dari suatu perkembangan historis yang panjang dan luarbiasa kompleks, dan ada begitu banyak aspek yang memerlukan kajian yang lebih komprehensif. Mari kita cermati secara singkat bentuk awal dan perkembangan-perkembangan bentuk puasa agung ini hingga sekarang.

Perlu diketahui bahwa pada sekitar pertengahan abad ke-2, Gereja hanya mengenal suatu puasa singkat sebelum perayaan Paskah, dan bahkan puasa tersebut dilaksanakan secara berbeda-beda di berbagai tempat. Terkait perbedaan-perbedaan ini, Js Irenaeus dari Lyon menulis bahwa kontroversi semacam ini “bukan hanya terkait harinya saja, tetapi juga terkait dengan sifat atau karakteristik dari puasa tersebut; sebab menurut sebagian orang mereka hanya perlu berpuasa sehari, yang lainnya dua hari, dan yang lainnya lagi lebih dari itu; sebagian lagi berpendapat bahwa satu hari puasa adalah setara empat puluh jam, siang dan malam. Dan perbedaan pelaksanaan semacam ini tidak dimulai di masa kita, melainkan lebih awal, di masa para pendahulu kita”, sebagaimana dikutip dalam Sejarah Gereja karangan Eusebius dari Kaisarea. Pendapat lain yang senada dengan itu juga terdapat dalam tulisan Hippolitus dari Roma tentang Tradisi Rasuliah, serta tulisan Tertullianus mengenai baptisan.

Seabad kemudian, bukti-bukti menunjukkan bahwa pelaksanaan puasa pra Paskah ini telah mengalami perkembangan, setidaknya di beberapa daerah, menjadi seminggu penuh yang dikenal dengan istilah Pekan Kudus (yang tetap kita pakai sampai hari ini). Di dalam Didascalia Apostolorum pasal XXI kita bisa menemukan petunjuk berikut: “…demikianlah, kamu harus berpuasa pada masa Paskah mulai dari hari kedua setiap minggu (yaitu Senin), dan engkau harus bertahan hanya dengan roti, garam, dan air hingga jam kesembilan sampai dengan hari kelima (yaitu Kamis)… tetapi pada hari Jumat dan Sabtu berpuasalah penuh dan jangan makan apapun”.

A. Allan Mc Arthur dalam bukunya The Evolution of the Christian Year menjelaskan bahwa ada suatu jeda waktu sekitar tiga perempat abad, sebelum adanya informasi-informasi paling awal terkait pelaksanaan puasa pra-Paskah selama 40 hari. Dalam kanon ke-5 dari Konsili Ekumenis I di Nikea juga diperoleh informasi mengenai suatu masa puasa menjelang Paskah, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan puasa pra-Paskah ini bukanlah suatu inovasi baru, melainkan sesuatu yang sudah biasa dilakukan.

Kapan, di mana, dan bagaimana kemudian puasa pra Paskah awal yang hanya berdurasi 2 sampai 6 hari itu berkembang hingga menjadi 40 hari? Para ahli liturgi Gereja memiliki dua pendapat berbeda terkait hal ini. Menurut sebagian, bentuk puasa pra Paskah yang ada sekarang merupakan hasil penggabungan antara puasa pra Paskah yang sudah dijelaskan di atas dengan suatu puasa lain yang pada awalnya bukan merupakan bagian dari masa Paskah, melainkan untuk memperingati puasa Kristus di padang gurun setelah baptisan-Nya. Sehingga puasa ini tidak terhubung dengan perayaan Paskah, namun dengan perayaan Epifani, sehingga mulai dilaksanakan tanggal 7 Januari. Penggabungan antara kedua puasa ini sendiri terjadi akibat pengaruh dari praktek pembaptisan para katekumen sebelum Paskah. Pendapat yang lain menyatakan bahwa puasa 40 hari tersebut merupakan suatu ekstensi progresif dari puasa pra Paskah yang terkait dengan masa katekumenat dari mereka yang akan dibaptis.

Apapun itu, pada abad ke-4 dan ke-5, puasa pra Paskah telah dikenal dengan nama Catur Dasa (40 Hari) atau Quadragesima (Latin) atau Tessarakosti (Yunani) dan telah menjadi suatu ketetapan yang diakui secara universal. Namun, pada abad ke-5 ternyata ada perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam pelaksanaan puasa Catur Dasa ini sebagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan-sejarawan Gereja seperti Socrates dan Sozomenos. Socrates misalnya, mengungkapkan bahwa “Puasa menjelang Paskah, dilaksanakan secara berbeda di berbagai tempat. Di Roma, orang berpuasa selama 3 minggu tanpa putus kecuali pada hari Sabtu dan Minggu, sementara di Illyricum, Yunani, dan Aleksandria, orang berpuasa selama 6 minggu sebelum Paskah dan ini disebut Catur Dasa; ada juga mereka yang berpuasa selama 7 minggu sebelum perayaan Paskah” (Socrates, Historia Ecclesia, 5,22).

