
Diperingati pada 9/22 Maret Pada tahun 313, Kaisar Konstantinus Agung mengeluarkan sebuah maklumat yang memberikan kebebasan beragama bagi orang-orang Kristen dan menyamakan mereka dengan para penyembah berhala dalam hukum. Namun, rekan pemerintahannya, Licinius, yang dipengaruhi oleh kaum pagan, memutuskan untuk membasmi Kekristenan di wilayah kekuasaannya, karena agama ini telah berkembang pesat di sana. Licinius mempersiapkan tentaranya untuk berperang melawan Konstantinus dan, karena takut akan pemberontakan, ia berusaha menyingkirkan orang-orang Kristen dari pasukannya.
Salah satu panglima militer pada masa itu di kota Sebasteia, Armenia, adalah Agricolaus, seorang pendukung setia paganisme. Di bawah komandonya terdapat satu kompi yang terdiri dari empat puluh prajurit Kapadokia—para tentara pemberani yang telah memenangkan banyak pertempuran. Seluruhnya adalah orang Kristen. Ketika mereka menolak untuk mempersembahkan korban kepada dewa-dewa pagan, Agricolaus memenjarakan mereka. Para prajurit itu dengan tekun berdoa, dan pada suatu malam mereka mendengar suara yang berkata: “Bertahanlah sampai akhir, maka kamu akan diselamatkan.”
Keesokan paginya, para prajurit dibawa kembali menghadap Agricolaus. Kali ini, ia mencoba membujuk mereka dengan sanjungan. Ia memuji keberanian, masa muda, dan kekuatan mereka; lalu kembali mendesak mereka untuk menyangkal Kristus demi mendapatkan penghormatan dan kemurahan hati kaisar. Namun, ketika mendengar penolakan mereka sekali lagi, Agricolaus memerintahkan agar mereka dibelenggu. Tetapi prajurit tertua di antara mereka, Kyrion, berkata: “Kaisar tidak memberimu hak untuk membelenggu kami.” Agricolaus menjadi malu dan akhirnya memerintahkan agar para prajurit dibawa kembali ke penjara tanpa dibelenggu.
Tujuh hari kemudian, hakim terkenal bernama Licius tiba di Sebasteia dan mengadili para prajurit. Para martir itu dengan teguh menjawab: “Ambillah bukan hanya tanda-tanda keprajuritan kami, tetapi juga nyawa kami, karena tidak ada yang lebih berharga bagi kami selain Kristus Allah.” Mendengar ini, Licius memerintahkan agar mereka dirajam dengan batu. Namun, batu-batu itu tidak mengenai mereka sama sekali, dan batu yang dilempar oleh Licius malah mengenai wajah Agricolaus. Para penyiksa pun menyadari bahwa para kudus itu dilindungi oleh kekuatan yang tak terlihat.
Di dalam penjara, para prajurit berdoa sepanjang malam dan sekali lagi mereka mendengar suara Tuhan yang menghibur mereka:
“Barang siapa yang percaya kepada-Ku, meskipun ia mati, ia akan hidup. Beranilah dan jangan takut, sebab kamu akan memperoleh mahkota yang tidak dapat binasa.”
Keesokan harinya, hakim kembali menginterogasi mereka di hadapan para penyiksa, tetapi mereka tetap teguh dalam iman mereka.
Saat itu adalah musim dingin, dan cuaca sangat dingin. Para prajurit kudus digiring ke sebuah danau yang terletak tidak jauh dari kota, lalu mereka dibiarkan berdiri di atas es sepanjang malam di bawah penjagaan. Untuk melemahkan tekad para martir, sebuah pemandian air hangat disiapkan di tepi danau. Pada jam pertama malam, ketika hawa dingin menjadi tak tertahankan, salah satu prajurit tidak mampu bertahan dan berlari menuju pemandian, tetapi baru saja melewati ambang pintu, ia jatuh dan mati.
Pada jam ketiga malam, Tuhan menghibur para martir: tiba-tiba ada cahaya, es mencair, dan air danau menjadi hangat. Semua penjaga tertidur kecuali satu orang, yaitu Aglaios. Saat ia melihat ke danau, ia melihat mahkota bercahaya muncul di atas kepala setiap martir. Aglaios menghitung tiga puluh sembilan mahkota dan menyadari bahwa prajurit yang melarikan diri telah kehilangan mahkotanya. Kemudian Aglaios membangunkan para penjaga lainnya, menanggalkan seragamnya, dan berkata kepada mereka: “Aku juga seorang Kristen”—lalu ia bergabung dengan para martir. Berdiri di dalam air, ia berdoa:
“Tuhan Allah, aku percaya kepada-Mu, sebagaimana para prajurit ini percaya. Tambahkanlah aku ke dalam bilangan mereka dan anggaplah aku layak menderita bersama hamba-hamba-Mu.”
Keesokan paginya, para penyiksa terkejut melihat bahwa para martir masih hidup, dan Aglaios, sang penjaga, ikut memuliakan Kristus bersama mereka. Mereka kemudian membawa para prajurit keluar dari air dan mematahkan kaki mereka. Saat eksekusi yang mengerikan ini berlangsung, ibu dari prajurit termuda, Meliton, mendorong anaknya untuk bertahan hingga akhir.
Setelah itu, jenazah para martir dimasukkan ke dalam sebuah kereta dan dibakar. Meliton masih bernapas, dan mereka meninggalkannya terbaring di tanah. Ibunya lalu mengangkat putranya dan membawanya di atas bahunya mengikuti kereta. Ketika Meliton menghembuskan napas terakhirnya, ibunya meletakkan tubuhnya di atas kereta bersama dengan jenazah rekan-rekannya.
Jenazah para Janasuci itu dibakar, dan tulang-tulang mereka yang hangus dibuang ke dalam air agar orang-orang Kristen tidak mengumpulkannya.
Tiga hari kemudian, para martir menampakkan diri dalam mimpi kepada Uskup Sebasteia, Petrus, dan memerintahkannya untuk mengambil sisa-sisa jasad mereka dan memberikan pemakaman yang layak. Sang uskup, bersama beberapa rohaniwan, mengumpulkan relikui para martir yang mulia itu pada malam hari dan menguburkannya dengan hormat.