Artikel ditulis Sdr. Basilius dari Gereja Ortodoks St. Nikolas dari Myra, Surabaya
Kemuliaan bagi Sang Bapa, Sang Putra serta Sang Roh Kudus…
Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” (Efesus 2:8). Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa keselamatan adalah pemberian Allah, dengan demikian suka tidak suka, mau tidak mau, titik awal keselamatan adalah Allah karena “kasih karunia” (Yunani: χάριτι, khariti) yang adalah “pemberian” Allah. Kata “kasih karunia” atau khariti ini berasal dari kata χάρις (kharis), yang memiliki makna tentang keadaan seseorang yang sepenuhnya bergantung kepada kuasa ilahi (Strong’s NT 5485: χάρις, Thayer’s Greek Lexicon).
Dari Greek Lexicon ini, kita mengerti bahwa kasih karunia ini memiliki sifat, yaitu sepenuhnya bergantung kepada kuasa ilahi. Dengan demikian keselamatan ini semata-semata sepenuhnya bermula dari Allah karena kasih karunia-Nya. Tanpa kasih karunia, segenap usaha manusia -apapun yang ia perbuat bahkan mungkin sampai harus mengemis dan memelas kepada Allah- tidak akan pernah manusia dapat mengenal dan mengalami keselamatan dari Allah. Inisiatif penyelamatan itu bermula dari Allah, bukan dari manusia. Manusia dengan segala upaya dan caranya sendiri, ia tidak akan pernah mampu menyelamatkan dirinya. Bukti yang paling sederhana yang dapat kita lihat, manusia mau saleh dan baik bagaimanapun, ia tetap mengalami kematian, dan tidak ada satupun manusia yang tidak luput dari kematian, selain daripada Dia yang tak berkematian, yaitu Allah, yang kita akui dalam liturgi kita setiap Minggu: “Sang Baka Mahakudus, kasihanilah kami” (Yunani: Agios Athanatos eleison hymas, literal: Yang Tak Berkematian Mahakudus, kasihanilah kami).
Kematian adalah dampak ketika manusia jatuh ke dalam dosa, sebagaimana Taurat bersaksi kepada kita: “… sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2:17). Kematian ini adalah benalu atau parasit yang menempel pada manusia, dan sangat merusak keberadaan manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Padahal manusia tidak pernah diciptakan untuk mengalami kematian. Jikalau Allah itu tak berkematian, yang di dalam diri Allah terdapat Firman Allah dan Roh Allah yang juga tak berkematian, yang mana sifat ini secara adikodratri dalam dzat-hakikat di dalam kedalaman diri Allah tak terlampaui segala akal dan pikiran serta tak dapat dijelaskan dengan pemahaman filosofi manusia, maka manusia yang diciptakan menurut gambar Allah (Septuaginta: κατ᾿εἰκόνα Θεοῦ, kat’ikona Theu) juga memiliki sifat tak berkematian, walaupun tak berkematian bagi manusia ini berbeda dengan tak berkematiannya Allah, sebab Allah tak berawal dan tak berakhir, yang disebut dalam Alkitab sebagai “alfa dan omega,” sedangkan manusia ini memiliki awal tetapi tak memiliki akhir.
Kita tentu tidak lupa ketika Taurat memberi kesaksian kepada kita bahwa: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27) Manusia diciptakan dalam gambar Allah, bukan diartikan bahwa wujud manusia ini adalah wujudnya Allah, tetapi manusia diciptakan dalam pola atau model dari Sang Gambar Allah, yang mana Alkitab juga memberikan kepada kita kesaksian bahwa: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3). Gambar wujud Allah inilah yang dalam bahasa teologis Gereja disebut sebagai Anak Allah, yaitu Yesus Kristus, Sang Mesias, Firman Allah yang menjadi daging, sesuai Injil Yohanes 1:14. Jadi, Anak Allah ini bukan Allah melahirkan anak secara biologis dengan perempuan, sebab Allah adalah roh dalam sifatnya dan tidak memiliki wujud jasmani.
