2. Puasa Para Rasul (Apostles’ Fast).
“Para Rasul hampir selalu berpuasa.” St. Yohanes Krisostomos dari Konstantinopel (347-407 M, sermon 57 pada Injil Matius).
Puasa para Rasul (The fast of the Apostles) dapat menjadi satu momentum refleksi akan hidup dan teladan dari para Rasul Kudus. Pada minggu peringatan segenap Janasuci, Gereja merayakan peringatan hidup mereka semua yang mendahului kita, yang hidupnya menjadi teladan iman bagi kita. Perayaan yang mengingatkan kita akan para pengemban Allah yang tak terhitung jumlahnya, mereka yang menyangkali diri, mengorbankan hidupnya bagi iman yang diwariskan kepada kita sampai pada saat ini.
Aturan puasanya tentu bukan untuk tujuan menjadi hukum ketat bagi umat percaya, bukan malah menjadikan kesombongan seperti orang Farisi bagi tiap orang yang menjalankan apa yang menjadi aturan Gereja. Melainkan adalah aturan, suatu standar yang bermanfaat membantu umat berjuang dalam hidup beriman, bagaimanapun menurut kemampuan dan keadaan diri masing-masing umat yang hendak menjalankan.
Puasa para Rasul ini dijalankan sejak berabad-abad. Pada abad-abad awal Kekristenan. Setelah sukacita 50 hari setelah Kebangkitan Kristus (perayaan Paskah), dan setelah sukacita Pentakosta, para Rasul mulai mempersiapkan diri sebelum bertolaknya dari Yerusalem untuk berdakwah menyebarkan ajaran Kristus. Menurut Paradosis Gereja Purba, sebagai bagian dari persiapan mereka (seperti yang dilakukan dalam Kis 14:23), mereka berpuasa dan berdoa memohon kepada Allah bagi kekuatan dan pemeliharaan selama dalam misi mereka. Dalam Kitab Injil sinoptik, ada tertulis ketika kaum Farisi mengkritik para Rasul mengapa tidak berpuasa, Kristus berkata kepada mereka,
“Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berduka cita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat9:14-15).
Dalam hal ini, Kristus hendak menunjuk pada peristiwa penyaliban yang akan dijalaniNya; namun dalam arti lebih luas dimengerti sebagai keadaan saat KenaikanNya ke surga, dan perintahnya mewartakan Injil, yang hanya akan dapat terlaksana bersama doa dan puasa.
Sejak abad-abad awal hingga abad ke-4, di Yerusalem, Antiokhia, Alexandria telah dikenal praktik Puasa Para Rasul yang dihubungkan dengan peristiwa Pentakosta. Praktik Puasa ini dilakukan setelah perayaan Pentakosta. Terkait puasa para Rasul ini, ada beberapa kesaksian para Bapa Gereja di antaranya Athanasius Agung dari Alexandria (373 M), Ambrose dari Milan (397 M), Leo Agung dari Roma (461 M), Theodoret dari Cyrrhus, Syria (458 M). Kanon Nicephoros, Patriarkh Orthodox Konstantinopel (806-816) juga menyebutkan tentang praktik Puasa Para Rasul. Typicon (Buku Liturgikal) karya Theodoros dari Biara Studita di Konstantinopel (Turki) pun berbicara tentang masa Puasa Para Rasul Kudus. Janasuci Symeon dari Tesalonika (†1429) dengan lebih jelas menjelaskan tentang tujuan puasa Para Rasul ini yaitu : “Puasa para Rasul didirikan untuk menghormati mereka, karena melalui mereka kita telah menerima banyak manfaat dan bagi kita mereka adalah teladan dan guru dalam hal berpuasa. Selama satu minggu setelah perayaan turunnya Roh Kudus, sesuai dengan Konstitusi Apostolik yang disusun oleh Klement dari Alexandria, kita merayakan Pentakosta, dan kemudian selama minggu berikutnya, kita berpuasa untuk menghormati para Rasul.”
Puasa para Rasul mulai dipraktikkan di Gereja melalui suatu kebiasaan spiritual dan bukan dengan alasan hukum agama. Karena alasan inilah tidak ada keseragaman untuk masa puasa ini baik dalam bentuknya maupun periode waktunya. Beberapa gereja Orthodox mempraktikkan masa puasa Para Rasul selama dua belas hari, yang lain enam hari, yang lain lagi empat hari. Theodorus Balsamon, Patriarch Orthodox Antiokhia († 1204), mengenai Puasa Rasul ini mengatakan: “Semua yang setia, yaitu umat awam dan para rahib, wajib berpuasa tujuh hari….. “
Puasa para Rasul ini tidak seketat puasa agung catur dasa (pra-Paskah) ataupun puasa dormitio (peringatan wafatnya Theotokos Maria). Di mana jika dalam puasa catur dasa misalnya, selama 40 hari, sehari penuh dengan satu kali makan buka puasa (setelah waktu sembahyang senja), namun puasa Para Rasul ini dilakukan dengan menu makan vegetarian. Dalam puasa para Rasul ini, sebagai contoh, dalam sebuah biara goa-goa Orthodox di Kiev, Ukraina (di bawah Metropolitan George, th 1069-1072), mengatur berpantang daging dan produk susu selama masa puasa para Rasul, atau vegetarian. Kebiasaan ini (vegetarian) juga diikuti umat Kristen Orthodox
di Indonesia (GOI) selama masa puasa para Rasul.
