Diperingati Gereja Orthodox pada 16 Januari (kalender sipil) / 3 Januari (kalender Gereja purba)
Janasuci Gordius berasal dari Keasarea di Kappadokia (sekarang wilayah Turki Modern). Ia adalah seorang perwira dalam pasukan Romawi selama pemerintahan Kaisar Licinius (308-324). Setelah melihat kekejaman yang ditimpakan pada orang-orang Kristen oleh para penganut pagan Yunani dan mendengar hujatan mereka terhadap Kristus, dia melepaskan diri dari korps ketentaraan, lalu menjauhkan diri dari kota. Dia menyingkir ke sebuah gunung, dan di sana dia hidup dengan binatang buas. Di sinilah dia hidup dalam ketenangan sebagai seorang pertapa yang memusatkan hidupnya dengan berdoa dan berpuasa. Kehidupan inilah yang membuat Kristus memenuhi hidupnya dengan kehidupan kasih dan kesalehan. Dengan kuasa Tuhan, ia mendapatkan keberanian untuk menghadapi kesesatan orang Yunani. Dia meninggalkan padang gurun dan memasuki kota. Kali ini selayaknya seekor singa yang kuat (Amsal 28: 1), ia siap menghadapi penguasa yang dikenal karena kekejaman yang keji terhadap orang Kristen.
Saat itu, di kota sedang ada festival untuk menghormati dewa perang Ares. Seluruh penduduk Keasarea berkumpul di teater untuk menyaksikan pertandingan dan pacuan kuda. Gordius memasuki arena teater (saat itu tahun 314), dengan penampilannya yang terlihat liar dan buas sebagai dampak dari perantauannya yang lama di hutan belantara. Ia berjenggot panjang, pakaian lusuh, rambut tak terawat, tubuh yang mengeras, dan membawa tongkat yang dilengkapi dengan kantong. Namun di luar semua itu, dengan penuh kasih karunia dia mulai memberitakan Kristus secara terbuka. Karena penampilannya, semua orang menoleh ke arahnya dan mendengarkannya. Gubernur penguasa kota itu kagum dengan keberaniannya, dan menjadi marah ketika dia bertanya dan mengetahui pangkat ketentaraannya sebelumnya.
Untuk alasan ini, dia memerintahkan mengeksekusi Janasuci ini setelah gagal membujuknya dengan ancaman dan pujian untuk menyangkal Kristus. Teman dan kerabatnya juga mencoba membujuk sang janasuci untuk menyelamatkan hidupnya, namun ia menolak dan memberi tahu mereka bahwa adalah suatu kebodohan untuk menambah kehidupan duniawi dan kehilangan kehidupan kekal jika dia mengindahkan nasihat mereka. Lalu seluruh warga kota pergi ke tempat eksekusi, dan setelah Martir ini membentengi dirinya dengan tanda Salib, dia menyerahkan dirinya untuk dipenggal, dan melalui eksekusi ini ia menerima mahkota kemartiran.
Sebagian dari relik sucinya dapat dihormati hari ini di Biara Suci Panteleimon di Gunung Suci Athos, Yunani. Js Basilius Agung mengkhotbahkan encomium untuk menghormatinya pada hari festival beberapa dekade setelah peristiwa kemartirannya. Synaxarion Konstantinopel menetapkan pestanya pada tanggal 3 Januari (kalender Gereja purba). Js. Basilius menulis kata-kata indah berikut tentang pengunduran diri Js. Gordius ke hutan belantara dan kemunculannya di kota :
“Dia menganggap hidup dengan binatang buas lebih beradab daripada bergaul dengan penyembah berhala, seperti yang dilakukan oleh Elias yang teguh, yang ketika dia melihat bahwa penyembahan berhala menguasai Sidon, lari ke Gunung Horeb dan tinggal di gua, mencari Tuhan sampai dia melihat objek keinginannya sebanyak mungkin untuk dilihat oleh manusia (1 Raja-raja 19: 1-18). Jadi Gordius juga seperti itu, berpaling dari politik kekacauan, kerumunan, kesombongan hakim, pengadilan hukum, pengkhianat, penadah, pembeli sumpah, pembohong, pengucap kata kotor, pembicaraan sembrono, dan semua yang lain. Kota-kota padat penduduk menyeret mereka. Memurnikan telinganya, menyucikan matanya, dan yang terpenting adalah memurnikan hatinya, sehingga dia dapat melihat Tuhan dan menjadi diberkati, dia melihat melalui wahyu, dia mempelajari misteri, bukan dari manusia bukan melalui manusia tetapi karena dia memiliki Roh Kebenaran sebagai gurunya yang agung. Itulah sebabnya, ketika dia merenungkan betapa tidak menguntungkan dan sia-sia kehidupan itu, betapa hidup itu lebih lemah daripada setiap mimpi dan bayangan, dia ingin lebih tajam memenuhi panggilan surgawi. Dan dia seperti seorang atlet, menyadari bahwa dia cukup terlatih dan diurapi minyak untuk perlombaan dengan cara berpuasa, berjaga-jaga, doa yang terus menerus dan tiada henti, meditasi ucapan-ucapan Roh. Dengan mata tertuju pada hari itu di mana seluruh kota merayakan pesta untuk menghormati iblis yang gemar berperang, menempati teater untuk melihat pacuan kuda. “
.
.