(Ilustrasi yang menggambarkan seseorang yang sedang berdoa puja Yesus dalam tradisi Kristen Orthodox, sambil memegang komboskini (tali doa). Posturnya tenang dan penuh khidmat, tenggelam dalam kontemplasi spiritual.Gambar ini menangkap esensi kerendahan hati dan devosi.)
.
Dalam konteks teologi Orthodox, kerendahan hati dianggap bukan sekadar aspek, melainkan inti dari kehidupan rohani yang autentik. Dalam tradisi ini, kerendahan hati bukan hanya sekadar kebajikan biasa, tetapi adalah dasar yang mendukung semua kebajikan lain. Esensi dari kerendahan hati menurut ajaran ini adalah pemahaman yang jujur tentang diri sendiri – sebuah pengakuan akan keterbatasan, kekurangan, dan kebutuhan manusia akan bantuan serta kasih karunia dari Tuhan.
Pandangan ini menekankan bahwa kerendahan hati bukan hanya menolak keangkuhan dan keegoisan, tetapi juga aktif dalam pengakuan akan kelemahan dan dosa kita. Ini bukan hanya tentang menghindari perasaan superioritas, melainkan juga tentang pengakuan yang tulus akan kebutuhan kita terhadap Tuhan dan belas kasihan-Nya. Dengan kerendahan hati, kita belajar untuk tidak mengandalkan kekuatan kita sendiri, tetapi menyerahkan diri pada kebijaksanaan dan rahmat Tuhan.
Lebih lanjut, kerendahan hati erat kaitannya dengan konsep cinta kasih dan pelayanan dalam teologi Orthodox. Kerendahan hati mengajarkan kita untuk melihat dan melayani orang lain dengan kasih tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Hal ini tergambar jelas dalam ajaran Janasuci Yohanes Krisostomos, yang menganggap kerendahan hati sebagai kunci untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencapai kesucian. Melalui kerendahan hati, seseorang mampu melupakan ego dan keinginan pribadi, dan lebih mengutamakan kehendak Tuhan serta kebaikan bagi sesama.
Pandangan Orthodox tentang kerendahan hati juga menggarisbawahi bahwa hal ini tidak hanya sekadar sikap yang terlihat dari luar. Lebih dari itu, kerendahan hati adalah kondisi batin yang mendalam, di mana seseorang secara konsisten menyadari dan bergantung pada Tuhan. Dalam tradisi ini, kerendahan hati sering dijuluki sebagai “bunda dari semua kebajikan,” karena melalui kerendahan hati, kita dapat mengembangkan berbagai kebajikan lain dan mendekatkan diri pada esensi spiritualitas yang sesungguhnya – mengakui keterbatasan manusia dan sepenuhnya mengandalkan kasih serta rahmat Tuhan.
Dalam konteks teologi Orthodox, kerendahan hati dianggap sebagai salah satu prinsip dasar yang sangat penting, yang tercermin dalam beberapa ayat Alkitab yang krusial. Misalnya, seperti yang disampaikan oleh rasul Paulus sebagai berikut : “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filipi 2:3-4)
Ayat ini memberikan kita pemahaman bahwa dalam berinteraksi dan bertindak, kita harus melepaskan ambisi pribadi dan keinginan untuk dipuji, menggantinya dengan sikap menghargai dan mengutamakan orang lain. Hal ini menekankan nilai penting dari kerendahan hati dalam membangun hubungan antar manusia yang lebih sehat dan lebih berorientasi pada kebaikan bersama.
Selanjutnya dalam suratnya, rasul Yakobus menulis, “tetapi kasih karunia, yang dianugerahkanNya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (Yakobus 4:6)
Ayat ini membawa pesan kuat tentang bagaimana Tuhan memberikan kasih karunia-Nya kepada mereka yang memiliki hati yang rendah. Ini mengajarkan bahwa kerendahan hati bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan yang membuka pintu bagi kasih karunia ilahi. Dengan demikian, kerendahan hati menjadi jalan untuk mendekati Tuhan dan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan kita.