Suatu nasihat dari salah satu Janasuci, Yohanes Kasianus yang sekiranya akan bermanfaat, demikian:
“Aku terlebih dahulu akan berbicara tentang pengendalian (keinginan) perut, lawan dari kerakusan, juga tentang bagaimana berpuasa dan apa serta seberapa banyak kita makan. Aku tidak akan mengatakan apapun dari diriku sendiri, tapi hanya apa yang telah aku terima dari para bapa suci. Mereka tidak hanya memberikan kita suatu arahan untuk berpuasa ataupun suatu standar dan ukuran dalam makan, karena tidak semua orang memiliki kekuatan yang sama; usia, penyakit atau keadaan tubuh membuat perbedaan-perbedaan. Namun mereka telah memberikan kepada kita suatu maksud: untuk menghindari makan-berlebih dan menuruti nafsu perut kita…”
Suatu arahan yang jelas bagi penguasaan-diri diturunkan oleh orang kudus ini ialah demikian:
“berhentilah makan ketika masih merasa lapar dan jangan lanjutkan sampai engkau merasa kenyang.”
Janasuci Yohanes Kasianos ialah seorang rahib kelahiran Romania (435 M) yang menjalani kehidupan monastik ketat, dikenal banyak menulis tentang kehidupan monastik (kerahiban).
3.Puasa Dormition (Puasa memperingati wafat Theotokos Maria)
Puasa ini dilaksanakan sebelum hari raya besar Transfigurasi Kristus dan Dormition Theotokos (memperingati tertidur/ wafatnya Theotokos Maria). Puasa ini berlangsung selama dua minggu, dari 14 – 27 Agustus (1-14 Agustus – kalender Gereja). Referensi awal perihal Puasa Dormition ditemukan pada awal Kekristenan dalam catatan Bapa Gereja Leo Agung (450 Masehi) yang menyebutkan :
“Puasa Gereja selama setahun dengan jalan berpantang setiap kali, begini, untuk musim semi ada puasa musim semi, Empat Puluh Hari (Masa Piasa Agung Prapaskah); untuk musim panas ada puasa musim panas (puasa para Rasul); untuk musim gugur ada puasa musim gugur, pada bulan ketujuh (Puasa Dormition fast); untuk musim dingin ada puasa musim dingin (puasa Natal).”
Js. Symeon dari Tesalonika (1429) menulis bahwa,
“Puasa pada bulan Agustus (Puasa Dormition) ditetapkan untuk menghormati Sang Theotokos; dia yang mengetahui tentang wafatnya sendiri, selalu bekerja keras dan berpuasa untuk kita, meskipun dia suci dan murni. Karena itulah, dia berdoa utamanya untuk persiapan kita agar dipindahkan dari kehidupan ini ke kehidupan masa depan, ketika jiwa-nya yang diberkati akan dipersatukan bersama Putranya melalui Roh Kudus. Karena itu, kita juga harus berpuasa dan menghormati-nya, meniru kehidupannya, memohon pada-nya agar berdoa bagi kita. Ada yang mengatakan bahwa puasa ini dilembagakan pada kesempatan dua hari raya yaitu Hari Raya Transfigurasi dan Dormition. Saya juga menganggap perlu untuk mengingat dua hari raya ini, yang memberi kita terang, dan yang berbelas kasih kepada kita serta menjadi perantara kita.”
Puasa Dormition tidak seketat Puasa Agung Pra Paskah, tetapi puasa ini lebih ketat daripada puasa Para Rasul dan Puasa Kelahiran Kristus. Puasa spiritual disatukan erat dengan tubuh, sama seperti jiwa kita dipersatukan dengan tubuh, menembusnya, menghidupkannya, dan membuat seseorang bersatu utuh dengannya, ketika jiwa dan tubuh membuat satu manusia hidup. Karena itu, dalam puasa tubuh kita harus pada saat yang sama puasa secara rohani: “Saudara-saudara, dalam puasa, marilah kita juga berpuasa secara rohani, mematahkan semua persekutuan dengan ketidakbenaran,” Gereja Suci memerintahkan kita.
Hal utama dalam puasa adalah menahan diri dari makanan yang berlimpah, enak dan manis; hal utama dalam puasa secara spiritual adalah menahan diri dari hal-hal nafsu penuh gairah, dosa yang memanjakan hasrat dan sifat buruk kita yang sensual. Yang pertama adalah penolakan terhadap makanan yang lebih bergizi untuk makanan puasa, yang kurang bergizi; merupakan bentuk penolakan terhadap dosa-dosa favorit kita karena menjalankan kebajikan yang menentangnya. Inti dari puasa diungkapkan dalam kidung Gereja berikut:
“Jiwaku, jika kamu berpuasa dari makanan, tetapi tidak dimurnikan dari nafsu, sia-sia kita menghibur diri kita dengan tidak makan. Karena jika puasa tidak membawa koreksi, maka itu akan menjadi kebencian kepada Tuhan sebagai suatu kesalahan, dan kamu akan menjadi seperti iblis jahat, yang tidak pernah makan.”
Selain puasa di atas ini masih ada beberapa puasa lain dalam Gereja Orthodox yaitu puasa harian Rabu dan Jumat: puasa menjelang Natal yang bersifat tarak artinya tak berpuasa penuh hanya pantang makanan yang berasal dari binatang hidup, dan lain-lain. Di samping itu ada hari-hari dilarang puasa karena sifat pesta dan gembira pada hari itu, misalnya dari masa Natal sampai Theofani, seminggu sesudah Paskah dan lain-lain. Demikianlah melalui puasa ini makna Karya Kristus dihayati lebih mendalam lagi, sebagai disiplin untuk makin manunggal dengan kasih karunia Kematian dan Kebangkitan Kristus.
Demikianlah makna Ibadah Puasa itu dimengerti dan dilaksanakan dalam Gereja Orthodox, semoga hal ini akan menambah wawasan dan khasanah pengertian bagi pengertian tentang Iman Kristen Orthodox yang lebih baik lagi.