Jadi menurut Sang Kristus tidak ada satu makananpun yang menajiskan orang, semuanya halal. Yang menajiskan itu justru semua kejahatan yang keluar dari dalam hati. Bukan itu saja, semua pikiran jahat yang keluar dari hati, bahkan menjerumuskan orang ke dalam Neraka, kalau dia tidak bertobat, sebagaimana dikatakan:
”Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu — seperti yang telah kubuat dahulu — bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (Galatia 5: 19- 21). Ditambah lagi:
”Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (I Korintus 6:-10).
Jadi menurut Alkitab justru sikap moral yang jahat akibat ketiadaan pertobatan dan ketiadaan pembaharuan rohani dalam hidup seseorang sehingga mereka tak beriman kepada Kristus dan dengan demikian darah Kristus tak bermanfaat bagi mereka, inilah yang membuat orang “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Namun tak ada satupun ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa orang yang makan darah itu akan masuk Neraka atau tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Memang lebih mudah untuk menghentikan sikap luar secara ritual misalnya tidak merokok, tidak makan darah, tidak pakai lipstik dan lain-lain, daripada mengadakan pembaharuan batin secara total, yaitu pertobatan, misalnya menghentikan kesombongan, iri hati, kecongkakan, kikir dan lain-lain.
Namun kesalehan lahiriah semacam itu tak bermakna apapun jika tak disertai dengan pembaharuan batin dalam sikap pertobatan yang terus- menerus. Padahal justru inilah yang menentukan diterima atau tidaknya seseorang di dalam Kerajaan Allah.
Makna Kisah Rasul 15
Sekarang sampailah kita kepada pembahasan ayat yang menjadi landasan bagi diajarkannya larangan makan darah, dengan ancaman masuk neraka, oleh sebagian orang Kristen. Ayat itu terdapat dalam Kisah Rasul 15:1-21, terutama dalam Kisah 15:20. Konteks Kisah 15:20 dalam keseluruhan perikop Kisah 15 itu adalah demikian:
Di kota Antiokhia –Syria kedatangan tamu orang-orang Kristen Yahudi dari Yudea, Yerusalem. Mereka mengajarkan: “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.” (Kisah 15:1). Jadi permasalahan pokok adalah, yang menyelamatkan itu ”Hukum Musa” yang di sini diwakili oleh perintah untuk Sunat, ataukah Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus yang memberikan penebusan?
Karena itu ajaran ini dilawan oleh Paulus dan Barnabas (Kisah Rasul 15:2). Jadi konteks permasalahan dalam Kisah Rasul ini justru bukan masalah “makan darah”, namun masalah Sunat, yaitu kontras antara Taurat dan Rahmat. Namun karena masalah ajaran Iman itu bukan terserah kepada kehendak perorangan, tetapi milik seluruh Gereja secara bersama, maka pemecahannyapun harus dilakukan secara bersama melalui Sidang Gereja atau Konsili.
Sehingga Paulus dan Barnabas diutus oleh Gereja Antiokhia untuk menemui para Rasul dan para Penatua (para Presbyter) membahas masalah itu (Kisah 15: 3-4). Di Yerusalem mereka bertemu orang-orang yang mempunyai theologia yang sama dengan mereka yang mengganggu orang Kristen di Antiokhia. Mereka ini adalah “golongan Farisi, yang telah menjadi percaya” (Kisah Rasul 15:5), yang mengajarkan : “Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa.”
Sekali lagi konteks Kisah Rasul 15 ini bukanlah mengenai masalah “makan darah”, namun mengenai perlu atau tidaknya Sunat. Lalu diadakanlah Sidang para Rasul dan para Penatua (Kisah Rasul 15:6), serta diadakan “tukar pikiran “ yang lama sekali (Kisah 15:7). Lalu Petrus sebagai ketua kolega para Rasul memberi kesaksian, bagaimana Kornelius tanpa disunat percaya kepada Kristus dan menerima Roh Kudus (Kisah Rasul 15:7-11).
Kemudian disusul oleh Paulus dan Barnabas memberi kesaksian bagaimana bangsa-bangsa bukan Yahudi percaya tanpa harus disunat dengan disertai mukjizat-mukjizat (Kisah Rasul 15:212), Kemudian disimpulkan oleh Yakobus sebagai Episkop (Uskup) pertama dari Gereja Yerusalem bahwa memang bangsa-bangsa lain tak perlu disunat, tetapi untuk menjembatani jurang pemisah antara mereka dengan umat Yahudi, maka Sidang itu harus menulis surat kepada mereka dengan memberi tahu mereka supaya mereka “menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.” (Kisah Rasul 15:20), serta “kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kisah Rasul 15:29).
Jadi jelas menurut konteksnya larangan “makan darah” itu bahkan bukan tema utama dari Sidang para Rasul. Itu hanya merupakan jalan pemecahan dari masalah utama yang menjadi ketegangan antara orang Kristen Yahudi –di mana mereka mengizinkan orang non-Yahudi untuk tidak disunat–, dan orang Kristen non Yahudi –yang sebaliknya diminta untuk memberikan timbal balik atas kerelaan Yahudi ini dengan kerelaan melakukan hal-hal yang menjadi masalah bagi orang Yahudi, di antaranya adalah “makan darah”.
