RABU ABU DALAM TRADISI GEREJA BARAT
Dalam tradisi Gereja Purba di Barat, penggunaan Abu dalam lingkup Gereja bisa dilihat dari catatan Tertulianus dalam sebuah literatur kuno berjudul “De Poenitentia” (sekitar tahun 160 sampai 220 Masehi). Penggunaan Abu ini tidak dikaitkan dengan Masa Puasa Pra-Paskah, namun sebagai sebuah tanda simbolik dalam sebuah ritus pertobatan. Dikatakan dalam buku tersebut, jika ada pendosa yang mau bertobat harus hidup tanpa bersenang-senang dan mengenakan kain kabung serta abu.
Sejarawan Gereja Eusebius juga menulis dalam bukunya yakni “Sejarah gereja” jika pada masa itu ada seorang murtad bernama Natalis yang datang pada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung serta abu lalu memohon pengampunan. Dalam masa yang sama, maka diwajibkan bagi mereka untuk menyatakan tobat di muka umum dan imam akan memakaikan abu pada kepala mereka sesudah melakukan pengakuan. Pada abad pertengahan, mereka yang sedang menghadapi ajal akan dibaringkan di atas tanah beralaskan kain kabung lalu diperciki dengan abu dan imam akan memberikan berkat pada orang tersebut dengan air suci sambil berkata ,”Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.”
Pada akhirnya dalam lingkup Gereja Barat Purba, abu dipakai sebagai tanda awal masa Pra Paskah yakni persiapan selama 40 hari (diluar hari minggu) untuk menyambut hari Paskah. Catatan terawal mengenai Ritual perayaan Rabu Abu ini ditemukan pada masa St. Gregorian Sacramentary sekitar abad ke-8. Catatan lain pada sekitar abad ke-11, dimana seorang imam Anglo Saxon dalam kotbahnya mengajak umat menaburkan abu di kepala sebagai tanda menyesali dosa-dosa terutama selama Masa Prapaskah.
Secara resmi ibadah Rabu Abu dengan pengolesan abu menjelang masa Prapaskah telah terjadi pada akhir abad XI – XIII yaitu melalui penetapan sidang Sinode di Benevento pada 1091 oleh Paus Urbanus II. Sesudah abad pertengahan itu, gereja barat purba memakai abu sebagai tanda dimulainya masa pertobatan Pra Paskah. Sedangkan pada perayaan Rabu Abu dalam lingkup Gereja Barat (Roma Katolik) sekarang ini, abu diambil dari daun palma yang sudah diberkati di hari Minggu Palma pada tahun sebelumnya yang kemudian di bakar dan imam akan memberkati abu tersebut lalu menorehkannya pada dahi umat beriman membentuk tanda salib sambil berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.”
Sejak munculnya Gerakan Reformasi di lingkup Gereja Barat (1517), gereja Protestan awal seperti Lutheran dan Anglican tetap merayakan awal masa pra-paskah ini, tetapi mereka meniadakan penggunaan abu maupun praktek puasa, sedangkan Gereja Reformasi (Protestan) awal selanjutnya seperti Calvinist dan Methodis pada awalnya tidak lagi merayakan Rabu Abu atau awal masa pra-paskah dan lebih menekankan pada pertobatan batin dalam menyambut Paskah. Jadi memandang tidak perlu ada hari khusus atau yang dianggap suci untuk merayakan hal-hal yang tidak diperintahkan Yesus.
Sejak Konsili Vatikan II (1962-63) dimana mulai terjalin hubungan dekat diantara Gereja-gereja Barat, antara gereja Roma Katolik dan gereja-gereja Reformasi (Protestan) awal, mereka (gereja protestan awal) saling melihat kekayaan tradisi dalam penanggalan gereja masing-masing. Banyak gereja Protestan diluar negeri mulai tertarik menggali kembali perayaan Rabu Abu dan itu menjadi sangat populer dalam tahun-tahun selanjutnya dimana ada kesepakatan mengenai daftar Leksionari Kalender Gereja secara bersama.