Allah yang melampaui waktu, yang dalam kekekalan diri-Nya, saling memancarkan kasih dalam Roh, Allah mengasihi Firmannya dan Rohnya, dalam hubungan timbal-balik yang tak terpahami dan tak terjangkau akal manusia, mengalami “kegelisahan” di dalam diri-Nya. Saya pribadi menggunakan kata “kegelisahan” di sini dalam konteks antromorfisme (sifat manusia yang dikenakan kepada Allah), sebab tidak ada satupun kosakata di dunia ini yang dapat dipakai untuk menyatakan kekaguman kita kepada kemahakuasaan Allah yang tak terbatas. “Kegelisahan” Allah ini semata-mata didasari atas kasih, sebab “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8), dan kasih itu memiliki sifat “tidak berkesudahan” (1 Korintus 13:8). Kasih itu mencari “sasaran kasih,” sebagai contoh: Seorang laki-laki yang mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya, di dalam dirinya akan timbul keinginan untuk mengasihi orang lain, sebagaimana ia telah dikasihi, karena itu ia akan mencari “sasaran kasih” yang lain, yaitu seorang perempuan, dan wujud kasih itu dinyatakan dalam bukti ia menikahi perempuan tersebut. Mereka saling mengasihi, dan sebagaimana kasih itu selalu mencari sasaran kasih yang lain, mereka mencari “sasaran kasih” yang baru, yaitu anak sebagai buah pernikahan mereka.
Dengan demikian, seperti kisah tersebut, maka Allah di dalam diri-Nya yang saling mengasihi sejak kekal, menginginkan “sasaran kasih” di luar dirinya yang mahakasih dan mahakekal itu. Oleh sebab itu Allah menciptakan malaikat sebagai makhluk rohani, serta langit dan bumi sebagai benda-benda jasmani, serta makhluk yang memiliki dua keberadaan, yang jasmani dan rohani, yaitu manusia. Manusia adalah mahkota penciptaan dan mahkota segala makhluk, sebab tidak ada satupun makhluk yang diciptakan Allah memiliki keagungan, seperti yang dinyatakan dalam kitab Mazmur: “Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mazmur 8:5-6). Manusia sebagai mahkota ciptaan dan mahkota segala makhluk diberikan kuasa atas ciptaan yang lain, sebagai refleksi atau gambaran dari Anak Allah (Firman Allah) yang memiliki kuasa atas langit dan bumi. Ketika dikatakan Firman Allah berkuasa atas langit dan bumi, ini bukanlah hal musyrik, sebab Kitab Suci mengajarkan kepada kita: “Aku (Anak Allah) keluar dan datang dari Allah” (Yohanes 8:42). Keberadaan Firman Allah di dalam diri Allah yang Esa tidak menjadikan adanya dua ilah, namun menegaskan keagungan dan kedalaman diri Allah. Seumpama saja, perkataan saya yang ada dalam diri saya, tidak pernah menjadikan saya sebagai dua, saya tetap satu. Kemuliaan yang dimiliki manusia sebagai yang berkuasa atas ciptaan merupakan bukti konkret tak terbantahkan bahwa manusia adalah gambaran atau “fotokopi” dari Gambar Allah (Anak Allah), yang olehnya Allah telah menciptakan segala sesuatunya.
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah tidak membiarkan manusia selama-lamanya hidup dalam keberdosaannya, karena itulah ia mengutus Anak-Nya, yang sekali lagi, karena kasih karunia yang begitu besar, demi keselamatan manusia. Jadi keselamatan itu bukan “sesuatu” tetapi “seseorang” dan “seseorang” itu adalah Pribadi Anak Allah yang menjadi manusia, yang menggenapkan segala korban dan persembahan keselamatan dan pengampunan dosa dalam Perjanjian Lama, yang secara prinsip korban dan persembahan itu tidak pernah dihapuskan untuk selama-lamanya. Jadi, inilah kasih karunia itu: Sang Firman Allah atau Anak Allah, sebagai Sang Keselamatan yang dipersembahkan bagi manusia, sebagai wujud kasih Allah yang begitu besar kepada manusia, dan turunnya Anak Allah ke dalam dunia ini benar-benar insiatif Allah sendiri di dalam diri-Nya tanpa campur tangan dari siapapun.
