(oleh Arkhimandrit Rm. Daniel B.D. Byantoro)
Dari apa yang kita bahas di atas, nyatakah bahwa Gereja Orthodox menekankan bahwa Kristus itu memiliki kemanusiaan yang sempurna, dalam segala hal ia sama dengan segenap manusia lainnya. Untuk makin menegaskan kemanusiaan Kristus maka dalam Konsili Ekumenis yang Ketujuh pada tahun 787 Masehi, Gereja Orthodox melawan ajaran “Ikonoklasme”. Sejak zaman perdana Gereja Rasuliah itu telah menggunakan “symbol-symbol” dan gambar-gambar, terutama di katakombe-katakombe. Dan itulah yang akhirnya berkembang menjadi seni Ikonografi dalam Gereja Timur.
Berawal dari abad ketujuh Kaisar Leo dari Isauria melarang penggunaan Ikon karena dianggap sebagai berhala dan terus berlangsung sampai abad kedelapan. Dengan demikian ikon-ikon diperintahkan untuk dihancurkan. Umat Orthodox yang tetap mempertahankan Ikon dianiaya dan dibunuh. Untuk melawan ajaran Ikonoklasme inilah maka Konsili Ekumenis yang Ketujuh diadakan.
Dalam Konsili itu dijelaskan oleh Gereja bahwa Ikon tak ada sangkut pautnya dengan berhala, namun merupakan dampak langsung dari penghayatan akan ajaran tentang Inkarnasi, dan harus merupakan bagian integral dari theologia Orthodox. Gereja Orthodox memiliki ikon-ikon atau gambar-gambar simbol theologis yang mengekspresikan iman dan dogmanya. Sehingga ikon-ikon ini disebut sebagai “theologia dalam warna”. Ikon ini berasal dari Alkitab itu sendiri.
Memang pada saat Allah menyatakan Diri kepada Musa dan memberikan Dasa Titah, dikatakan: “Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun… Jangan sujud menyembahnya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu…” (Keluaran 20: 3-5). Di sini larangannya adalah jangan ada “ilah lain” di hadapan Allah yang Esa, sehingga ilah lain itu diekpresikan sebagai “patung yang menyerupai apapun” untuk “disujud-sembahi” dan untuk “diibadahi” sebagai tandingan Allah.
Larangan ini disebabkan TUHAN itulah Allah bukan patung-patung tadi. Jadi yang dilarang di sini adalah “patung ilah” atau “patung dewa” yang diibadahi sebagai tandingan Allah, bukan asal patung saja. Allah yang Esa tak dapat dipatungkan karena pada waktu Dia menyatakan Diri itu tanpa wujud dan bentuk yang kelihatan, sebagaimana yang dikatakan : ”Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; SUARA KATA-KATA KAMU DENGAR, TETAPI SUATU RUPA TIDAK KAMU LIHAT, hanya ada suara…. Hati-hatilah sekali – sebab KAMU TIDAK MELIHAT SESUATU RUPA pada hari TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api – supaya JANGAN KAMU BERLAKU BUSUK DENGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI BERHALA APAPUN…..” (Ulangan 4:12,15-16).
Menurut ayat-ayat ini pembuatan patung berhala atau patung ilah yang menggambarkan Allah dilarang, karena Allah menyatakan Diri hanya berwujud suara saja, tanpa rupa yang kelihatan. Karena tanpa rupa yang kelihatan, berarti membuat gambaran tentang Allah dalam patung adalah dusta sebab patung yang sedemikian hanyalah reka-rekaan manusia yang bukan menggambarkan realita yang sebenarnya, oleh karena itu dilarang.
Namun jika patung itu bukan patungnya Allah, ilah atau Dewa, bukan saja tak dilarang malah diperintahkan, contohnya: patung Kerubim dalam Ruangan Maha Kudus (Keluaran 25: 18-20), dan patung-patung serta gambar-gambar (ikon-ikon) yang ada di dalam Bait Allah yang dibangun oleh Salomo (Sulaiman) (I Raja-raja 6:23-35). Demikianlah larangan membuat patung itu mutlak sifatnya jika yang dipatungkan adalah Allah sendiri, ilah, atau Dewa. Namun jika itu patung atau gambar makhluk Allah dan tidak dianggap ilah serta tidak diibadahi sebagai ilah, bahkan sebagai alat ibadah dan ditempatkan di rumah ibadahpun tidak dilarang, seperti yang kita lihat dalam bukti-bukti di atas.
Jika larangan membuat patung dalam Perjanjian Lama hanya dibatasi pada patungNya Allah, ilah, atau Dewa saja karena terkait dengan cara Allah menyatakan Diri, bagaimanakah dengan Perjanjian Baru? Dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri dengan cara yang lain. Dia menyatakan diri dalam “Wujud yang Nampak” bukan tanpa rupa yang tak kelihatan yaitu dengan jalan: ”Firman itu telah menjadi MANUSIA…. Dan kita TELAH MELIHAT kemuliaanNya….” (Yohanes 1:14 ). Jadi penampakan diri Allah dalam Perjanjian Baru melalui FirmanNya itu dengan Wujud Yang Nampak: Manusia yang Dapat Dilihat.
