Oleh : Archimandrite Romo Daniel D Byantoro
1.Puasa Dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama kita menjumpai banyak sekali ajaran tentang puasa. Puasa dalam bahasa Ibrani disebut sebagai ‘’sum’’ (sebanding dengan kata ‘’shoum’’ dalam bahasa Arab). Kata ‘’sum’’ (puasa) ini sering digabungkan dengan kata ‘’innah nefesy’’ (‘’merendahkan diri’’) – Imamat 16:29, 31. 23:27, 32, Bilangan 29:7; Yesaya 58:3, Mazmur 35:13-
Namun sering juga hanya disebut sebagai ‘’ tidak makan roti dan tidak minum air’’ saja ( Keluaran 34:28). Bentuk dan tujuan puasa itu banyak macamnya. Puasa itu dijalankan oleh umat Israel dalam persiapan mereka untuk perjumpaan dengan Allah ( Keluaran 34:28; Ulangan 9:9, Daniel 9:3). Puasa dijalankan oleh perorangan kalau mendapatkan masalah yang berat ( II Samuel 12: 16-23; I Raja-raja 21:27; Mazmur 35:13; 69:10).
Namun itu juga dilaksanakan oleh seluruh bangsa secara bersama jika menghadapi bahaya peperangan dan penghancuran (Hakim-hakim 20:26; II Tawarikh 20:3; Ester 4:16; Yunus 3:4-10);
pada saat ancaman bencana belalang (Yoel 1 dan 2); untuk mendapatkan keamanan perjalanan para tawanan kembali ke Yerusalem ( Ezra 8:21-23) dan sebagai upacara pendamaian dengan Allah (Nehemia 9:1); dan akhirnya berkaitan dengan upacara dukacita kematian ( II Samuel 1:12).
Puasa selalu dilakukan bersama-sama dengan doa ( Yeremia 14:11-12, Nehemia 1:4; Ezra 8:21, 23). Puasa biasanya dimulai dari pagi dan berakhir pada sore hari (Hakim-hakim 20:26; I Samuel 14:24; II Samuel 1:12), meskipun ada kalanya dilakukan puasa total 3 hari 3 malam (Ester 4:16).
Dalam Mazmur 109:24 kesulitan jasmani karena puasa merupakan refleksi kesulitan batin yang dialami oleh yang menjalankan puasa itu. Ada satu puasa yang diwajibkan bagi segenap bangsa Israel yaitu pada saat Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) – Imamat 16:29-31; 23:27-32; Bilangan 29:7) . Dan sesudah penghancuran Yerusalem (587 SM) puasa empat-buah hari-hari puasa ditetapkan sebagai peringatan (Zakharia 7:3-5; 8:19).
Sering makna puasa yang terdalam sebagai perendahan diri di hadapan Allah ini menjadi tak dimengerti serta diperdangkal oleh manusia, sehingga dianggap hanya sebagai usaha mencari pahala dari amal kesalehan saja. Para nabi berusaha keras menentang pendangkalan makna puasa ini (Yesaya 58:3-7; Yeremia 14:12), namun sering tak digubris. Pada zaman Yesus Kristus orang-orang yang ingin lebih mendalam dalam keagamaannya, terutama kaum Farisi, menjalankan puasa dua kali seminggu (Senin-Kamis) (Lukas 18: 12), demikian juga murid-murid Yohanes menjalankan peraturan yang sama.
2.Puasa dalam Perjanjian Baru
Kata ‘’sum’’ dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama ini berbunyi ‘’neestia/ nistia’’ dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru. Karena praktik yang sudah umum di antara bangsa Yahudi mengenai puasa ini, Yesus tidak memberikan rincian mengenai bagaimana harus berpuasa. Dia hanya mengandaikan bahwa orang beriman itu pasti berpuasa, yang disertai dengan sembahyang serta shodaqoh (tsedeqa, Ibrani) (Matius 6: 1-18).
Yesus mengatakan :’’ Dan apabila kamu berpuasa…’’ ( Matius 6: 16). menunjukkan ada saatnya orang beriman berpuasa (‘’apabila’’), sebagai suatu kemestian ibadah. Dia tak mengatakan :’’ Jikalau kamu berpuasa …’’,
seolah-olah orang beriman punya pilihan untuk melaksanakan kalau mau, atau tidak melakukan kalau tidak mau. Konteks kepada siapa Dia mengatakan ajaran ini tidak memungkinkan tafsiran yang demikian ini. Memang untuk murid-muridNya Yesus menunjukkan kapan saatnya mereka menjalankan puasa itu, pada saat Dia ditanya oleh orang-orang saat murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa: ’’Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-muridMu tidak?’’ ( Markus 2:18). Yesus menjelaskan bahwa saat berpuasa bagi murid-muridNya adalah nanti bila ‘’mempelai (Kristus) itu diambil dari mereka (naik ke Sorga)’’ ( Markus 2: 20): ‘’PADA SAAT ITULAH MEREKA AKAN BERPUASA’’ . Berarti puasa bagi murid Yesus barulah akan dijalankan sesudah Yesus naik ke sorga, oleh karena itu para murid tak diberi rincian aturan bagaimana berpuasa karena aturan puasa itu terkait dengan paripurnanya karya keselamatan Yesus yaitu naikNya ke Sorga.
Dengan demikian puasa yang akan dilakukan umat beriman itu berbeda dengan puasa umat Yahudi, puasa ini akan bersifat Kristus-sentris, sehingga oleh Yesus dikatakan bahwa puasa Kristen itu sebagai ‘’ kain yang belum susut’’ serta ‘’ anggur yang baru’’. Oleh sebab itu tak boleh ditambalkan pada ‘’baju yang tua’’ atau dimasukkan ke dalam ‘’kantong kulit yang tua ‘’ (Markus 2:21-22). Baju tua dan kantong kulit tua ini sistem keagamaan orang Yahudi. Sedangkan ‘’ kantong kulit yang baru’’ itu adalah kehidupan yang berpusatkan pada Kristus. Maka dalam konteks hidup dalam Kristus dan berlandaskan Kristus inilah puasa Kristen itu harus dilakukan. Namun Yesus sendiri juga memberi teladan bagaimana Dia sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam (Matius 4:2).
Yesus juga mengajarkan bahwa pada saat mengusir roh-jahat orang perlu berpuasa dan berdoa (Matius 17:21). Dan akhirnya kita melihat bahwa sesuai dengan ajaran Yesus Kristus, sesudah KenaikanNya ke sorga, para murid Yesus Kristus zaman perdana yaitu Gereja Kristus melaksanakan puasa ini (Kisah 13:3, 14:23).
Demikianlah data-data Alkitab mengenai bagaimana puasa itu dilaksanakan. Dan apa yang sudah dimulai dalam masa Perjanjian Baru ini dilanjutkan secara berkesinambungan dalam kehidupan Gereja sepanjang abad sebagaimana yang masih tetap dipelihara dalam Gereja Orthodox selama hampir 2000 tahun ini.