Artikel ditulis oleh Sdr. Basilius, materi disajikan dalam Embun Sorgawi edisi Mei, Juni dan Juli 2020.
Menurut Nikolas Kabasilas, hidup di dalam Kristus itu hanya dapat terjadi ketika manusia menang atas dosa, tetapi tidak ada satu pun manusia yang ada di dunia yang dapat mengalahkan dosa, sebab “semua ada di bawah kuasa dosa” (Rm. 3:10). Hanya ada satu yang tidak mengenal dosa, yaitu Allah, sebab Dia itu tanpa dosa dan bukan pencipta dosa.Allah menjadikan manusia menurut gambar-Nya (Kej. 1:26), dan kita mengerti bahwa gambar Allah itu adalah Sang Kristus, Firman Allah yang menjadi daging (Ibr. 1:3). Firman Allah yang satu di dalam Allah adalah suci dan tanpa dosa, dengan demikian manusia itu dijadikan juga suci dan tanpa dosa, walaupun kesucian manusia dan Allah itu berbeda, sebagaimana Efraim dari Siria dan Maximos Sang Pengaku Iman mengatakan bahwa sifat-sifat manusia itu adalah pancaran dari sifat-sifat Allah.
Dosa ini bukanlah “realita” dalam diri manusia, dosa ini telah mengambil bagian dalam kehidupan manusia oleh sebab manusia itu sendiri berkehendak apa yang bertentangan dengan Allah. Bapa-bapa Yunani Orthodox mengajarkan bahwa dosa itu adalah “penyimpangan” atau “melenceng dari sasaran.” Sasaran itulah yang dijelaskan dalam Efesus 1:4, yaitu “kudus dan tak bercacat di hadapan Allah,” dan itulah yang menjadi takdir manusia.
Allah tidak pernah membuat suatu takdir yang jahat kepada manusia, sebab kejahatan itu bukan sifat Allah.Maka sejak mulanya, Gereja menolak suatu ajaran bahwa Allah telah membuat suatu takdir tentang manusia, bahwa manusia ada yang ditentukan untuk diselamatkan dan dibiarkan untuk binasa. Alkitab dalam teks aslinya tidak pernah menyebutkan demikian. Takdir dalam konteks yang demikian bukan ajaran Kristen, tetapi ajaran Gnostik yang diadopsi dan disebarluaskan di kalangan tertentu yang “otak-atik” Alkitab tanpa mengerti tentang sejarah dan tradisi ajaran Gereja.Takdir manusia, yaitu “kudus dan tak bercacat” itulah yang hendak dikembalikan kepada manusia. Dan untuk menjadi kudus dan tak bercacat ini, manusia harus masuk ke dalam Sang Sumber Hidup ini, yaitu hidup Allah sendiri, dengan masuk ke dalamnya, manusia beroleh kembali apa yang telah hilang akibat kejatuhannya karena menggunakan kehendak bebasnya secara salah.
Di dalam tradisi Gereja, sejak semula, Gereja mengerti bahwa kembali kepada hidup ini adalah suatu misteri yang bersifat ilahi. Namun misteri ini bukan sesuatu “konsep” yang di awang-awang sebagai suatu ide, opini dan gagasan. Gereja sejak semula telah memahami bahwa “Firman itu telah menjadi daging” (Yoh. 1:1), maka keselamatan itu pun juga telah dinyatakan di dalam daging, dan kita telah ditunjukkan sarana keselamatan itu, dengan baptisan kudus dan krisma atau pengurapan, sebagai pintu gerbang masuk ke dalam jalan keselamatan.Di dalam tradisi Gereja, baptisan dan pengurapan itu dilakukan “satu paket” yang beriringan.
Baptisan Gereja Purba melanjutkan tata cara mikweh dalam tradisi Yahudi, sebagai upacara pentahiran atau penyucian diri (agnistheti, Kis. 21:24), dan selanjutnya dalam krisma, seorang katekumen diminyaki kepalanya sebagai bentuk pengurapan, dan selanjutnya dicukur rambutnya (xyrhisontai tin kefalin, Kis. 21:24). Di dalam nats yang dikutip ini, yang memerintahkan adalah Yakobus, saudara Tuhan, uskup Yerusalem, dan tradisi inilah yang dilanjutkan secara turun-temurun oleh seluruh Gereja Timur, baptisan dan krisma ini dilakukan dengan cara yang demikian.Pembeda utama dengan mikweh Yahudi, baptisan Kristen itu bukan tanda atau simbol pertobatan saja, tetapi dengan baptisan itu, seseorang telah mengenakan Kristus (Khriston enedysasthe, Gal. 3:27) atau berjubahkan Kristus. Baptisan sebagai simbol atau tanda itu adalah pemahaman agama Yahudi yang belum mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai Mesias, jadi bagi Gereja, mengajarkan bahwa baptisan itu hanya simbol, lambang, tanda, atau bukti merupakan suatu “kemunduran teologi” yang berusaha membawa kembali kepenuhan iman kepada Kristus yang sudah datang kepada ajaran Yahudi yang belum penuh karena Kristus belum datang.Apakah maksud tentang berjubahkan Kristus itu? Kita ingat kembali bahwa manusia itu dijadikan dalam gambar Allah, dan setelah jatuh ke dalam dosa, manusia mendapati dirinya telanjang dan mereka menjadi malu, lalu berusaha menutupi diri mereka dengan pakaian dari tumbuh-tumbuhan, tetapi Allah tidak berkenan dan menggantikannya dengan pakaian dari kulit binatang (Kej. 3:7, 21).