Inilah kebenaran ilahi yang dinyatakan kepada manusia, bahwa inisiatif keselamatan itu bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah sendiri, dan tanpa Allah yang memulai lebih dahulu, manusia dengan segala upaya dan caranya tidak akan pernah dapat diselamatkan. Keselamatan ditawarkan kepada semua orang, bukan kepada si A, si B, si C atau golongan, bangsa dan kelompok orang tertentu. Adalah sebuah kesalahan ketika mengatakan bahwa mereka yang terpilih, bahkan secara ekstrim mengatakan mereka yang diselamatkan adalah mereka yang telah ditentukan sejak awal oleh Allah, inilah yang disebut sebagai predestinasi, entah dalam bentuk predestinasi ganda atau bukan.
Ayat “emas” yang sering dipakai untuk mengukuhkan opini teologi tentang predestinasi adalah: “sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Efesus 1:4). Ayat di atas adalah Efesus 1:4 dalam Terjemahan Lama, dan pada kali ini marilah kita akan melihat ayat ini dalam Terjemahan Lama yang mengatakan: “sebagaimana yang Ia memilih kita di dalam Kristus itu sebelum dunia ini dijadikan, supaya kita suci dan tiada bercela di hadapan Tuhan.” Dalam tata bahasa kita, pemindahan suatu frase dapat mengakibatkan pergeseran bahkan perubahan makna suatu kalimat, sebagai contoh: “saya di warung makan bakso yang panas” dan “saya makan bakso di warung yang panas.” Dua kalimat ini memiliki unsur-unsur kalimat yang sama, tetapi ketika frase “di warung” dipindahkan, maka maknanya berubah, sekarang manakah yang memiliki sifat panas, warungnya atau baksonya? Sedangkan dalam tata bahasa Alkitab, penunjuk mana subyek dan mana obyek sangatlah jelas. Dalam nats ini, yang dipilih sebelum dunia dijadikan adalah “Dia” (Terjemahan Baru) atau “Kristus” (Terjemahan Lama).
Jika yang dipilih adalah manusia pribadi lepas pribadi, maka keberadaan manusia pribadi lepas pribadi sebelum ia diciptakan sudah ada, karena ada pemilihan pribadi lepas pribadi, padahal nats ini menyatakan bahwa “kita” yang di dalam Kristus adalah manusia dalam keutuhannya sebagai satu hypostasis, bukan banyak individu, bukan si A, si B, si C. Jikalau demikian, apa bedanya dengan ajaran Gnostik yang dicuatkan oleh Origenes tentang jiwa manusia yang sudah ada sebelum ia dilahirkan, dan jiwa ini sudah ditentukan untuk mengalami ini dan itu. Jadi setelah manusia itu lahir, maka manusia sudah ditentukan jalan hidupnya, apakah ia akan diselamatkan (memperoleh kehidupan) atau memperoleh kebinasaan. Pandangan seperti ini muncul ketika manusia melihat realita kehidupan, ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, sehingga ia berasumsi dari apa yang kelihatan dan menarik ke belakang sehingga muncul pemikiran “Oh, mungkin ada manusia yang sudah dilahirkan baik dan ada manusia yang dilahirkan jahat, karena itu dia mau diajar kebenaran injil bagaimanapun tetap murtad,” lalu diambil kesimpulan berdasarkan asumsi bahwa “mungkin sebelum dilahirkan dia sudah ditentukan jahat untuk masuk neraka.”
Dengan demikian, pandangan bahwa “mungkin sebelum dilahirkan dia sudah ditentukan jahat untuk masuk neraka” ini adalah asumsi yang dibangun di atas asumsi, akhirnya menghasilkan asumsi yang lain: “kalau begitu ada juga orang yang ditentukan saleh sehingga ia masuk sorga,” bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan: “dia jadi gay atau lesbi karena Allah menetapkannya demikian,” atau: “memang Allah menjadikan manusia berdosa.” Sungguh ini benar-benar pemikiran yang rusak, tersesat dan tidak bertanggung jawab, dengan berpikir demikian, manusia sudah menghujat Allah yang menciptakan dia. Cara pandang seperti ini adalah cara pandang dualisme filsafat pagan Gnostik Yunani pra-Kristen: Allah menciptakan yang baik dan buruk, Allah menciptakan sorga dan neraka dan sebagainya. Pemikiran seperti ini adalah pikiran terkutuk dan tidak Alkitabiah dan tidak memiliki dasar Biblikal apapun, ini adalah bentuk pemaksaan opini pribadi dengan mencari dukungan ayat Alkitab, dan ini menyangkal sifat Allah sendiri: “Allah adalah kasih.”
