Oleh : Archimandrite Romo Daniel Bambang Byantoro
Pendahuluan
Iman Kristen adalah keyakinan yang bersifat rahmat/ kasih-karunia dan bukan bersifat syariat (hukum), karena Kitab Suci mengajarkan: ” …karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).
Oleh karena itu kosa-kata “haram” dan “halal” yang berasal dari Ilmu Fiqih Islam (Ilmu Hukum Islam) itu sebenarnya memang tidak tepat digunakan dalam konteks Iman Kristen. Sebab keselamatan yaitu lepas dari kuasa Maut, Dosa dan Iblis, dan menyatu kepada Kemuliaan, Kekudusan, Hidup Kekal, milik Allah yaitu mengalami “ambil bagian dalam kodrat Ilahi” (II Petrus 1:4), serta menjadi “sama seperti Dia” (I Yohanes 3:21) dan pada akhirnya nanti terjadi seperti yang dikatakan Sang Kristus sendiri: “di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” di rumah Bapa (Yohanes 14:2), dan “di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku” (Yohanes 17:24), serta pada saat itu kita yang percaya “akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa” (Matius 13:43) itu terjadi bukan karena akibat menjalankan aturan hukum ritual Taurat apapun.
Ini semua terjadi bukan karena akibat dari kita mengumpulkan sekian banyak “pahala” karena menjalankan aturan hukum, namun karena kasih- karunia/ rahmat Allah semata. Maksudnya bukannya berasal dari “pahala” sebagai akibat mengikuti aturan hukum yang bersifat “halal” dan “haram” yang menjadi landasan dasar kita diselamatkan. Namun keselamatan yang demikian itu terjadi karena Kristus telah mati di Kayu Salib dengan demikian mengalahkan kuasa Dosa (I Yohanes 3:8), serta mati dikuburkan dan bangkit, dengan demikian mengalahkan Iblis (Ibrani 2:14), serta bangkit dari antara orang mati dan tidak mati lagi selamanya karena “maut tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma 6:9), dengan demikian “mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (II Timotius 2:10).
Karya Kristus inilah yang mendatangkan keselamatan, dan manunggal dengan Kristus yang telah menyelesaikan Karya Penebusan atau Karya Keselamatan yang seperti itulah menyebabkan kita diselamatkan. Allah sendirilah yang karena “begitu besar kasihNya akan dunia ini” (Yohanes 3:16) dengan mengutus FirmanNya turun dari sorga (Yohanes 13:13) “menjadi manusia” (Yohanes 1:14) yang memungkinkan keselamatan yang demikian itu terjadi.
Jadi keselamatan memang “pemberian Allah” dan “bukan hasil usahamu” serta “itu bukan hasil pekerjaanmu”. Dengan demikian dalam kita membahas boleh atau tidaknya kita makan darah, atau makan kadal, atau makan “paniki” (“daging kalong” masak pedas, yang dilakukan di Manado) atau makan tikus sawah (juga dilakukan di Manado), atau makan cacing, atau makan daging anjing, atau makan daging babi (terutama di tanah Batak dan di Manado), atau makan apapun, kebenaran hakiki dari Injil ini tak boleh dilupakan.
Kebenaran berita gembira keselamatan ini yang harus menjadi tolok ukurnya, dan bukan comotan satu ayat Alkitab yang kemudian dijadikan mutlak sebagai landasannya. Apalagi jika kemudian ayat yang dicomot tadi dijadikan sarana menghakimi orang lain, terutama dalam hal boleh atau tidaknya kita makan sesuatu.
Permasalahan di antara sebagian orang yang menyebut dirinya Kristen, dalam usahanya untuk hidup Kristen secara murni, ada sebagian yang merasa bahwa mereka harus melawan apapun yang dianggap bertentangan dengan Iman Kristen, terutama dalam masalah adat-istiadat. Landasan keyakinan yang demikian dilandasi oleh sabda Sang Kristus: “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.” Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri” (Matius 15: 2-6).