Di Indonesia, sebagian besar Gereja-gereja Protestan mainstream tradisional seperti Anglikan, Lutheran, Calvinist/Reformed Tradisional, Presbiterian maupun sebagian Kelompok Methodist, Wesleyan dan Baptis mempraktekkan perayaan Rabu Abu sekalipun bentuknya tidak seragam dan beberapa diantaranya tidak mempraktekkan puasa ataupun berpantang seperti yang tetap dilakukan gereja Roma Katolik. Salah satu Sinode Gereja berhaluan Reformed Tradisional yang melaksanakan Perayaan-Perayaan dalam masa Pra Paskah adalah Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang sejak tahun 2015 selalu memasukkan ibadah Rabu Abu dalam Bahan Masa Raya Paskah yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode (LPPS) sebagai bagian dari ibadah-ibadah khusus selama Masa Raya Paskah. Sementara itu, Sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) dalam Buku Tata Laksana juga menekankan pada adanya “Tradisi Iman” yang mencakup didalamnya berbagai simbol dalam Ibadah Gereja diantaranya Praktek Ibadah Rabu Abu. Selain GKI, GKJ juga dipraktekkan oleh Sinode Gereja Protestan di Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Di samping Ibadah Rabu Abu, beberapa perayaan lain yang juga ikut dilakukan seperti puasa, ritus pembasuhan kaki pada pekan suci, jalan salib, minggu palma dan sabtu sunyi.
Meski saat ini praktek Ibadah Rabu Abu dan rangkaian Ibadah masa pra paskah lainnya telah menjadi populer di kalangan sebagian Gereja – gereja barat reformasi (Protestan), namun masih ditolak oleh kalangan Reformasi Generasi baru seperti Kelompok Pentakostal, Kharismatik, Independen, Adventist maupun Neo-Calvinism dan Mesianic Christian yang menganggapnya itu adalah bagian dari tradisi Roma Katolik saja dan tidak alkitabiah dalam pandangan mereka.
AWAL PUASA DALAM TRADISI GEREJA-GEREJA PURBA DI TIMUR (ORTHODOX)
Gereja-gereja purba di timur yang selanjutnya menyebut diri mereka Orthodox, sejak awal tidak memiliki tradisi perayaan Rabu Abu seperti yang dilakukan Gereja purba di barat. Namun Gereja Purba di Timur menyambut dan merayakan masa Puasa pra-Paskah dalam bentuk yang berbeda. Jadi, ketika terjadi skisma gereja pada tahun 1057, Gereja Orthodox tidak merayakan Rabu melainkan memiliki kalender Masa Puasa Agung Pra Paskah yang sangat panjang.
Jika dalam Gereja Roma Katolik atau Gereja Barat pada umumnya, Puasa Prapaskah 40 hari itu menyertakan hari Sabtu (sabbath) sebagai hari puasa (kecuali minggu), maka dalam Gereja Orthodox Timur, masa puasa tidak menyertakan hari Sabtu sehingga periode masa puasa menjadi lebih panjang. Gereja Orthodox tidak menyertakan hari Sabtu (sabbath) sebagai hari puasa dengan mengingat beberapa catatan para bapa gereja awal seperti :
– dari St. Ignatius dari Anthiokia-Syria (35 – 108 M) dalam manuskrip berjudul “Epistle to the Philippians” pasal 13 :
“… If any one fasts on the Lord’s Day or on the Sabbath, except on the paschal Sabbath only, he is a murderer of Christ.”
Terjemahan :
…Jika ada orang yang berpuasa pada Hari Tuhan atau pada hari Sabat, kecuali pada hari Sabat Paskah saja, dia adalah seorang pembunuh Kristus.