Bapa Yunani Orthodox, baik itu Gregorius Nazianzus, Basilius Agung, Maximos Sang Pengaku Iman, Andreas dari Kreta, Nikolas Kabasilas yang hidup dalam rentang waktu seribu tahun memiliki satu pengajaran yang sama, yang menjadi bukti bahwa ajaran Gereja itu tidak dapat dan tidak boleh berubah dengan alasan apapun! Basilius Agung mengajarkan bahwa manusia itu pada mulanya berjubahkan terang ilahi, yaitu kemuliaan Allah, dan ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka kemuliaan Allah itu pergi dari manusia. Manusia yang terselubungi oleh terang tak tercipta ini tidak merasakan malu walaupun mereka telanjang, sebab di dalam terang itu manusia berada dalam kesucian. Lalu setelah manusia itu jatuh dalam dosa, kemuliaan itu sirna, dan didapati mereka telanjang. Mereka melihat diri mereka sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya. Itulah yang juga diajarkan oleh Gregorius Nazianzus dan digubah menjadi suatu sajak oleh Andreas dari Kreta, yang sajaknya dinyanyikan oleh umat Orthodox.Manusia yang telah telanjang itu, berusaha menutupi dirinya, dan menggunakan caranya sendiri untuk menutupi keberdosaannya, dan ini cara yang tidak dikehendaki Allah. Maka Allah membuatkan pakaian dari kulit binatang untuk menutupi ketelanjangan dan keberdosaan manusia.
Pakaian kulit ini memiliki makna antisipasi dalam dua pengertian: yang pertama, antisipasi bahwa harus ada darah yang dicurahkan untuk menutupi dosa, dan yang kedua, antisipasi agar kejatuhan manusia itu tidak begitu dalam, sehingga manusia “turun kasta” menjadi seperti binatang, namun binatang yang berakal (Basilius Agung dan Gregorius Nazianzus). Maximos menjelaskan lebih jauh lagi, bahwa, pakaian kulit ini menjadi penahan agar kuasa dosa dan iblis tidak langsung mengintervensi kehidupan manusia. Pakaian kulit ini menjadi sekat antara hawa nafsu daging dan jiwa manusia.Dengan pakaian kulit ini, hawa nafsu tidak langsung mencengkeram jiwa manusia, tetapi melalui sarana-sarana daging: pancaindera. Manusia masih memiliki kesadaran, walaupun dalam kejatuhan, yang ditanamkan oleh Allah di dalam kedalaman batin manusia, itulah yang dinamakan sebagai hati nurani manusia, dan ini adalah wahyu umum Allah kepada manusia, sebagai Taurat di dalam diri manusia. Tetapi kesadaran hati nurani ini tidak berdaya, sekalipun ia tahu apa yang benar dan tidak, karena manusia telah terputus dari hidup Allah. Batin terdalam manusia tidak mendapatkan daya hidup dari Sang Pemberi hidup. Seringkali manusia tidak mampu untuk menolak rongrongan hawa nafsu daging yang datang melalui pancaindera, sekalipun ia tahu itu tidak benar dan tidak boleh dilakukan. Sesekali manusia mungkin mampu untuk mengalahkan rongrongannya, tetapi kerapkali manusia itu gagal.Dengan berjubahkan “pakaian kulit binatang” memang manusia tampak seperti memiliki naluri kebinatangan yang berpusat kepada makanan dan berkembang biak, dan itulah yang menjadi bagian yang dikutuk oleh Allah: “bersusah payah mencari makanan” dan “bersusah payah saat melahirkan.” Tetapi di dalam penderitaan ini, manusia diajar sekali lagi agar ia mengingat Allah yang mengizinkan “naluri kebinatangan” ini menjadi “takdir baru” manusia, dan manusia setelah kejatuhan ini berpikir bahwa hal-hal yang terkait dengan naluri kebinatangan ini termasuk penderitaan ini adalah “takdir umum” manusia.