Jadi larangan “makan darah” itu bukan inti pembahasan Sidang Para Rasul, dan bukan pula pesan utama Kisah Rasul 15. Bahkan itupun bukan disebutkan yang pertama dalam daftar jalan tengah yang harus diambil orang-orang Kristen non-Yahudi ini. Yang didaftar pertama justru “menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala”. Malah pada saat rapat, Yakobus menyebutnya dalam daftar paling akhir.
Dengan demikian makna penting dari Sidang ini bukanlah masalah makan darah itu, tetapi masalah hubungan Sunat dan Iman, Taurat dan Rahmat. “Ruh/ Semangat dan Makna” dari Kisah Rasul 15 ini bukanlah tentang makanan, dan bukanlah masalah boleh tidaknya darah dimakan, namun masalah bagaimana orang- orang Kristen non Yahudi itu bisa diterima oleh orang-orang Kristen non Yahudi tanpa memaksakan adat-istiadat Yahudi kepada mereka.
Jika kita mengerti “ruh” dari Kisah Rasul 15 maka tak mungkin kita memberi tekanan mengenai apa yang tak ditekankan oleh Kitab Suci itu. Kita tak bisa membuat Talmud kita sendiri sehingga bertentangan dengan tujuan dan makna dari pasal yang kita bahas ini. Kisah Rasul 15 sama sekali tidak mengatakan bahwa semua orang Kristen tidak boleh makan darah, dan yang makan darah masuk Neraka, tetapi itu adalah menjelaskan tentang jalan pemecahan bagi permasalahan yang muncul dalam Gereja Antiokhia,
Sejauh Kitab Kisah Rasul 15 ini yang kita baca, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi tak ada ajaran yang menekankan masalah makanan, atau yang menekankan bahwa yang makan darah masuk Neraka. Tafsiran yang demikian adalah mengada-ada, tak ditunjang oleh pasal yang ada, serta bukan merupakan inti dan isi utama dari pasal yang bersangkutan.
Ajaran Kitab Suci tentang Makanan Dalam Imamat 11 dan Ulangan 14:1-21
Bangsa Israel diberi aturan oleh Allah melalui Nabi Musa mengenai makanan yang “kosher” (halal) dan yang “trefah” (haram). Terutama dalam Imamat 11, perintah ini diberikan sebagai bentuk pengudusan bangsa Israel supaya tidak terjadi interaksi sosial dengan bangsa-bangsa penyembah berhala yang ada di sekitar mereka, sehingga mereka tidak terkontaminasi.
Karena bangsa Israel adalah bangsa pilihan yang melalui mereka Mesias akan datang. Sehingga Israel dikurung dan dikawal oleh perintah ini sampai Kristus datang, sebagaimana dikatakan: ”Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” (Galatia 3:23-25). Karena kita orang Kristen bukan bangsa Israel yang hidup dalam “pengawalan hukum Taurat,” serta “kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” dan tidak “dikurung”, karena Iman itu telah datang, maka kita tak lagi di bawah aturan “kosher” dan “trefah” mengenai masalah makanan itu.
Bahkan Kitab Suci mengatakan bahwa “Dengan demikian Ia (Yesus Kristus) menyatakan semua makanan halal” (Markus 7:19). Sebab Yesus Kristus datang untuk menyatakan Kerajaan Allah, di mana “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Roma 14:17). Oleh karena itu kita diingatkan agar kita tak membuat sandungan bagi orang lain masalah makanan, sebagaimana dikatakan: “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa- apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan.” Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (I Korintus 8:8-9).
Karena pada dirinya sendiri tidak ada makanan yang najis: ”Aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis.” (Roma 14:14). Juga dikatakan: ”Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” (I Korintus 6:12). Dengan demikian prinsip Injil dalam hal makanan adalah bahwa sebenarnya tak ada sesuatu yang najis pada dirinya sendiri, dan bahwa semua makanan itu halal.
Namun dalam kita makan diperintahkan untuk memikirkan hati nurani orang lain, apakah orang itu tersandung kalau kita makan atau tidak, apakah orang itu akan murtad karena sikap kita yang tidak peka dalam makanan dan dalam memakan atau tidak. Juga apakah makanan itu berguna untuk kita atau tidak. Jikalau tak berguna karena mengganggu kesehatan, karena tidak memberi manfaat, atau karena kita menjadi kecanduan secara tidak sehat, maka kita harus menjauhi makan semacam itu.
Jadi Injil tak mengajarkan kita hukum positif tentang apa yang harus kita makan, dan bagaimana cara kita makan, namun memberi prinsip berguna tidaknya makanan itu, membawa berkat atau tidaknya bagi orang lain, apa yang kita makan itu, serta hati-nurani orang lain yang menjadi tolok ukur dalam kita memakan.
Karena itulah membuat makan darah sebagai ancaman masuk Neraka itu justru bukan semangat Injil yang diberitakan. Memang hukum Kanon Gereja Orthodox melarang orang makan darah, tetapi alasannya bukan karena darah itu najis atau “haram”, dan juga bukan karena itu membuat orang masuk neraka, namun karena itu sebagai penghormatan dan ketaatan kepada suara Roh Kudus melalui para Rasul (Kisah 15:28- 29) yang pada zaman purba telah menggunakan perintah tadi sebagai sarana persatuan Gereja Yahudi dan non-Yahudi. Dan itu juga sebagai penghormatan kepada simbol dari darah Yesus Kristus sendiri yang melaluinya keselamatan itu datang, tidak lebih dan tidak kurang. Amin.
TAMAT
.
.