– Manuskrip berjudul “The Apostolic Canons” (*), Kanon 66 (abad ke-IV) :
“..If any of the clergy be found fasting on the Lord’s day [i.e. Sunday], or on the Sabbath [i.e. Saturday], excepting the one only [i.e. Holy Saturday], let him be deposed. If a layman, let him be excommunicated.”
Terjemahan :
Jika ada Klerus yang ditemukan berpuasa pada hari Minggu, atau pada hari Sabtu, kecuali pada satu hari itu (Sabtu Suci), biarkan dia dipecat jabatannya. Dan jika seorang jemaat yang melakukannya, biarkanlah dia diekskomunikasi.
– Manuskrip Kanon-kanon Konsili Gangra (Synods of Gangra; sekarang wilayah Turki) tahun 340 M, Kanon 18 :
“..If any one, under pretence of asceticism, shall fast on Sunday, let him be anathema.
Terjemahan :
Jika seseorang, di bawah kemunafikan dari pertapaan, berpuasa pada hari minggu, maka biarkan dia teranathema.
Atas petunjuk dan teladan dari beberapa manuskrip Gereja Purba di atas, Gereja Orthodox hingga sekarang tidak menyertakan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari berpuasa, sehingga Gereja Orthodox berpuasa selama 7 minggu lebih serta tidak diawali pada hari Rabu (Rabu Abu) seperti halnya yang dipraktekkan Gereja Barat. Adapun urutan periode masa Pra-Paskah dalam Tradisi Gereja Orthodox Timur adalah :
1). Minggu Pembukaan (Minggu Zakheus)
2). Minggu Persiapan (Triodion) :
– Minggu Persiapan Pertama (Minggu Orang Farisi dan Pemungut Cukai)
– Minggu Persiapan kedua (Minggu Anak yang Hilang)
– Minggu Persiapan ketiga (Minggu Penghakiman Akhir).
– Minggu terakhir sebelum masuk masa Puasa Agung (Minggu Pengampunan Dosa – Minggu saling memaafkan).
3). MINGGU – MINGGU MASA PUASA.
– Minggu Orthodoxia
– Minggu Gregorius Palamas
– Minggu Penghormatan Salib
– Minggu Yohanes Klimakos
– Minggu Maria Dari Mesir
4). PEKAN KUDUS PASKAH ATAU PEKAN KESENGSARAAN KRISTUS
– Sabtu Lazarus
– Minggu Palem atau “Masuknya Kristus ke kota Yerusalem”
– Senin Kudus.
– Selasa Kudus
– Rabu Kudus
– Kamis Kudus, Peringatan Pembasuhan kaki para murid dan Peringatan Perjamuan Kudus Terakhir.
– Jumat Agung Kudus
Penyaliban, Wafat, Penurunan Tubuh Kristus dan Kidung Dukacita.
Pembacaan 12 Injil sengsara Kristus.
– Sabtu Kudus,
– Minggu Paskah,
(Puncak Ibadah Paskah akan dilaksanakan pada Sabtu Menjelang Minggu Dini Hari).
Sejarah Perkembangan Perayaan-Perayaan dalam masa Puasa Pra-Paskah dalam Gereja Orthodox Timur
1) Pekan Suci dalam Gereja Timur Purba (Orthodox) didahului oleh Sabtu Lazarus dan Minggu Palem. Perayaan ini dimulai pada abad ke-II dan ke-III dengan praktek puasa singkat satu atau dua hari sebelum Paskah. Pada pertengahan abad ke-III, puasa Paskah di banyak wilayah Gereja purba diperluas dengan menyertakan seluruh minggu sebelum Paskah. (Perayaan-perayaan dalam Pekan Kudus belum ditemukan hingga akhir abad ke-IV).
2). Catatan paling awal mengenai Praktek Puasa Agung dalam Gereja Timur Purba (Orthodox) adalah Kanon 5 dari Konsili Nikea. Hingga akhir abad ke-IV, Puasa Agung 40 hari sudah menjadi praktek standar seluruh Gereja Kristen baik di Barat maupun Timur yang dimulai pada hari Senin. Bukti kuat menunjukkan bahwa puasa 40 Hari berasal dari praktik persiapan akhir katekumen untuk sakramen Pembaptisan yang biasanya dilakukan menjelang Paskah.