Allah menciptakan manusia di dalam Kristus, dan pemilihan manusia di dalam Kristus adalah memiliki tujuan yang satu, yaitu “supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Inilah destinasi atau tujuan penciptaan manusia. Jadi predestinasi dalam iman Gereja Timur adalah: Takdir manusia yang diciptakan dalam gambar Allah adalah agar manusia itu kudus dan tak bercacat, sebagaimana gambar Allah itu kudus dan tak bercacat. Dan inilah predestinasi yang Alkitabiah, yang diajarkan oleh Gereja Timur sepanjang ia hadir di dunia ini. Jika Allah itu suci, maka gambar Allah yang adalah Anak Allah bersama Roh Allah yang satu dzat-hakikat dengan-Nya juga suci, dan tak mungkin dalam diri Allah yang suci terdapat “sesuatu” yang tiga per empat, setengah bahkan seperempat suci. Dengan demikian jikalau Allah itu baik, maka Anak Allah dan Roh-Nya juga baik, tidak mungkin tiga per empat, setengah bahkan seperempat baik. Karena itulah manusia yang diciptakan sebagai “fotokopi” juga diciptakan baik dan suci, tidak ada cacat di dalam manusia, sebagaimana Allah Sang Pencipta juga tiada bercacat.
Mengatakan bahwa Allah hanya memilih sebagian yang diselamatkan karena sebagian itu ditentukan hidup suci dan baik itu adalah penghujatan akan kesucian dan kebaikan Allah. Allah tidak menciptakan setengah-setengah, karya Allah juga tidak setengah-setengah, kasih Allah itu juga tidak setengah-setengah. Kita tidak dapat mengatakan Allah menciptakan manusia ada yang suci ada yang jahat padahal Allah itu suci dan tiada kejahatan di dalam diri-Nya. Ini adalah pemaksaan pikiran terkutuk dan kafir manusia sebagai bukti nyata rusaknya manusia karena dosa.
Kejatuhan dalam dosa ini merusak manusia di semua aspek kehidupannya. Roh manusia terputus dari Allah, manusia kehilangan persekutuan dan daya hidup ilahi, yang berdampak langsung kepada tubuh. Roh pada akhirnya tidak dapat menopang kehidupan tubuh, kehidupan dan kehendak ilahi yang seharusnya diberikan Allah di dalam roh ini tidak sampai kepada kehidupan dan kehendak manusia, sehingga manusia menjadi rusak. Kerusakan ini tidak mampu menjadikan manusia menyembuhkan dan menyelamatkan dirinya, tetapi kerusakan ini tidak pernah menghilangkan kebebasan untuk berkehendak dalam diri manusia, sekali lagi, kebebasan untuk berkehendak tidak pernah hilang. Manusia dapat memilih bagi dirinya sendiri. Jadi, membuat sesuatu perbandingan bahwa kejatuhan manusia membuat manusia itu mati itu tidak benar. Orang mati tidak dapat melakukan aktivitas, tidak dapat berpikir dan tidak dapat memilih apa-apa. Orang mati hanya dapat diam saja tidak melakukan atau memilih apa-apa.
