Oleh : Protopresbiter Yohanes Bambang Cahyo Wicaksono
Sebagaimana kita ketahui bahwa iman Kristen terutama Tritunggal Maha Kudus sering disalahartikan, sering disalahpahami bahkan orang-orang Kristen itu sendiri sangat sulit untuk menjelaskan tentang Tritunggal Maha Kudus. Pada saat ini, kita akan mencoba membahas tentang Tritunggal Maha Kudus sebagaimana yang diyakini oleh Gereja perdana yaitu Gereja Orthodox.
Iman Kristen percaya kepada Allah Tritunggal dan kepada Yesus Kristus Sang Firman Allah yang datang dan keluar dari Allah sebagai penebus dosa-dosa dan Juruselamat umat manusia. Demikianlah normatiknya standar kepercayaan seorang yang disebut sebagai “Kristen”, di luar dari kepercayaan ini dianggap bukan lagi Kekristenan yang sejati.
Akan tetapi pertanyaan seperti apa dan bagaimana Allah Tritunggal itu, selama ini menempati rekor kekaburan dalam pemahaman dan penjelasan jutaan umat Kristen. Mereka lebih senang bersembunyi dibalik pernyataan : “aku beriman kepada dogma itu, tetapi bukankah iman tidak perlu penjelasan? cukup kita imani saja titik!” Atau ada pula pernyataan: “seperti Tritunggalnya allah itu adalah tiga; yaitu allah bapa, allah anak, allah roh kudus yaitu Tuhan Yesus Kristus.”
Seorang rasul Kristus pernah menulis: “….siap sedialah pada segala waktu untuk memberikan pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu…(lih. I Petrus 3:15)”. Demikianlah jika kita beriman dan berpengharapan kepada Allah Tritunggal, pertanggungan jawab menuntut kita memahami dan bisa menjelaskan dengan tepat tentang Allah Tritunggal itu.
Alkitab tidak pernah secara teknis mengungkapkan adanya kata Allah Tritunggal tetapi istilah tersebut barulah diberi oleh beberapa tokoh gereja di abad kedua Masehi. Istilah Tritunggal bukan sekadar nama untuk suatu keadaan atau posisi Allah, yang lebih pantas disebut sebagai “Keberadaan / Dzat” dan “Dinamika di dalam Diri Allah”. Maka di sinilah letak kesulitannya karena sebagian besar orang Kristen tidak bisa menjelaskan “keberadaan dan dinamika” di dalam Diri Allah itu. Bahasan yang sedang kita ungkapkan ini adalah bertujuan membantu menjelaskan “keberadaan dan dinamika” di dalam Diri Allah.
Pemikiran yang menjadi pembentuk pemahaman Allah Tritunggal dalam bahasan ini berasal dari “Kekristenan Timur” yang memang di sanalah segalanya bermula. Arius pada tahun 325 Masehi; menolak Firman Allah diperanakkan secara kekal dari Diri Allah. Makedonius pada tahun 381 Masehi: menolak Roh Kudus dihembuskan secara kekal dari dalam Allah. Kedua pemahaman ini sebagai pemicu istilah yang melahirkan konsep gereja tentang “Dogma” pertamanya dan yang terpenting yaitu “Dogma Tritunggal Maha Kudus”.
Sudah menjadi takdir Allah, sejak awal Kekristenan berkembang dalam lingkup kebudayaan Yunani. Kita beruntung karena Allah dengan segala kemurahanNya telah menganugerahkan bahasa dan kebudayaan Yunani sebagai kendaraan dari pembentukan konsep-konsep “Dogma Gereja”. Adapun Perjanjian Lama dari budaya Yahudi sehingga penjelasan menggunakan istilah Yunani dapat dipersembahkan bagi pengertian Allah Tritunggal. Kita berhutang pada terma-terma Yunani seperti: “Ousia dan Hypostasis”.
Maka bahasan ini menggunakan juga istilah-istilah tersebut. Bapa-Bapa Konsili (Sidang) Ekumenis Nikea 325 Masehi dan Konstantinopel 381 Masehi berbicara tentang ousia atau hakekat Allah dalam ke-khas-an hypostasis-hypostasisNya. Dengan istilah esensia maka sesuatu disebut “Ada” atau “Tidak”. Oleh karena itu, esensia Allah adalah “Allah itu Ada” bahkan memang ada: “Aku adalah Aku (lih. Keluaran 3:14)”.
Hanya sesuatu yang dengan tegas bisa berkata “Aku”-lah yang memiliki “Ada” walaupun Allah sebenarnya tidak disebut “sesuatu” karena kategori yang kita gunakan untuk membicarakan EsensiNya masih kategori makhluk tetapi prinsipnya “Állah itu Ada”. Demikian pula Bapa-Bapa Konsili yang sama juga berbicara tentang “Hypostasis-hypostasis” yaitu “pokok-pokok kesadaran mutlak yang ada dalam Diri Allah”.
Tidak ada sesuatu padanan kata dari bahasa apapun yang sesuai untuk menerjemahkan istilah “hypostasis” ini. Titik pangkal perdebatan teologis dalam tubuh gereja di abad-abad keempat dan kelima berawal dari istilah “hypostasis” ini. Maka menurut mastah Antiokhia atau Syria kata hypostasis sempat dimaknai sebagai sama dengan “prosopon” atau “wajah”, yang nantinya istilah itu diterjemahkan ke dalam bahasa latin disamakan dengan kata “persona” atau “pribadi”.
Sementara ketika mastah Aleksandria atau Mesir lebih tegas memilih kata “phisis” atau “kodrat dinamis” ketimbang hypostasis maka ketika hal itu diterjemahkan ke dalam bahasa latin disamakan dengan “natural” atau “kodrat stasis”. Keduanya sama-sama kurang tepat sebab dalam khazanah bahasa Yunani tua kata hypostasis adalah “realita, jati diri sesuatu yang konkrit”.
Allah Bapa berkehendak, Firman Allah berkehendak dan Roh Allah juga berkehendak, ketigaNya memiliki “kesadaran” walaupun ketigaNya merealisasikan kehendak itu dalam tindakan dan dampak yang “satu”. Ketika seseorang dibaptis di dalam nama Allah Tritunggal maka tindakan baptisan itu dilakukan oleh Bapa, Putera dan Roh Kudus sekaligus. Allah yang mengasihi Putera-Nya dengan perantaraan Roh-Nya adalah yang menyebabkan kita hidup, kita bergerak dan kita ada.
Demikian pula kebangkitan Kristus yang jaya dikerjakan oleh kasih Bapa yang dicurahkanNya sejak semula sebelum dunia ada kepada Putera-Nya dengan perantaraan Roh Kudus (bdk.- Yohanes 17:5). Dalam kebangkitan itulah kasih Yesus Kristus yaitu kemanusiaan Firman Allah dipantulkan kembali kepada Allah Bapa oleh kuasa hidup kekal dari Roh Kudus (bdk. Roma 8:11). Maka keberadaan yang dimaksud ialah hubungan kasih tiada akhir antara Bapa dan Putera di mana Roh Kudus adalah cerminnya.
.
.