Yang ditekankan bukan haramnya makanan karena tak ada makanan yang haram pada dirinya, namun efek emosional dan efek perasaan bagi orang lain yang melihat apa yang kita makan. Itulah sebabnya:
“Jangan engkau merusakkan pekerjaan Allah oleh karena makanan!segala sesuatu adalah suci, tetapi celakalah orang, jika karena makanannya orang lain tersandung. Baiklah engkau jangan makan daging (termasuk daging babi ) atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu” (Roma 14:20-21).
Di sinilah kita lihat betapa luwes dan universalnya aplikasi tentang mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak bisa dimakan itu dalam iman Kristen. Orang Kristen harus melihat situasi dan kondisi, dan orang Kristen diajar selalu berfikir logis sesuai dengan kondisi tadi dalam menerapkan mana yang boleh dimakan, bukan hanya bersifat ikut-ikutan saja tanpa menggunakan pikiran, asal dilarang dijauhi, tanpa ada alasannya mengapa itu dilarang.
“Segala sesuatu halal bagiku, NAMUN TIDAK SEMUANYA BERGUNA. Segala sesuatu halal bagiku, TETAPI AKU TIDAK MEMBIARKAN DIRIKU DIPERHAMBA OLEH SESUATU APAPUN “(I Korintus 6:12). Karena menurut Perjanjian Baru tidak ada makanan yang najis atau haram pada dirinya sendiri, dengan kata lain “segala sesuatyu halal”, namun tak berarti semua harus dilahap dengan rakus. Karena biarpun segala sesuatu halal, “NAMUN TIDAK SEMUANYA BERGUNA” , Dengan demikian jika makanan itu tidak membawa kegunaan dan dampak yang baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya, orang tidak harus makan makanan itu.
Jika babi membuat kesaksian akan Kristus terhalang, kita sebaiknya pantang makan babi itu. Dan jika sesuatu makanan atau benda yang lain memperhamba sehingga kita terikat dan takluk serta kecanduan akibat darinya, maka kita harus buang dan hentikan menggunakannya, karena “AKU TIDAK MEMBIARKAN DIRIKU DIPERHAMBA OLEH SESUATU APAPUN”.
Berdasarkan prinsip yang diambil dari ayat ini, maka orang Kristen diajar untuk mengendalikan diri dalam hal makanan namun bukan karena makanannya itu yang haram atau najis, justru manusianya diajar untuk bebas dari ikatan perhambaan pada kerakusannya sendiri. Itulah sebabnya di kalangan umat Kristen Orthodox ada yang secara total berpantang daging selama hidup mereka, bukan hanya daging babi saja, dalam menghayati hidup imannya, terutama kaum rahib dan rahibah. Dan juga bagi kaum awam pada masa-masa puasa: puasa Natal selama 30 hari, puasa Paskah selama 40 hari, puasa peringatan Wafat Bunda Maria selama 15 hari, puasa Hari Rabu dan Hari Jumat setiap minggunya, dan puasa-puasa yang lain, umat Orthodox pantang makan semua daging, bukan hanya daging babi saja. Pantang makan produk binatang sembelihan ini : susu dan telur dengan segala produk olahannya, pantang minum anggur, makan buah anggur dan segala olahannya, bukan karena itu najis atau haram, namun sebagai sarana pencegahan dan pengendalian hawa nafsu dan kehendak, bagi peningkatan dan penjernihan batin.
Demikianlah jelas bahwa iman Kristen memberikan ajaran yang cukup logis yang langsung berkaitan dengan moral terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri dalam menggunakan makanan apa yang boleh dan tak boleh dimakan, karena pada dasarnya tak ada yang haram satupun pada dirinya sendiri. Sungguh hukum Kristen itu hukum universal yang disungguhkan setiap orang, bukan hanya sekedar ritual-ritual lokal yang hanya diyakini kelompok tertentu saja. Orang Kristen tidak disuruh makan babi namun juga tak ada larangan. Makan atau tidak, tergantung situasi dan kondisi. Sebab segala milik Allah itu suci adanya. Itulah sebabnya Iman Kristen, terutama Iman Kristen Orthodox, itu hanya diperuntukan bagi orang yang mau berfikir dewasa, untuk dapat mengambil keputusan moral secara logis dan konsekuen, bukan seperti anak kecil yang hanya berjalan kalau disuruh dan berhenti kalau dilarang.
