Asketisme adalah praktik penyangkalan diri (yaitu pengendalian hawa nafsu seseorang) demi Kerajaan Allah. Praktik asketisme – paling sering dikaitkan secara eksklusif dengan monastisisme (kehidupan kerahiban). Pada dasarnya, semua orang beriman dinasihati untuk “berlatih” dengan bentuk latihan-latihan yang lebih ringan dari askesis melalui kehidupan Gereja seperti sembahyang, puasa, dan pertobatan.
Kata “asketik” berasal dari akar bahasa Yunani “askitikos” (pertapa), yang akarnya adalah dari kata “askeo”, yang berarti “saya melatih (I train).”
Rasul Paulus mengibaratkan kehidupan sembahyang Kristen dan pertobatan sebagai latihan layaknya dalam pertandingan olahraga (1 Korintus 9: 24-27; 2 Timotius 4: 7).
1 Korintus 9:24-27 (TB) Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.
2 Timotius 4:7 (TB) Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Jadi, metode askesis tidak boleh digunakan untuk diri mereka sendiri sebagai tujuan akhirnya, tetapi sebagai sarana untuk akhir keselamatan, “hadiah” yang Rasul sebutkan dalam I Korintus.
Beberapa bentuk askesis sangat extreme – bahkan tampaknya tidak sehat – jika dibandingkan dengan kehidupan normal misalnya Stylitism, di mana pertapa itu berdiri di atas pilar tinggi atau pohon untuk jangka waktu lama. Mungkin kita bayangkan seperti kehidupan para shaolin di film-film kungfu. Tapi kalau shaolin fokusnya pada bela diri.
Bentuk kehidupan seperti ini adalah salah satu “Karunia Roh Kudus” yang goalnya adalah “Pengudusan”. Untuk mencapai harus melalui proses, di mana di dalam monasteri itu para monakhos (penghuni monastery) dan Lavra (monasteri untuk pertapa) hidup untuk Kerajaan Allah di samping menaruh sikap batinnya yang terdalam. Para monakhos melawan segala hawa-nafsu yang ada di dalam dirinya dengan penuh ketegaran bagi pemurnian “nous” (“akal-budi roh”) dan batinnya -, juga bertekun dalam pertobatan, sembahyang siang malam, berpuasa demi memberikan tempat yang luas kepada Roh Kudus sepenuh-penuhnya.
Doa dan permohonan yang mereka lakukan itu di samping Sembahyang-Sembahyang yang sudah tetap tata-tertibnya, juga doa-batin (dzikir) yang disebut “Puja Yesus”, di mana melalui doa ini orang mencapai kemurnian dan keheningan batin. Suatu praktik yang dalam tradisi Orthodox disebut sebagai “hesykhia” (ηsukia = keheningan, keteduhan), sejajar dengan meditasi mendalam. Disiplin ibadah sembahyang dan doa ini disertai dengan penyangkalan kehendak hawa-nafsu melalui puasa.
Spiritualitas untuk mencapai “hesykhia” (ηsukia) dalam Iman Orthodox yang demikian ini disebut sebagai “hesykhasme” dan para pelakunya disebut sebagai “hesykhastis”. Ini hal yang identik dengan Asketikisme yang kita bahas di atas. Melalui disiplin-disiplin ibadah seperti itulah mereka mengalami kesadaran dan pemurnian batin yang mendalam, dan visi akan “Terang Tak Tercipta” yaitu Terang dari Gunung Tabor yang dilihat para Rasul ketika Yesus dimuliakan di atas Gunung (Matius 17:1-4), sehingga “nous” nya mengalami penerangan atau iluminasi oleh rahmat Roh Kudus.
Praktik kerohanian seperti inilah yang disebut spiritualitas “nepsis”, dan pada dasarnya theologia Orthodox adalah “theologia nepsis” seperti ini. Yaitu suatu theologia berdasarkan terang Roh Kudus yang berasal dari kehidupan “nepsis” (“watchfulness, keberjaga-jagaan rohani”).
Jadi theologia itu bukan theori dari buku atau dari kategori filsafat, namun iluminasi (“penerangan”) Roh Kudus, akibat kehidupan yang “nepsis”. Dari para “hesykhastis” dan “petapa asketik” inilah munculnya para “geronda” atau para “staretz” (kyai, sesepuh, wali). Dari pengalaman kehidupan “nepsis” dari para “hesykhastis” dan “petapa asketik” muncullah penulisan buku kehidupan “hesykhasme” dan “asketikisme” yang amat dalam isinya, yang dikumpulkan dengan nama “Philokalia”.
Dan kitab “Philokalia” itu merupakan suatu tuntunan yang utuh dan komprehensif tentang theologia nepsis Orthodox, serta kehidupan hesykhia (ηsukia) dan pemurnian nous dari kotoran dosa dan kecemaran. Dalam Philokalia kita melihat banyak sekali dicatat perjuangan para monakhos dan petapa kudus terhadap dosa dan roh-roh jahat serta kebinalan angan-angan manusia yang perlu dikendalikan, juga manifestasi Roh Kudus yang luar biasa, dengan segala mukjizatNya. Sehingga bagi umat Orthodox dengan tuntunan dari pengalaman para hesykhastis melalui pengalaman mereka yang telah dicatat dalam Philokalia itu ia dapat menguji fenomena karunia-karunia Roh Kudus, agar tidak jatuh kepada “planee” atau “prelest” (“tipu daya rohani”).
Inilah corak kehidupan para monakhos yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. Karena kehidupan tak menikah untuk Kerajaan Allah adalah karunia Roh Kudus, dan atas kehendak sendiri, bukan atas paksaan siapapun, maka sesuai dengan ajaran Kitab Suci ini Gereja Orthodox tidak mengharuskan siapapun untuk hidup selibat, termasuk para rohaniwannya. Sebab Petrus dan rasul-rasul lainnya membawa isteri-isteri mereka dalam pelayanan mereka, tetapi Paulus dan Barnabas itu tak memiliki isteri.
Para monakhos, pertapa kudus, serta hidup monakhisme/ asketikisme tak lain adalah suatu usaha untuk hidup secara konsisten dengan tuntutan Injil yang lebih serius. Corak hidup semacam ini adalah semacam mati-sahid, kemartiran, mati bagi dosa agar dapat hidup di dalam Allah. Itulah sebabnya terkait erat dengan karunia monakhisme/ asketikisme adalah karunia ke-martir-an.
Dengan demikian ke-martir-an pun adalah salah satu dari karunia-karunia Roh Kudus, sebagaimana halnya hikmat, pengetahuan, bahasa asing, nubuat, iman, dan kedermawanan atau kemurahan. Pada intinya, Kehidupan di Monastery (Rumah kerahiban / biara) juga merupakan bentuk “Kemartiran PUTIH”.
Dalam Iman Gereja Orthodox yang dikenal ada tiga macam kemartiran, yaitu :
1. “MARTIR MERAH” orang yang betul-betul tercurah darahnya oleh aniaya demi Kristus,
2. “MARTIR HIJAU” yaitu orang yang melalui puasa berusaha mematikan kehendak dosa dan dagingnya.
3. “MARTIR PUTIH” yaitu orang yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk hidup sebagai monakhos atau petapa asketik di monasteri ataupun di padang belantara, gua gua, tebing-tebing, gunung-gunung, dll.
Semuanya ini oleh Gereja diterima dan diakui secara resmi dan sah sebagai bagian dari manifestasi karunia Roh Kudus.
.
.