Sementara itu, rasul Matius menulis: “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12)
Secara jelas ayat ini menyatakan bahwa mereka yang merendahkan diri akan ditinggikan. Ini menggarisbawahi prinsip kerajaan surgawi, di mana nilai dan martabat seseorang tidak diukur dari posisi atau kekuasaan duniawi, melainkan dari kesediaan untuk merendahkan diri dan melayani orang lain. Dalam konteks ini, kerendahan hati menjadi kunci untuk memahami dan mengalami kebenaran yang lebih tinggi, yaitu bahwa kebesaran sejati terletak dalam kemampuan untuk menjadi rendah hati dan melayani.
Dari perspektif teologi Orthodox, ayat-ayat ini mengajarkan kita bahwa kerendahan hati adalah lebih dari sekadar sikap; ini adalah cara hidup yang mendalam dan mendasar. Kerendahan hati mengajak kita untuk melepaskan ego, membuka hati kita untuk belajar dan tumbuh, serta melayani sesama dengan cinta dan kasih tanpa pamrih. Ini adalah jalan untuk mencapai kesatuan yang lebih dalam dengan Tuhan dan sesama, menggambarkan esensi sejati dari spiritualitas yang mendalam dan otentik.
Dalam khazanah teologi Orthodox, kerendahan hati mendapatkan tempat yang sangat istimewa, sebagaimana dijelaskan oleh para Bapa Gereja yang terkemuka, seperti Janasuci Yohanes Krisostomos dan Janasuci Agustinus. Karya-karya mereka menyajikan kerendahan hati bukan hanya sebagai sebuah sifat, melainkan sebagai pondasi untuk kehidupan spiritual yang autentik.
Janasuci Yohanes Krisostomos, dalam tulisannya yang berjudul “On the Priesthood,” mengungkapkan bahwa kerendahan hati merupakan elemen krusial dalam kepemimpinan rohani. Beliau menekankan bahwa pemimpin yang sejati harus memiliki kesadaran akan keterbatasan mereka dan ketergantungan pada bimbingan ilahi. Ini menggambarkan sebuah paradigma kepemimpinan yang didasari oleh kesediaan untuk belajar dan tumbuh, serta ketundukan pada kehendak yang lebih tinggi, yaitu kehendak Allah.
Di lain pihak, Janasuci Agustinus dalam dua karyanya yang monumental, “Pengakuan” dan “Kota Tuhan,” membahas kerendahan hati sebagai lawan dari kesombongan. Baginya, kerendahan hati bukan sekadar kebajikan, tetapi merupakan pondasi dari semua aspek kehidupan Kristen. Dengan menekankan pentingnya mengakui kelemahan dan ketergantungan kita pada Tuhan, Janasuci Agustinus mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah jalan untuk menemukan kebenaran dan keselamatan.
Pemahaman ini menawarkan perspektif bahwa dalam teologi Orthodox, kerendahan hati diinterpretasikan sebagai lebih dari sekadar perilaku atau sikap; ini adalah sebuah orientasi hidup yang mendalam. Kerendahan hati mengajak kita untuk hidup dalam kesadaran penuh tentang keterbatasan diri kita dan terus-menerus bergantung pada rahmat Tuhan. Selain itu, kerendahan hati mendorong kita untuk mengutamakan kasih dan pelayanan kepada sesama, yang pada gilirannya membuka jalan bagi pencapaian kesucian dan kesatuan yang lebih dalam dengan Tuhan. Pendekatan hidup ini menandai kerendahan hati sebagai salah satu nilai inti dalam spiritualitas Orthodox, menunjukkan bahwa dengan merendahkan diri, kita sebenarnya mengangkat diri kita menuju ketinggian rohani yang lebih luhur.
Dalam konteks teologi Orthodox, “Philokalia” merupakan sebuah sumber yang kaya akan pemikiran spiritual mendalam, terutama mengenai topik kerendahan hati. Kumpulan tulisan ini, yang berisi ajaran dari berbagai Bapa Gereja Timur, menempatkan kerendahan hati sebagai pilar utama dalam perjalanan rohani. Dalam “Philokalia,” kerendahan hati tidak hanya dilihat sebagai sebuah kebajikan, tetapi sebagai dasar yang menyokong keseluruhan kehidupan rohani yang sejati.