Wujud Penampakan Allah dalam FirmanNya yang Menjelma yang dapat dilihat itu begitu nyatanya, sehingga dikatakan: ”Apa yang telah ada sejak semula, yang telah KAMI DENGAR, yang telah KAMI LIHAT DENGAN MATA KAMI, yang telah KAMI SAKSIKAN dan yang telah KAMI RABA DENGAN TANGAN KAMI tentang FIRMAN HIDUP- itulah yang kami tuliskan kepada kamu (I Yohanes 1:1). Firman itu disebut “Firman Hidup”: karena Dia menyatakan Diri sebagai makhluk hidup: Manusia, bukan buku mati yang berwujud tulisan. Begitu hidupnya penampakan ini sehingga, Ia telah: di dengar, dilihat dengan mata, disaksikan, diraba dengan tangan. Jika larangan Perjanjian Lama tentang pembuatan patung Allah itu terkait dengan penampakannya yang tanpa rupa, sekarang Dia nampak “Dengan Rupa”, masihkah larangan itu berlaku? Jelas tidak. Keberadaan Allah yang azali dan ghaib itu tetap tak dapat digambarkan, namun keberadaan penampakanNya sebagai manusia yang telah di dengar, dilihat, disaksikan dan diraba dengan tangan itu jelas dapat dan harus digambarkan untuk menegaskan bahwa Allah sekarang sudah menampakkan Diri bukan tanpa rupa lagi, namun “DENGAN RUPA”.
Karena pada saat membuat patung Allah dalam Perjanjian Lama masih dilarang saja, patung yang bukan Allah malah diperintahkan untuk membuat untuk tujuan ibadah, apalagi sekarang. Itulah sebabnya ada Ikon. Ikon menegaskan makna Inkarnasi Kristus. Yang digambarkan bukan keilahianNya yang tak nampak, namun pribadiNya yang menyatakan Diri dalam penampakan Manusia. Jadi Ikon punya fungsi Dogmatis dan Theologis, bukan hanya sekadar hiasan. Oleh karena itu bentuknya bersifat simbolis bukan menggambarkan bentuk manusia natural, namun bentuk simbol dogmatis. Mengapa tidak membuat patung saja kalau begitu?
Karena yang digambarkan adalah fungsi theologis dan dogmatisNya, bukan hanya sekadar keindahan estetika naturalnya, maka penggambaran itu harus sesuai dengan julukan theologia bagi penampakan Kristus. Ketika Kristus menampakkan Diri, Dia tak disebut sebagai “PatungNya Allah”, namun sebagai “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II Korintus 4:4, Ibrani 1:3). Itulah sebabnya rekaman inkarnasiNya bukan berwujud patung namun “Gambar,” yang bahasa Yunaninya berbunyi “Ikon”.
Konsisten dengan makna theologis bagi Inkarnasi Kristus inilah Gereja Orthodox tak pernah menggunakan patung, meskipun Perjanjian Lama mengijinkan pembuatan patung, sebab tolok-ukurnya adalah Inkarnasi (Penjelmaan) Firman Allah sebagai manusia. Mengapa ada juga Ikon orang kudus, bukan Kristus saja? Karena orang-orang kudus itu adalah yang “ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan Gambaran AnakNya” (Roma 8:29). Jadi mereka adalah “keserupaan Gambar Kristus”, sebagai dampak langsung dari Inkarnasi, itulah sebabnya mereka juga digambarkan. Dengan adanya Ikon maka fakta Inkarnasi Kristus yang betul-betul memiliki daging jasmani ini ditegaskan. Karena manusia daging jasmani itu memang dapat digambarkan. Namun itu juga menegaskan bahwa benda jasmani sebagai wakil dari segenap alam ciptaan ikut mengalami pemuliaan akibat karya keselamatan di dalam Kristus. Karena itu benda jasmani bukanlah sesuatu yang asing yang boleh diabaikan dalam pemahaman akan keselamatan.
Keikut-sertaan benda jasmani dalam karya penebusan ini menyebabkan akan adanya langit baru dan bumi baru. Itulah sebabnya karena benda jasmani yang ikut terangkul dalam penebusan itu tak dapat memuji Allah pada dirinya sendiri, diikutsertakan oleh Gereja Orthodox dalam ibadahnya kepada Allah, yaitu dalam bentuk diikutkannya unsur kayu sebagai bahan pembuat ikon, unsur api dalam lilin dan arang untuk dupa, unsur wangi-wangian dalam bentuk dupa, unsur makanan dalam bentuk roti Perjamuan, unsur minuman dalam bentuk Anggur Komuni, unsur air dalam baptisan dan upacara penyucian air, unsur minyak untuk lampu kandil dan untuk pengurapan, dan sebagainya.
Unsur-unsur benda jasmani ini bukan sebagai sandaran penyembahan, namun sebagai “mitra” untuk bersama diajak menyembah Allah. Karena dengan demikian mengingatkan umat Orthodox bahwa unsur jasmani itu juga dirangkul dalam penebusan, dan unsur-unsur jasmani itu nantinya akan ikut dimuliakan dalam bentuk dijadikannya “langit yang baru dan bumi yang baru” itu. (II Petrus 3:12). Kesimpulan dari semua yang kita bahas ini jelas terlihat bahwa memang Gereja Orthodox tidak tertarik untuk bertheologia demi kepentingan akademik murni, ataupun hanya demi kepentingan spekulasi filsafati, serta hanya demi untuk menambah pengetahuan saja, namun itu dilakukan demi menjaga “keselamatan” manusia, dan demi memungkinkan “manunggalnya” manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kiranya Kristus ditinggikan dan Nama Allah dipuji. Amin.