Tetapi manusia semakin lama semakin jauh dari Allah, ia terjebak dalam pikirannya yang gelap dan menjadi bodoh. Penderitaan ini bukan ia pandang sebagai jalan mengingat Khaliknya dan mencari Dia, tetapi akhirnya ia malah mencari hal-hal yang memuaskan keinginan daging itu, bahkan di antara mereka banyak yang menjadikan manusia lain sebagai obyek pemuasan hawa nafsunya. Pemikiran inipun ternyata juga dimiliki orang-orang yang dikatakan “beragama,” ia melihat Allah juga dalam cara demikian. Maka manusia ini telah menjadi “pemangsa bagi sesamanya.” Ia telah menjadikan dirinya tuhan atas manusia yang lain, dan itu penyimpangan daripada keberadaan manusia yang sesungguhnya.Maka dalam kasih Allah yang begitu besar, ia tidak membiarkan manusia hidup dalam keadaan yang seperti ini. Dia telah memberikan hamba-hamba-Nya di setiap zaman dan menyatakan apa yang menjadi kehendak Allah bagi umat-Nya. Tetapi ketika genap waktunya, Ia mengutus Anak-Nya sendiri dan menyatakan dalam kepenuhan apa yang menjadi kehendak Allah.Yesus Kristus telah menetapkan suatu sarana untuk kelahiran kembali, yaitu melalui baptisan di dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, melanjutkan mikweh namun dalam makna yang baru, yang berpusatkan kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Itulah mengapa dalam Kisah Para Rasul berkhotbah agar mereka dibaptiskan dalam nama Yesus Kristus. Jadi di sini bukan berarti bahwa Yesus Kristus adalah Bapa, Putra dan Roh Kudus sebagaimana ajaran bidah Sebelianisme. Tetapi baptisan ini adalah baptisan Yesus Kristus sesuai apa yang diperintahkan-Nya: “dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus,” sebagai pemenuh daripada baptisan Yahudi.Itulah mengapa di dalam baptisan ini, kita melalui air, di dalam iman kepada Anak Allah, baptisan ini menjadi sarana kita menjadi ciptaan baru. Hal ciptaan baru ini kita dapat mengingat kembali pada kisah penciptaan, Roh Allah bergerak melingkup (merakhefed) di atas muka air, yang menurut Basilius Agung, Roh memberikan daya hidup kepada air, sehingga dari air itulah dapat muncul segala kehidupan yang ada di langit, bumi dan di dalam samudera.
Kisah penciptaan ini “diulangi” lagi oleh Yesus Kristus, ketika ia masuk ke sungai Yordan. Di dalam peristiwa pembaptisan Yesus yang kita peringati dalam kalender Gereja adalah setiap 6 Januari (menurut kalender Julian) yang dalam kalender sipil kita jatuh pada tanggal 19 Januari, Kristus telah memberikan daya hidup kepada air setelah kejatuhan manusia yang terjadi ribuan tahun sebelum pembaptisannya. Dengan masuk ke dalam air yang telah disentuh oleh Sang Pencipta langit dan bumi ini, manusia pun disentuh oleh Sang Pemberi hidup, sehingga batin manusia ini disentuh oleh daya kehidupan ilahi, dan segala potensi manusia dikembalikan, jiwa manusia yang kosong dan tanpa Allah ini diterangi dan mendapatkan kehangatan ilahi, yang menurut Teofanes Sang Pertama, kesadaran jiwa manusia terbangun dari tidurnya.Nikolas Kabasilas mengatakan, apakah setelah baptisan selesai begitu saja? Dia mengatakan “belum selesai.” Manusia yang telah disentuh dalam kehidupan ilahi, harus diisi dengan hidup ilahi; dan inilah yang dikerjakan oleh Roh yang telah membaptiskan dan menghidupkan batin manusia.
Presbiter melayankan bagian ini dengan apa yang disebut sebagai krisma. Katekumen yang telah dibaptiskan, diurapi dengan minyak kesukaan. Walaupun tangan presbiter yang mengurapi, tetapi Gereja memahami bahwa Allah sendirilah yang mengurapi katekumen ini, melalui tangan imam yang telah ditetapkan-Nya. Dengan pengurapan ini, maka seorang katekumen ini telah menjadi “dia yang diurapi” (arti dari mesias atau kristus). Dengan krisma, maka kita telah menjadi “kristus” sebagaimana Sang Kristus, kita telah diurapi dengan Roh Kudus karena iman kita kepada Kristus, yang mengurapi kita dengan kuasa Roh Kudus, dan karena kita telah menjadi “kristus,” maka kita ini juga menjadi “anak-anak Allah” sebagaimana Kristus adalah Anak Allah.Melalui baptisan dan krisma, batin kita yang telah jatuh dan merosot karena dosa dibangunkan kembali, kita diurapi dengan minyak kudus, kita diangkat menjadi “mesias-mesias” karena Sang Mesias, dan dengan baptisan dan krisma ini, kita mampun untuk menghadapi rongrongan hawa nafsu duniawi yang selalu menyeret jiwa kita kepada dosa, karena upah dosa adalah maut. Melalui baptisan kita dilepaskan dari beban dosa, dan Dia membawa kepada kita limpahan kasih karunia kepada manusia yang sebelumnya terbelenggu, diperhamba maut dan tanpa kemuliaan menjadi manusia yang merdeka, menjadi hamba kebenaran dan berjubahkan Kristus.Kemuliaan bagi Allah atas segala sesuatu. Amin!
Sumber : ST. NICHOLAS OF MYRA ORTHODOX COMMUNITY OF SURABAYA