Dari semua yang telah dibahas sebelumnya, sangatlah jelas bahwa unsur-unsur yang menjadi fondasi agama telah diberikan Sang Pribadi Ilahi kepada manusia. Hampir semua agama di dunia mengajarkan adanya Sang Pencipta yang memelihara hidup manusia, serta memberikan hukum pada manusia dan yang akan menuntut tingkah laku hidup manusia sampai kepada hari akhir, berdasarkan kepatuhan dan pemberontakan manusia kepada hukum itu. Juga hampir semua agama mengajarkan adanya kelanggengan dan unsur langgeng pada manusia, sorga dan neraka, serta mengajarkan cara-cara beribadah dengan cara-cara yang ditetapkan agama-agama itu. Sumber dari semua ini adalah pengetahuan yang diberikan Pribadi Ilahi secara merata kepada segenap umat manusia di sepanjang zaman, karena memang “Allah telah menyatakannya kepada mereka” (Rm. 1:19). Inilah yang disebut sebagai wahyu umum. Jadi jika ada kemiripan dan kesamaan dalam beberapa hal, misalkan cara peribadatan ataupun pemahaman ajaran, maka itu semua harus dilacak sumbernya kepada wahyu umum dari Pribadi Ilahi yang satu itu; dan jika terdapat kebenaran ajaran dan norma-norma moral yang sama dalam setiap agama, kita harus mengakuinya sebagai pengetahuan yang datang dari Pribadi Ilahi, sebab manusia tidak akan pernah memiliki pengetahuan semacam itu jika bukan Sang Ilahi sendiri yang menanamkannya di dalam hati manusia. Jadi hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu Yang Ilahi itu sendiri. Jadi tidak ada yang namanya Yang Ilahi milik agama A, agama B atau agama C. Hanya ada satu Pribadi Ilahi yang menjadi Sang Pemilik kebenaran mutlak walaupun ada banyak agama di dunia ini. Jika ada banyak Pribadi Ilahi, maka akan banyak wahyu dan pengajarannya sendiri-sendiri menurut versinya. Jadi yang berbeda bukan Pribadi Ilahinya, atau bermacam-macam wahyu yang diberikan kepada manusia, namun cara manusia dalam memahami akan Pribadi Ilahi dan wahyunya itu. Itulah yang menjadi penyebab muncul banyak agama di dunia. Fakta bahwa banyaknya agama di dunia menunjukkan keterbatasan dan ketidak-murnian pemahaman manusia akan wahyu umum yang satu yang diberikan Pribadi Ilahi yang satu itu. Berdasarkan fakta inilah kita tidak dapat mengatakan: “Semua agama itu sama saja!” karena memang faktanya sekalipun ada kemiripan dan kesamaan dalam tiap-tiap agama, tetap ditemukan perbedaan dan seringkali bertentangan satu dengan yang lain.
Apabila wahyu umum itu satu dan sama bagi semua manusia, seharusnya yang muncul adalah pengertian yang sama dan seharusnya hanya ada satu kebenaran agama dan bukan bermacam-macam. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah bukanlah penyebab bermacam-macam kebenaran, namun manusia yang mengalami kesalah-mengertian dalam menanggapi wahyu umum tersebut. Hal semacam inilah yang dijelaskan dalam Surat Roma 1:18 yang menuliskan: “… segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran oleh kelaliman.” Kebenaran di sini berbicara tentang wahyu umum yang dinyatakan Allah kepada manusia, sedangkan kefasikan dan kelaliman di sini adalah tingkah laku manusia, yang menyangkut pemahaman manusia akan Allah, yang mana akal-budi dan batinnya yang telah rusak oleh dosa.