Praktek Puasa 40 hari ini mengingat keberadaan bangsa Israel di padang belantara selama 40 tahun (Kel. 16.35); Musa yang tetap berpuasa empat puluh hari di Gunung Sinai (Kel. 34.28); Elia yang berpantang dari semua makanan selama 40 hari saat ia melakukan perjalanan ke Gunung Horeb (3 Raja-raja 19.8); dan yang terpenting dari semuanya adalah mengingat Kristus yang berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam di padang gurun dimana Ia dicobai oleh iblis (Mat. 4.1).
Di gereja-gereja Timur Purba, masa puasa Agung dilaksanakan selama tujuh minggu dengan tetap mengacu pada sistem perhitungan Kalender Julian (sedangkan Gereja Barat sejak abad ke 16 menggunakan sistem Kalender Baru Gregorian).
3). Mulai abad ke-VII dan selanjutnya, periode Persiapan Pra-Paskah diperluas hingga mencakup tiga hari Minggu (di luar Minggu Pengampunan – lihat daftar periode di atas). Pada abad-abad ini, Gereja Orthodox Timur mulai menyusun adanya peringatan Minggu Pemungut cukai dan orang Farisi, Minggu Anak yang Hilang, dan Minggu Penghakiman Terakhir yang diakhiri dengan Minggu Pengampunan.
Demikianlah sedikit catatan tentang harta karun kekristenan Purba dalam bentuk ragam tradisinya. Kiranya memperkaya dan memperdalam iman kita kepada Kristus dan Gereja yang Ia dirikan diatas Para Rasul-Nya sebagai “Tiang Penopang dan Dasar Kebenaran”.
Ditulis kembali oleh : AW. Meidiyanto.
Referensi :
– The Lenten Triodion, diterjemahkan oleh Maria & Kallistos Ware, FaberFaber, London, 1977.
– The Lenten Spring- Readings For Great Lent, oleh Thomas Hopko, St. Vladimir’s Seminary Press, Crestwood, NY, 1983.
– Great Week And Pascha In The Orthodox Church oleh Alkiviadis C. Calivas, Holy Cross Press, Brookline, MA, 1992.
– Great Lent – Journey To Pascha, oleh Alexander Schmemann, St. Vladimir’s Seminary Press, Crestwood, NY, 1974.
– Bahan Masa Raya Paskah yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode (LPPS), Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ), 2015.
– “Straight Answer : The Ashen Cross”, oleh Fr. William P. Saunders, Arlington Catholic Herald, 2003.
– Penjelasan Ibadah Rabu Abu, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Horeb, 2017.
– Ibadah Rabu Abu, Tata Laksana, Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI), pdt. Yohanes Bambang Mulyono, M.Th, www.yohanesbm.com
Note :
(*) Kanon Apostolik atau Kanon Ecclesiastical dari Para Rasul Suci adalah teks Kristen Syria abad ke-4. Ini adalah kanon Gereja purba, kumpulan dekrit gereja purba mengenai pemerintahan dan disiplin Gereja Kristen Awal, yang diyakini ditulis oleh para Rasul dan pertama kali ditemukan sebagai bab terakhir dari buku "Delapan Konstitusi Apostolik."
Delapan puluh lima kanon ini disetujui oleh Konsili Gereja Timur di Trullo pada tahun 692 tetapi ditolak oleh Gereja Barat (Paus Sergius I). Di Gereja Barat hanya lima puluh kanon yang diterima dan diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Dionysius Exiguus pada sekitar 500 M. Dalam Kanon no 85 berisi daftar kitab kanonik, yang oleh karena itu dianggap penting untuk sejarah kanonisasi Alkitab.