Para penulis dalam “Philokalia,” termasuk Bapa-bapa Padang Gurun serta tokoh-tokoh seperti Janasuci Basilius Agung dan Gregorius dari Nazianzus, secara konsisten menekankan pentingnya kerendahan hati. Mereka memandang kerendahan hati sebagai kunci untuk mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi dan sebagai alat efektif untuk mengatasi dosa kesombongan. Dalam tradisi Orthodox, kesombongan sering dipandang sebagai akar dari banyak dosa lain, sehingga kerendahan hati menjadi vital dalam usaha melawannya.
Ajaran dalam “Philokalia” menggambarkan kerendahan hati bukan hanya sebagai penolakan terhadap kesombongan, tetapi juga sebagai penerimaan akan keterbatasan manusia dan ketergantungan total pada Tuhan. Dengan demikian, kerendahan hati membawa seseorang ke dalam hubungan yang lebih mendalam dan tulus dengan Tuhan, di mana ego dan keinginan diri dikalahkan demi kehendak ilahi.
Kerendahan hati, sebagaimana digambarkan dalam “Philokalia” dan oleh para Bapa Gereja, bukanlah suatu sikap pasif atau tunduk secara membabi buta, melainkan suatu sikap aktif dalam merendahkan diri, menerima kelemahan, dan bekerja untuk kebaikan orang lain. Ini adalah proses dinamis dan berkelanjutan dalam kehidupan rohani, di mana seseorang terus-menerus berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai Kristiani, mengakui bahwa segala kekuatan dan kebaikan berasal dari Tuhan.
Oleh karena itu, dalam konteks teologi Orthodox, kerendahan hati ditempatkan sebagai inti dari kehidupan rohani, sebuah prinsip yang tidak hanya mengubah individu tetapi juga membentuk cara mereka berinteraksi dengan dunia. Ini adalah jalan menuju kesucian dan transformasi diri yang sejati, di mana keegoisan dikalahkan dan kasih kepada Tuhan serta sesama menjadi pusat kehidupan.
Dalam teologi Orthodox, kerendahan hati dipandang sebagai katalis utama dalam perjalanan spiritual menuju kesempurnaan dan kesatuan yang lebih dalam dengan Tuhan. Hal ini tercermin dengan jelas baik dalam “Philokalia,” kumpulan tulisan spiritual yang mendalam dari Bapa Gereja Timur, maupun dalam ajaran-ajaran dari Bapa-bapa Padang Gurun.
“Philokalia,” yang merupakan sumber kebijaksanaan rohani yang luas, menempatkan kerendahan hati sebagai pondasi kehidupan rohani. Dalam kumpulan ajaran ini, kerendahan hati tidak hanya dilihat sebagai kebajikan yang diidamkan, tetapi sebagai prasyarat esensial untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Ini mencakup pengakuan akan keterbatasan diri dan kebutuhan akan bimbingan ilahi, yang memungkinkan seseorang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan rohani.
Sementara itu, Bapa-bapa Padang Gurun, dengan pengalaman spiritual mereka yang kaya, juga menekankan pentingnya kerendahan hati. Mereka menganggap kerendahan hati sebagai jantung dari perjalanan spiritual, menunjukkan bahwa hanya melalui sikap rendah hati dan penyerahan diri, seseorang dapat benar-benar mendekatkan diri kepada Tuhan.
Para Bapa Gereja, dengan kebijaksanaan yang telah mereka wariskan, mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah lebih dari sekadar sikap; ini adalah cara hidup yang menuntun seseorang untuk selalu mencari kehendak Tuhan dan bukan keinginan pribadi. Mereka percaya bahwa dengan merendahkan diri dan memprioritaskan kasih kepada Tuhan serta sesama, kita membuka pintu untuk pertumbuhan spiritual dan kesatuan yang lebih mendalam dengan ilahi.
Dengan demikian, dalam konteks teologi Orthodox, kerendahan hati dikenali sebagai kunci untuk mengatasi ego dan kebanggaan diri sendiri, membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan rohani. Ini bukan hanya jalan menuju kesucian pribadi, tetapi juga menuju pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana kita terhubung dengan Tuhan dan sesama. Kerendahan hati, oleh karena itu, dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan kehidupan duniawi dengan aspirasi spiritual, memandu kita pada perjalanan untuk mencapai kesempurnaan dan harmoni dengan Tuhan.
(Irene W.W, 23 Desember 2023)