Hal ini dijelaskan di ayat selanjutnya, bahwa: “… pikiran (Yun: dialogismos, angan-angan) mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm. 1:21) serta dalam Efesus 4:17-18 bahwa: “… orang-orang (Yun: ta ethni, bangsa-bangsa non-Yahudi) yang tak mengenal Allah dengan pikirannya (Yun: nous, akal-budi batin) yang sia-sia, dan pengertiannya (Yun: dianoia, pemikiran) yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah (Yun: apillotriomeni tis zois tou Theou, terpisah dari kehidupan Allah), karena kebodohan yang ada dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.”
Dari dua nats ini kita dapat melihat dua problematika manusia:
(1) dialogismos dan nous yang sia-sia;
(2) hati dan dianoia yang gelap,
maka membuat batin manusia menjadi bodoh dan terpisah dari kehidupan Allah, dan kemampuan manusia menerima kebenaran Allah dalam bentuk wahyu umum ini menjadi rusak. Kebenaran ilahi itu yang seharusnya menerangi manusia justru menjadi kabur dan gelap, karena “perangkat” batin tak mampu menerima dengan penuh. Wahyu ilahi tidak terpancar dalam kehidupan manusia, malah pemahaman wahyu ilahi ini menjadi bengkok, kacau dan rusak. Kitab Suci menunjukkan contoh bengkok, kacau dan rusaknya pemahaman manusia dalam menanggapi wahyu umum. Dicontohkan ada manusia yang mengaku “mengenal” Allah (tahu bahwa Allah itu ada), tetapi “tidak memuliakan Dia sebagai Allah” (Rm. 1:21). Inilah bentuk kebodohan dalam batin manusia, walaupun seakan-akan dia nampak “seolah-olah penuh hikmat” (Rm. 1:22). Sekalipun seseorang memiliki kecerdasan intelektual dan filsafat yang tinggi, namun tanpa diimbangi oleh kecerdasan batin, maka wahyu ilahi itu akan diubah-ubah menurut kecerdasan intelektual dan filsafat manusia yang sudah rusak karena dosa, dan akhirnya mereka menjadi bebal mengatakan: “Tidak ada Allah” (Mzm. 14:1) dan sebagian lainnya: “menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Rm. 1:23).
Wahyu umum yang seharusnya menjadi penerang jalan manusia ini bagi orang-orang yang “seolah-olah penuh hikmat” akan dianggap “kebodohan” dan “batu sandungan” (1Kor. 1:23), sehingga wahyu umum yang ilahi dan benar ini menjadi tidak masuk akal bagi mereka yang kecerdasan intelektual dan filsafatnya telah rusak dan sesuatu yang bersifat asing dan aneh bagi konsep pengajaran yang telah mereka bangun sendiri. Bentuk penyimpangan akan penerimaan kemuliaan ilahi akan memiliki dua bentuk:
(1) bentuk kasar, yaitu dengan penyembahan kepada manusia, binatang dan benda-benda jasmani serta patung-patung yang menyerupainya, bahkan binatang-binatang mitologi yang merupakaan “rekaan” pikiran manusia itu sendiri;
(2) bentuk halus, yaitu bentuk konsep keyakinan atau filsafat yang manusia banggakan sebagai wujud kecerdasan akal-budi manusia, meskipun akal-budi itu sudah gelap dan sia-sia, dan disesuaikan dengan sistem dunia dengan segala hawa nafsunya. Bentuk keyakinan dan filsafat ini dilandaskan kepada kemampuan berlogika dan tafsiran manusia saja tanpa menyadari bahwa “perangkat” batin mereka telah rusak karena dosa. Jadi dengan kata lain, bentuk keyakinan dan filsafat dunia yang sebagian di antaranya menjadi agama-agama di dunia ini mengandung dua hal yang bertentangan, yaitu kebenaran dan dusta. Disebut “kebenaran” karena landasan munculnya kebenaran itu berasal dari wahyu umum ilahi, sedangkan “dusta” itu muncul karena wahyu umum itu telah ditindas oleh kefasikan dan kelaliman manusia sehingga wahyu umum itu telah dipahami secara salah dan menghasilkan pemikiran tentang Allah yang menyimpang.
Baca juga : Wahyu Khusus Dalam Iman Kristen