Sekarang mari kita bicarakan mengenai sikap Yesus pada babi-babi yang menjadi pertanyaan bagi penanya kita kali ini. Si penanya itu mengajukan pertanyaan yang bernada membela para babi, yang demikian: “Entah dosa apa yang telah dilakukannya, sejak dulu banyak orang tidak respek kepada binatang berwarna merah jambu ini, dan memandangnya sebagai binatang najis. “
Jawaban:
Dosa para babi itu tidak ada pada dirinya sendiri, terutama ditegaskan secara logis sesudah Perjanjian Baru ditegakkan di bumi, sebagaimana sudah dikatakan di atas : ”…bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis “(Roma 14:14).
Dengan demikian termasuk babipun sebagai yang diciptakan Allah sebenarnya tidak ada najis pada dirinya sendiri, hanya orang yang menganggap najis dan hukum yang dibuat untuk menajiskannya itulah, maka menyebabkan binatang itu jadi najis. Orang tidak respek pada babi yang awalnya sebagai akibat pengaruh dari hukum yang sebenarnya hanya untuk orang Israel saja, ternyata itu berlanjut sampai kini.
Jadi sebenarnya para babi itu menjadi korban “diskriminasi atas para binatang yang lain”. Jadi para babi itu tidak berdosa apapun, dan tak melakukan apapun yang layak untuk mendapat diskriminasi di antara “ras para binatang”. Manusianya dan hukum yang dibuat atas babi itu saja, yang membuat ras babi-babi tak dihormati dan dibenci. “Mereka merasa jijik melihat dan menyentuhnya, apalagi menyantap dagingnya yang lezat.” Sebenarnya memang efek “jijik melihat dan menyentuhnya” itulah yang dituju dalam hukum Imamat 11:7. Karena umat Israel adalah bangsa yang dipilih sebagai sarana Mesias yang dijanjikan Alla akan muncul. Untuk itu mereka diberi aturan-aturan khusus yang memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain, agar kemurnian dan kelayakan mereka untuk menjadi sarana munculnya Mesias terjaga, sebab di saat itu bangsa-bangsa di sekitar Israel adalah penyembah berhala semua.
Padahal penyembahan berhala itu sesuatu yang sangat dilarang menurut Hukum Taurat. Dan mereka dipilih dengan tujuan supaya ke-Esa-an Allah terpelihara, dan dengan demikian mereka layak menerima perjanjian untuk menjadi sarana datangnya Messias di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu mereka memang harus disisihkan. Sehingga bagi umat Israel yang telah tahu perjanjian Allah kepada Abraham tentang “keturunan” (Kristus) yang akan datang, maka Taurat itu bagi mereka: ”ditambahkan oleh karena pelanggaran-pelanggaran–sampai datang keturunan yang dimaksud oleh janji itu—“ (Galatia 3:19). Sehingga selama iman kepada Kristus itu belum datang Israe : ”berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan” (Galatia 3:23).
Jadi “hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (Galatia 3:24). Makanan adalah sarana perekat sosial yang termudah dan paling umum. Dengan perjamuan atau bersantap bersama, dan makan dengan orang lain, maka persahabatan dapat terjadi. Babi dan semua makanan yang dilarang dalam Imamat 11 adalah makanan yang biasa disantap oleh para bangsa sekitar Israel yang notabene adalah para penyembah berhala.
Dengan mereka dilarang memakan makanan yang dimakan oleh bangsa-bangsa itu, maka kontak sosial dan pergaulan erat antara Israel dengan bangsa-bangsa itu dibatasi, agar tak terjadi hubungan sosial terlalu erat yang memudahkan terjadinya pelanggaran dan kompromi iman. Karena dilarangnya babi untuk dimakan, maka akan timbul ketidak-sukaan bangsa Israel atas binatang itu, dan dengan demikian akan timbul rasa “jijik melihat dan menyentuhnya” sehingga juga jijik untuk “menyantap dagingnya yang lezat.” Dengan demikian dibatasilah hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain yang menyembah berhala. Sehingga tak terjadi kontak dengan mereka dan tidak dipengaruhi keyakinan mereka, maka tidak ada pelanggaran akan ke-Esa-an Allah atas Israel. Maka mereka layak dipersiapkan bagi kedatangan Mesias di tengah-tengah mereka.
(Bersambung)
.
.