Dalam keberdosaannya manusia tetap memiliki kerinduan akan Allah, inilah yang disebut sebagai naluri agamawi. Naluri agamawi tidak pernah juga hilang dalam diri manusia, hanya saja akibat kejatuhan ini, naluri agamawi menjadi bias dan kabur, manusia menjadi tersesat dan salah arah, tidak tahu siapa dan apa yang dicari serta bagaimana mencarinya. Karena itulah Allah yang Mahaagung -dalam kasih karunia- melihat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah (Anak Allah) yang sudah rusak itu, semata-mata karena kasih, ingin menyelamatkan dan mengembalikan manusia. Jadi tanpa inisiatif dari Allah, manusia tidak akan pernah menemukan keselamatan dan tidak pernah tahu bagaimana diselamatkan. Allah sendiri yang berinisiatif menyelamatkan manusia melalui Dia yang olehnya Allah menciptakan manusia, dan keselamatan itu ditawarkan kepada semua manusia, bukan kepada si A, si B, si C atau kelompok tertentu. Bahkan pemilihan bangsa Israel menjadi umat pilihan Allah tidak pernah menjadikan hanya bangsa Israel saja yang berhak mendapatkan keselamatan, justru panggilan kepada Israel melalui Abraham adalah “dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:3). Allah memilih keturunan Abraham, yaitu Israel, sebagai yang pertama di antara bangsa-bangsa, untuk menyampaikan berita keselamatan itu kepada bangsa-bangsa lain, bukan hanya untuk orang Israel saja. Jadi pemilihan atas Israel tidak serta-merta menjadikan bangsa Israel auto-selamat dan bangsa lain di luar Israel auto-kafir dan auto-laknat. Bahkan ketika bangsa Israel sudah dipilih, mereka diajarkan: “Sebab perintah ini, yang kusampaikan (dari Allah) kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh… Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan. Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, …” (Ulangan 30:11, 14-15).
Pemilihan bangsa Israel tidak ada sangkut-pautnya dengan auto-selamat karena dipilih Allah. Jadi menjadikan rujukan ini sebagai dasar bahwa Allah memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian tidak merupakan opini pribadi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara dogmatis, historis dan tradisi Gereja. Memang ada bapa gereja, seperti Agustinus dari Hyppo, uskup Karthago, yang menyebutkan tentang pemilihan, tetapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut pemilihan seperti apa dan tidak patut bagi kita untuk menafsirkan sesuka hati, seperti yang dilakukan oleh Anselmus, uskup Canterbury, dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh di Eropa Barat pada masa setelahnya.
Pemilihan bangsa Israel sebagai umat Allah didasarkan pada “perjanjian dengan Allah,” bukan karena pemilihan “suka-suka” atas “sesuka hati Allah” memilih. Buktinya, mereka yang disebut “umat pilihan” ketika berbuat dosa, mereka tidak luput dari penghakiman Allah, agar dosa ini tidak menular kepada bangsa Israel yang lain. Jadi dosa yang dilakukan oleh umat “pilihan” Allah adalah “pilihan” mereka, tidak pernah disaksikan kepada kita bahwa mereka sebagai umat pilihan langsung auto-holy (suci otomatis), tetapi justru mereka diperhadapkan kepada pilihan untuk setia kepada Allah (dengan pergumulan yang luar biasa berat dan aturan hukum yang sangat sulit) atau tidak. Justru Paulus menjadikan kesaksian Israel dengan mengatakan: “semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba” (1 Korintus 10:11).
Demikian yang terjadi kepada Israel juga terjadi kepada kita, Allah telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepada kita, Ia telah menawarkan kepada kita keselamatan di dalam Anak-Nya terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus, yang semata-mata oleh kasih karunia dan inisiatif Allah sendiri, yang tanpanya kita tidak akan pernah mengerti dan menerima keselamatan itu. Kita diperhadapkan kepada pilihan, mau menyambut keselamatan itu atau tidak, semua kembali kepada kita. Allah menciptakan manusia dalam kasih, menjadikan manusia dengan kemuliaan dan keagungan sebagai mahkota segala makhluk, dan ketika manusia itu jatuh karena dosanya, Allah tetap menginginkan pertobatan umat-Nya, dan Ia ingin semua manusia diselamatkan, inilah kasih Allah yang begitu besar. Allah yang berinisiatif terlebih dahulu bagi manusia, dan marilah kita menyambut undangan keselamatan itu, dan hidup dalam keselamatan itu, agar kita tidak kehilangan keselamatan itu, walaupun keselamatan itu prinsipnya tidak pernah hilang. Manusialah yang menolak keselamatan itu.
... sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad. Amin.