Sozomenos yang lebih muda dari Socrates juga melaporkan hal serupa “Puasa sebelum Paskah yang disebut Catur Dasa, sebagian orang melaksanakannya selama 6 minggu yaitu di Illyricum, dan orang-orang Kristen lain di Barat, Libya, Mesir, dan Palestina, tetapi yang lain melaksanakannya selama 7 minggu yaitu para penduduk Konstantinopel dan wilayahnya… Selama 6 minggu atau lebih ini, sebagian berpuasa selama 3 minggu dengan jeda, sebagian selama 3 minggu penuh sebelum Paskah, dan sebagian lagi -yaitu kaum Montanis-hanya selama 2 minggu” (Sozomen, Historia Ecclesia, 7,19). Nampaknya perbedaan-perbedaan ini terjadi karena variasi pemahaman mengenai “40 Hari” tersebut. Apakah termasuk Pekan Kudus yang kita tahu sudah lebih dulu ada sebelum munculnya model puasa 40 hari dan yang memang awalnya terpisah dengan itu? Ataukah Sabtu dan Minggu yang secara tradisi telah diterima bersama sebagai hari non-puasa juga termasuk? Menurut catatan Peregrinatio Etheriae (catatan perjalanan seorang biarawati Eropa ke Timur Tengah pada sekitar akhir abad ke-4) di Yerusalem pelaksanaan Catur Dasa memasukkan Pekan Kudus tetapi mengeluarkan hari-hari Sabtu dan Minggu.

Jadi Catur Dasa terdiri dari 8 minggu yang masing-masing terdiri dari 5 hari puasa sehingga tepat 40 hari. Jadi istilah Catur Dasa benar-benar bermakna 40 hari puasa. Praktek yang sama juga dibuktikan oleh Epifanius di Siprus dan Js. Yohanes Khrisostomos di Antiokhia pada tahun 387. Sebaliknya, di Konstantinopel, sebagaimana juga di Mesir dan di Barat, Catur Dasa lebih bermakna sebagi suatu masa persiapan di mana seseorang berpuasa selama 5 hari dalam seminggu, tetapi yang juga dalam kapasitasnya sebagai masa liturgis memasukkan 2 hari dalam seminggu untuk merayakan Ekaristi. Dalam salah satu dari Surat-surat Perayaan (Festal Letters)nya, khususnya Surat Perayaan tahun 330, Js. Athanasius dari Aleksandria berbicara mengenai masa Catur Dasa dan puasa Pekan Kudus.

Jadi di Konstantinopel, Catur Dasa termasuk hari-hari Sabtu dan Minggu, tetapi tidak termasuk Pekan Kudus, Sabtu Lazarus, dan Minggu Palem. Di Barat dan Mesir sendiri, masa Catur Dasa memasukkan Pekan Kudus dan hari-hari Sabtu-Minggu sehingga menghasilkan masa puasa yang lebih pendek. Perbedaan-perbedaan ini tentunya menghasilkan berbagai kontroversi. Sebagai contoh, Minggu Perpisahan dengan Keju (Cheese-Fare Week) atau Minggu Pengampunan (Forgiveness Week) yang didalam Typikon Byzantium mendahului masa 40 hari, nampaknya berasal dari sebuah kompromi dengan para rahib di Palestina, sebab hal ini terkait dengan tradisi 8 minggu mereka dan sebenarnya bertentangan dengan praktek Byzantium. Hanya setelah penaklukan Arab atas Mesir dan Syria dan hilangnya independensi eklesiastikal wilayah-wilayah ini dari Konstantinopel barulah penyatuan akhir terkait masa Catur Dasa ini dapat dicapai.

Dalam lingkup Byzantium ini, perkembangan Catur Dasa berlanjut untuk waktu yang lama terkait pengorganisasian waktunya dan juga ibadah-ibadahnya. Seiring waktu, ada minggu-minggu lain yang ditambahkan ke dalam masa pra Catur Dasa yaitu Minggu Anak Hilang dan Minggu Pemungut Cukai dan Orang Farisi serta Minggu Penghakiman Akhir. Minggu Anak Hilang yang merupakan tambahan bagi Minggu Penghakiman Akhir disebutkan pada abad ke-9 oleh Js. Theodorus Studita, sedangkan Minggu Pemungut Cukai dan Orang Farisi pertama kali disebutkan pada abad ke-8. Terkait isi dari masing-masing minggu ini, salah satu faktor yang menentukan adalah penataan-penataan liturgis yang dilakukan oleh Biara Studita di Konstantinopel, di mana salah satu tokoh utamanya adalah Js. Theodorus Studita sendiri. 3 Minggu sebelum Catur Dasa inilah yang nantinya dikenal dengan nama Triodion. Jadi bisa dikatakan bahwa secara umum mulai sekitar abad ke-10 Puasa Agung Catur Dasa telah berbentuk seperti yang kita laksanakan sekarang ini.

Bacaan:

  • A Historical Discourse of the Fasts of the Orthodox Church, Hieromonk Alexis Soloviov, Moscow:1837
  • On the Fasts of the Orthodox Church, I. Mansvetov, Mocsow:1887
  • The Typikon Interpreted, M. Skaballanovich, Kiev: 1910
  • The Evolution of the Christian Year, A. Allan Mc Arthur, London:1953
  • Great Lent, Fr. Alexander Schmemann, St. Vladimir’s Seminary Press, Crestwood, New York, 1990
  • St. Theodore of Stoudion, Sermon 50, Patr. Graec. 99, 577
  • St. Athanasius of Alexandria, Festal Letters for 330
  • Peregrinatio Etheriae (27,1)
  • Sozomen, Historia Ecclesiastica (7,19)
  • Socrates Scholasticus, Historia Ecclesiastica (5,22)
  • Eusebius, Historia Ecclesiastica (5,24,12)
  • Didascalia Apostolorum, edited by R.H. Connoly, 1929
  • Tertullian, Concerning Baptism (19)
  • Hippolytus of Rome, Apostolic Tradition (2,20,2-9; 21,1-5)
  • Pedalion (The Rudder), translated by D.H. Cummings, 1957

Oleh: Rm Gregorius

Related Posts