Sabda Sang Kristus ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat (Matius 15:1) yang lebih menekankan pada “adat istiadat nenek moyang” (bahasa asli “adat-istiadat para tua-tua”), tafsiran dan ajaran dari “para tua-tua” yaitu para Rabbi (rohaniwan agama Yahudi) atas hukum-hukum dalam Taurat, dan yang tertulis dalam Kitab Suci mereka yang kedua “Talmud” di samping ”Tanakh” (Perjanjian Lama).
Bukti bahwa apa yang dikritik Tuhan Yesus di sini adalah masalah Talmud, adalah keluhan dari orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang mengecam para murid Sang Kristus yang “tidak membasuh tangan sebelum makan”, juga kecaman Sang Kristus atas ajaran mereka “kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya”.
Hal ini diperkuat lagi dengan pasal paralel dari Markus 7:1-13: ”Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban — yaitu persembahan kepada Allah –, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.”
Dalam ayat-ayat ini Kitab Suci menjelaskan bahwa yang diikuti oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat serta orang-orang Yahudi lainnya adalah “berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka”, “hidup menurut adat istiadat nenek moyang”, yang oleh Sang Kristus hal itu dikritik dengan menyatakan bahwa “ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia, serta bahwa mereka hanya “berpegang pada adat istiadat manusia atau “memelihara adat istiadatmu sendiri”, serta hanya merupakan “adat istiadat yang kamu ikuti” saja. Adat istiadat “nenek-moyang” atau “para tua-tua”, yaitu tafsiran para Rabbi Yahudi itu isinya adalah mereka dilarang “makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh”, juga mereka “tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu”, serta “kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya”, juga mereka memiliki aturan- aturan yang rinci dan menyulitkan masalah “mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga “, serta “Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang”.
Sebenarnya tafsiran masalah pembasuhan itu adalah perluasan dari apa yang dikatakan dalam Imamat 15 mengenai cara pentahiran bagi orang yang mengeluarkan lelehan. Jadi apa yang dikritik Tuhan Yesus dalam masalah adat-istiadat ini adalah aturan-aturan yang dibuat oleh para Ahli Taurat dan para Orang Farisi berdasarkan tafsiran para Rabbi Yahudi yang dikumpulkan dalam Kitab “Talmud”. Orang-orang Yahudi sampai sekarang menganggap Talmud itu sebagai diilhamkan Allah di Gunung Sinai bersamaan dengan diberikannya TORAH, dan sejajar dengan Kitab Perjanjian Lama (TANAKH).
Dan mereka memahami Perjanjian Lama dari kacamata Talmud ini, sebagaimana orang Kristen memahami Perjanjian Lama dari kacamata Pribadi, Karya dan Ajaran Yesus Kristus dan dari kacamata Perjanjian Baru. Jadi yang menjadi kritik Tuhan Yesus di sini bukanlah masalah “adat-istiadat” budaya itu sendiri, namun adat-istiadat penafsiran Kitab Perjanjian Lama dalam Talmud yang keliru dan yang bertentangan dengan “ruh/ semangat dan makna” dari pengajaran Kitab Suci yang ditafsirkannya.
Misalnya masalah pemeliharaan orang tua yang harus dilakukan oleh setiap anak yang sudah dewasa, sebagaimana yang disebut dalam Matius 15:4-6 dan Markus 7: 10-12, yang akhirnya dipelintir menjadi tidak perduli pada orang tua lagi, karena dananya dijadikan “korban/ persembahan kepada Allah” sesuai yang diajarkan Talmud. Maka kita harus hati-hati dalam menafsirkan Kitab Suci agar itu tidak berlawanan dengan “ruh/ semangat dan makna” dari apa yang diajarkan oleh Kitab Suci, terutama dalam menafsirkan boleh atau tidaknya, halal atau haramnya memakan darah.
(Bersambung)
.
.