(Sebuah kontemplasi di Senin Bersih, Catur Dasa 2023.)
Hari ini, umat Kristen Orthodox memulai kembali sebuah perjalanan spiritual dengan memasuki masa puasa pra-Paskah atau yang lebih dikenal di kalangan umat Orthodox Indonesia dengan nama Puasa Agung Catur Dasa atau puasa 40 hari yang kemudian akan dilanjutkan lagi dengan Puasa Pekan Kudus pada minggu terakhir jelang hari raya Paskah.
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengingat kembali dan merefleksi makna puasa dan pentingnya puasa bagi kehidupan spiritual kita. Harapan saya tidak muluk-muluk, cukuplah agar kita semua dikuatkan dan dimampukan oleh Tuhan untuk menjalani masa puasa ini dengan berserah penuh kepada pemeliharaan-Nya. Kasih karunia-Nya cukup bagi kita!
Jika kita mengingat kembali kisah Transfigurasi dalam Matius 17:1-13, Markus 9:2-13, dan Lukas 9:28-36 kita tentu bisa membayangkan tiga sosok yang diselimuti awan dan cahaya gemilang: Yesus, Musa, dan Elia. Lalu apa kaitannya dengan puasa? Ada.
Ketiga orang inilah contoh para pelaku puasa yang paripurna sebab ketiganya masing-masing telah berpuasa selama 40 hari 40 malam. Tuhan Yesus Kristus dalam Matius 4:2, Musa dalam Keluaran 34:28, dan Elia dalam 1 Raja-raja 19:9.
Dibalik pemandangan mulia peristiwa Transfigurasi di Gunung Tabor sesungguhnya terkandung sebuah pesan yaitu, dengan menguasai yang jasmani melalui puasa, yang rohani akan nampak, dan tubuhpun akan terubah-muliakan. Tuhan Yesus memilih dua orang pelaku puasa untuk bersama-Nya pada peristiwa agung ini.
Sesungguhnya, puasa adalah salah satu dari perintah-perintah tertua Allah ketika Ia memerintahkan leluhur umat manusia, Adam, untuk menahan diri dari memakan buah tertentu dari pohon tertentu (Kej 2:16-17), tetapi mengizinkannya untuk memakan buah-buahan lainnya. Dengan cara ini Allah menetapkan batasan-batasan tertentu bagi tubuh, di mana tubuh itu sendiri tidak boleh melampauinya.
Dengan demikian, manusia tidak memiliki kebebasan penuh untuk mengambil apa saja yang dilihat matanya dan diinginkan hatinya. Ia haruslah menahan diri dari hal-hal tertentu dan mengendalikan kecenderungannya terhadap hal-hal yang demikian. Sebuah pohon bisa saja “…baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya…” (Kejadian 3:6) namun tetap saja manusia harus menahan diri daripadanya.
Dengan berpuasa, manusia sesungguhnya sedang menaikkan derajatnya melampaui kejasmanian dan kebendaan belaka. Inilah hikmat dan makrifat dibalik puasa. Seandainya saja manusia pertama berhasil menaklukkan keinginan tubuhnya untuk makan dan berhasil mengendalikan indranya yang melihat buah itu sebagai sesuatu yang sedap kelihatannya, maka akan terbukti bahwa jiwanya telah berhasil mengalahkan keinginan tubuhnya dan ia akan dianggap layak untuk menyantap buah Pohon Kehidupan.
Namun demikian, nyatalah bahwa keinginan tubuhnya mengalahkan dia, dan mendominasi dirinya sehingga manusia jatuh ke dalam melakukan berbagai-bagai dosa lainnya, satu demi satu, hingga akhirnya ia “…hidup menurut daging, bukan menurut Roh…” (bdk Roma 8:4-6).
Hingga akhirnya, datanglah Tuhan Yesus Kristus, untuk memulihkan manusia kepada kodratnya yang semula, mengembalikan manusia kepada “fitrah”nya.
Karena manusia telah jatuh ke dalam dosa dengan memakan buah terlarang demi mengikuti kehendak jasmaninya dan godaan Iblis, kemenangan Kristus yang pertama atas pencobaan juga ditujukan secara khusus untuk hal ini, untuk menaklukkan keinginan atas makanan secara umum , dan atas hal-hal lainnya yang membelenggu manusia.
Kristus memulai karya pelayanan-Nya dengan berpuasa, menolak godaan Iblis untuk memberi makan diri-Nya sendiri. Kristus menunjukkan kepada Iblis bahwa manusia bukan sekadar tubuh saja tetapi juga jiwa yang diberi makan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah. “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4).
Kali Sarakosti!
Kali Kathara Deftera!
(bersambung…)
Makassar, 27 Februari (KB)/14 Februari (KL) 2023
Oleh : Subdiaken Gregorius Efraent Lamorahan
Hari Peringatan Rahib Auxentius dari Bythinia